12. Terbongkar

7.8K 620 8
                                    

Aku mengerjap-kerjapkan mataku begitu mendapati diriku terbaring di atas ranjang. Kulihat ke seluruh penjuru ruangan. Ini benar kamarku bersama Ferly. Kupijat kepalaku perlahan untuk mengingat apa yang terjadi. Ingatan kukembali dengan sosok Ferly yang berdebat dengan wanita bernama Malika. Itu mimpikah atau nyata?

Kulihat Ferly tengah memasuki kamar dengan semangkuk sup. Dia ada di rumah? Bukankah Ferly seharusnya bekerja. Apa yang sebenarnya terjadi.

"An, kamu sudah bangun?" tanyanya lembut seraya meletakkan sup hangat itu di samping nakas.

Aku hanya mengangguk. Masih bingung dengan semua yang terjadi.

"Makan, ya. Biar anak kita kuat," katanya dengan nada rendah seraya mengusap kepalaku pelan dengan tatapan penuh kasih sayang.

Aku melihat dengan jelas, ada sesuatu hal yang membuatnya sedih karena matanya sembab dan merah. Terlihat habis menangis. Benarkah Ferly menangis?

Dia kenapa? Lalu, seingatku aku belum beri tahu Ferly kalau aku hamil. Ada apa ini sebenarnya?

"Fer, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa aku mengingat kamu bicara dengan Malika. Siapa Malika? Itu bukan mimpi, kan?" tanyaku memastikan penuh selidik. Jika itu bukan mimpi. Maka hatiku mungkin benar-benar hancur.

Ferly tak kunjung menjawab. Ia langsung beranjak dari tempat duduknya dan duduk di sisi ranjangku untuk semakin dekat denganku. Dikecupnya dahulu lembut begitu lama.

"An, maafkan aku," lirihnya yang membuat cara kerja jantungku menjadi tak beraturan. Ini bukan detak jantung karena aku mencintai Ferly. Namun, ketakutan dengan kenyataan.

"Maksudnya?" tanyaku dengan nada was-was.

"Dulu, aku pernah berjanji untuk menikahi Malika dan kini dia menangih janjinya," jelas Ferly dengan nada rendah.

Sejenak rasanya pasokan udara habis. Membuat paru-paruku terasa sesak. Aku tak mampu lagi mendengar semua ini. Basah sudah pipiku karena ku tak sanggup lagi menahan air mata ini melesat.

"Jadi, anak yang dikandung Malika itu darah dagingmu?" tanyaku dengan tatapan tak percaya.

Ferly menghela nafas sejenak seraya mengusap air mataku yang menetes dengan ibu jarinya.

"Percayalah. Itu bukan anakku. Meskipun aku brengsek, tapi bukan berarti aku bisa berhubungan badan dengan sembarang wanita. Sejahat-jahatnya aku, tak mungkin bisa seliar itu. Aku bukan penganut seks bebas. Kamu salah paham," terang Ferly dengan tatapan serius. Kucari kebohongan di matanya. Namun, tak kutemui sedikitpun di sana.

"Dia hamil tetapi yang menghamilinya tak mau bertanggung jawab. Aku dulu berjanji mau memberi nama untuk anak itu karena aku sudah mengganggapnya sahabatku sendiri dan dia juga sering membantuku. Namun, aku tak jadi menikahinya karena setelah tahu selama ini, aku salah paham padamu. Aku terlalu bodoh dan egois, tak percaya denganmu," tutur Ferly lembut dengan tatapan lekat.

Aku mengernyit heran. Masih bingung dan merasa janggal dengan ucapan Malaika tadi.

"Terus kenapa Malika mengatakan kalau semua ini dramamu dan katanya kamu menipuku," ungkapku mengulang ucapan Malaikat tadi yang begitu menyakitkan.

"Jangan percaya. Dia sinting menyimpulkan semua itu dengan akal gilanya. Aku benar-benar bertemu kakakmu dan dia mengatakan kamu membuang anak kita. Aku tidak bohong. Kalau aku disuruh memilih meninggalkan posisiku atau hidup bersamamu tanpa jabatan. Aku akan memilih tetap bersamamu. Sekali lagi maafkan aku yang terlalu bodoh dengan tuduhanku yang tak berdasar itu padamu."

Ferly menggenggam tanganku erat.

Aku menatapnya bingung. Diriku harus apa. Aku takut kalau Ferly berbohong. Namun dari nada bicaranya dan tatapannya, tak kutemui kepalsuan. Akan tetapi, ucapan wanita tadi terus terngiang di pikirkanku.



"Lalu, kenapa kamu bida tahu aku hamil?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Aku tak mau memikirkan hal tadi terlalu serius. Kepalaku terasa sakit dan aku takut berdampak buruk pada kandunganku. Diriku harus sabar dan tetap stabil sekarang.

"Tadi, aku menelpon dokter. Beliau mengatakan kalau kandunganmu lemah karena kebanyakan pikiran dan kelelahan," jelasnya dengan nada sendu.

"Sekali lagi maafkan aku. Gara-gara diriku kamu seperti ini. Seharusnya selama ini aku terbuka padamu," pintanya dengan nada rendah, penuh harap.

"Fer, jujur aku masih bingung dengan semua ini. Kamu menghianatiku atau tidak. Aku juga merasa banyak hal yang berubah darimu. Aku tidak melihat dirimu yang dulu. Hangat dan humoris," jelasku dengan nada lembut.

Ferly menyisir rambutku perlahan.

"Iya, aku memang berubah dan tak bisa dipercaya. Namun, percayalah. Aku tak mungkin sejahat itu, An. Kamu tahu? Kenapa aku memilih pergi menjauh darimu karena aku takut terluka. Melihatmu membuatku sedih karena kupikir kamu berkhianat. Lalu, kalau kamu di dekatku. Aku juga takut melukaimu kalau aku melukaimu, itu juga sama melukai hatiku."

"An, aku mencintaimu. Namun, aku ingin membencimu waktu itu, tapi tetap tidak bisa. Malah membuat hatiku sakit. Seharusnya aku tidak bodoh dan mau mencari tahu. Seharusnya aku tak meragukan cintamu. Maafkan aku, An."

Aku mengangguk mengerti. Memaafkan memang hal yang mudah. Namun, bekasnya tetap akan ada di hati. Tak akan berubah karena teringat terus hal itu pernah terjadi.

"Iya, aku memaafkanmu. Namun, janji kalau ada apa-apa bilang padaku. Lalu, kembaliah seperti dulu. Bukan Ferly yang seperti ini arogan dan penuh dendam. Aku rindu dirimu yang dulu, Fer," mohonku dengan sangat.

"Akan kucoba. Namun, hatiku sudah penuh dengan dendam atas kejadian di masa lalu."

"Fer, katanya kamu mencintaiku. Kamu sudah melupakan masa lalumu yang mengkhianatimu itu. Kamu harus ikhlas dan berdoa atas kebahagiaannya bersama suaminya."

Tbc.....

Shadow Memory (LENGKAP)Where stories live. Discover now