27. Let Me Go

337 35 6
                                    

Jangan pernah tanyakan bagaimana perasaanku sekarang. Karena semuanya tidak sesuai yang aku pikirkan. Urusan pekerjaan?
Proyek baru dan besar?
Semua itu hanya omong kosong. Barusan aku mendapat pesan singkat dari Adira kalau dia mendapat perintah dari Reva untuk menangani proyek yang sama di Jakarta, dan Adira tidak harus ke lombok.

Adira : tebak, gue di suruh pak reva megang proyek yang seharusnya punya lo. Kalian di lombok ngapain? Kepo gue sumpah.

Sedikit mengernyitkan dahi aku mencerna maksud dari pesan singkat Adira.

"Reva, maksud dari pesan adira ini apa ya?" Tanyaku saat kami sedang makan malam di restaurant hotel.
Aku mulai curiga. Reva membacanya dengan fokus. Dia mengangguk setelahnya. "So, kenapa Adira juga megang proyek ini?"

"Emang adira yang gue tugasin buat megang proyek itu." Katanya.

"Lah, gue?" Mataku melebar seketika.

"Lo enggak megang proyek dulu ra. Yang kemaren aja belum kelar."

"Kita kesini bukannya mau bicarain proyek baru?"

"Bukanlah, jalan doang." Kata Reva. Dia cuek dan masih makan dengan lahap.

"Revaaaa!!!! Lo ngerjain gue?" Aku meletakkan sendok di tangan kananku sedikit kasar. Akibatnya bunyi gemerincing membuat beberapa orang menoleh kepada kami.

"Calm down baby. Lo ngebuat bule-bule disini pada takut. Santai aja. Lagian kita juga udah disini kan. Nikmatin aja kenapa sih." Kata reva santai.

"Lo nggak ngerti va! Lo nggak ngerti!" Farrah mengusap wajahnya kasar. Selera makannya hilang seketika.

"Gue ngerti. All about jessica, right?" Alisnya hampir bertautan. Aku mengangguk lemah. "Its okay. Dia nggak akan tau, tenang aja."

"Lo nggak tau gimana jess. Dia terobsesi sama lo va. Dan gue yakin dia mencari tau semua tentang lo dari hal yang penting sampai nggak penting sekalipun. Terutama jadwal lo. Gue bertaruh untuk itu. Gue kenal jess lebih lama dari lo."

"So?" Reva meletakkan sendok dan garpunya pelan. Dia terlihat memilih kalimat yang akan di ucapkannya. "Kita ambil hal yang terburuk akan terjadi. Paling dia jejeritan di hotel ini setelah ngelabrak gue dan lo. Cuma itu. Nggak mungkin dia ngebunuh lo ataupun gue. Immposible."

Aku menatap reva beberapa saat dalam diam. Dia tidak pernah mengerti apa yang sebenarnya aku takutkan. Aku takut kehilangan sahabat, bukan nyawa.

"Gue pulang duluan besok. Terserah lo mau ikut apa enggak." Aku beranjak dari kursi, tapi tangan reva menahanku.

"Ini bukan penyelesaian yang baik ra. Gue nggak suka begini." Reve memasang tampang tak suka. Aku menghela nafas panjang.

"Terserah. Gue cuma mau pulang besok. Titik." Aku pergi meninggalkan reva dan menghiraukan teriakannya di belakang yang memanggil namaku.

Aku berjalan cepat memasuki lift, berharap reva tidak mengejarku. Aku bisa menarik nafas lega saat pintu lift akan tertutup dan reva tak muncul juga. Tapi setelahnya nafasku tertahan melihat tangan yang menahan pintu lift. Mata reva dan aku saling bertumbukan, dia menyeringai lesu dan melangkah masuk.

"Maaf. Gue terlalu egois ya?" Reva berdiri disampingku. Kami sama-sama menghadap kedepan.

"Hm" jawabku singkat.

"Ra, gue cuma mau kita bebas bersatu tanpa gangguan jessica, bastian atau siapapun itu."

"Cara lo nggak bener. Dengan begini kita bisa menimbulkan kesalah pahaman yang lebih gila dari sebelumnya reva." Kata farrah tegas. Reva terdiam. Dia menggaruk tengkuknya cemas.

It's You, Reva?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang