(FOLLOW SEBELUM MEMBACA)
Hidup sebagai gadis panti asuhan selama bertahun-tahun telah Ily rasakan semenjak ibunya meninggal dunia. Sulit memang, tapi itulah kondisi yang harus Ily terima.
Hingga suatu saat ada yang datang mengakui dirinya bahwa dia...
Wajah masih terlihat kesakitan serta bibir mengeluarkan ringisan Ily menoleh ke arah pria yang berdiri tidak jauh darinya. Gadis itu tersenyum canggung sembari tangannya masih mengusap keningnya.
"Kenapa cium dinding?" tanyanya lagi penasaran. Ekspresinya menunjukkan dia masih mengumpulkan kesadaran setelah bangun tidur.
"Ng-nggak kok," bantah Ily. Cium sama kejedot jelas berbeda artinya.
"Tadi aku lihat gitu."
"Kebentur bukan nyium."
"Masa?"
"Kakak masih merem gitu gimana bisa lihat jelas," dumelnya mengatupkan bibir menyadari mulutnya kurang sopan. Kenapa ia bicara kelepasan begitu?
"Kalau masih merem nggak mungkin aku berdiri depan kamu."
"Iya!"
"Jangan melotot, lihat tuh jidatmu benjol."
Sontak Ilt memegang kening memeriksa apa benar-benar ada benjolan atau pria itu membohonginya. Meski masih sakit ia tidak menemukan benjolan yang dimaksud.
"Nggak ada."
"Iya, terus biru lagi," tambahnya.
Ily semakin cemas, masuk ke kamar melihat dirinya di cermin, hanya sedikit biru, usai memastikan tidak tidak tanda-tanda benjol dan ia kembali menemui pria itu dengan ekspresi tidak mood.
"Kakak ngerjain aku?"
"Nggak tuh, awalnya emang biasa tapi lihat aja nanti keningmu benjol kayak bakpao," tambahnya kelewat santai.
Sementara Ily meringis membayangkan bagaimana kalau itu benar-benar terjadi? Ia pasti malu ke sekolah. Ily bergidik tanpa sadar pria di depannya tersenyum jail berhasil mengerjai adiknya. Ya, adik kecilnya selama ini ia rindukan dalam diam.
"Ini semua karena Kakak!" tuduh Ily.
Pria itu menunjuk dirinya seolah tidak mengerti, kenapa dirinya yang disalahkan sedangkan ia tidak melakukan apa-apa?
"Kenapa aku?"
"Keningku sakit gar---"
"Kenapa bisa sakit?"
Ily menoleh begitu pun pria di depannya ke arah pintu. Tiga orang berdiri tidak jauh dari mereka menatap keduanya bergantian.
"Astaga!" Garha mendekati Ily menangkup wajahnya. Matanya fokus pada jidat Ily yang agak membiru. "Apa ini sakit?"
"Aw!" pekik Ily saat jari telunjuk Garha menekan lebamnya.
Rimba dan Saka langsung menghampiri, sementara pria itu refleks mendorong Garha menjauhkannya dari Ily. Sudah tahu lebam malah ditekan bagaimana Ily tidak kesakitan.