Bab I

694 19 6
                                    

Hadi bolak-balik di depan pintu kamarnya sambil menenteng handuk yang sudah entah berapa lama belum dicuci. Astaga, ia susah sekali menentukan pilihan hidup. Bahkan perihal membersihkan badan pun harus dipikir-pikir ulang. Kalau dia berbuat demikian, kemungkinan besar dia akan telat. Fakta ketika jam di ponsel menunjukkan pukul 7 membuatnya gelagapan setengah mati tadi. Dan walaupun tidak telat, kemungkinan tidak mandi itu lebih parah. Pasalnya, sejak Jum'at sore, dia sama sekali belum tersentuh air—begitulah saat itu ia memutuskan untuk merayakan akhir pekan. Maka bisa dibilang, dia sudah tidak mandi sekitar dua setengah hari, yang berarti bau badannya sudah tak karuan. Begitulah kira-kira ia merasakan.

Kendati demikian, dengan terpaksa ia masuk ke kamar mandi. Ia pun menyadari bahwa sebenarnya hanya mengguyur-ngguyur air ke badan tidaklah memakan waktu lama. Yang menjadi masalah, ketika dia berpikir apakah harus melakukannya atau tidak.

Waktu terus berjalan dan setelah sekitar lima belas menit, dengan serba apa adanya—rambut disisir tangan, memakai kaos-jaket, minum dan makan roti sisa tadi malam, Hadi sudah siap. Siap dengan soal yang mematikan, atau bahkan dosen penjaga ruangan yang mematikan pula nanti. Hari ini, Senin, 12 Desember 2017, akan diadakan Ujian Akhir di kampusnya. Karena itulah dia kesiangan: belajar suntuk sepanjang malam.

Matahari sudah bersinar terang ketika ia keluar dari kos bersama Scoopie putihnya. Ia bertanya-tanya, kenapa cuaca tidak begitu menentu sekarang. Dua hari yang lalu hujan tak henti-henti, lalu hari setelahnya panas sepanjang waktu. Ia berani bertaruh, hari ini cuaca mungkin akan bercampur: panas, lalu hujan.

Di jalan, pegunungan-pegunungan yang entah apa disebutnya itu nampak sejauh mata memandang. Terkadang, ia melintasi persawahan hijau yang luas. Hadi bisa saja bersantai-santai menikmati itu semua. Tapi ia tahu sekarang bukanlah saat yang tepat. Ingat, kau itu telat! ujarnya pada diri sendiri.

Jadi, ia menarik lebih gas motornya. Menyelip di antara kendaraan mobil dan motor yang padat, ia tahu di sepanjang jalan raya ini akan terus berlanjut kemacetannya. Maka dengan sepengetahuannya selama tinggal di Malang, ia berbelok menelusuri jalanan pintas yang lebih kecil, setidaknya agar tidak berlama-lama karena macet.

Katanya, kalau seseorang bangun siang, maka rezeki akan di patok ayam. Atau bisa dibilang, Hadi mengartikan seseorang itu akan mendapat sial. Ya, seperti dirinya sekarang. Ketika dia hendak berbelok pada sebuah gang, ia yakin bakalan sepi, namun munculah seorang cewek pada saat yang tidak tepat. Keadaan itu begitu tiba-tiba sehingga Hadi agak kaget.

Hadi yakin ia telah membelokkan motornya sedemikian rupa untuk menghindari kecelakaan tersebut, namun ia melihat cewek itu terjatuh, mengernyit kesakitan pada bagian lengan dan kakinya. Rambutnya terurai ke bawah sehingga ia belum bisa melihat wajahnya dengan jelas. Dari penampilannya, ia mengira cewek itu adalah mahasiswi—seperti dirinya. Memakai jaket dan ransel sederhana, namun karena berjalan kaki, sebagian buku ditenteng agar mengurangi beban tas yang kini berserakan di tanah.

Ah, kenapa harus sekarang? Ia menyumpah pada alam semesta. Benar-benar hari yang sial. Ketika hendak mengejar waktu yang sudah tertinggal, kini ia malah merasa harus menolong cewek yang ditabraknya. Ya, tentu saja dia harus menolong cewek itu, bukan? Orang tuanya mengajarkan untuk bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan.

"Mbak, nggak apa-apa?" ia bertanya setelah mendirikan kembali motornya.

Tak ada jawaban. Mungkin sakit parah? Ia lalu mendekatinya dan berjongkok.

Sekali lagi, sambil membenarkan kacamata yang kendur, Hadi bertanya: "Mbak, nggak apa-apa?"

Rambut yang terurai itu disingkirkan dengan jemarinya ke belakang telinga, sehingga Hadi sekarang dapat melihat cewek manis yang sedang memperlihatkan mimik menderita.

Hadi & HaniWhere stories live. Discover now