Chapter 01 || Bolos Karenanya

Mulai dari awal
                                    

"Bu, di dalam ada toilet, kan? Mau buang air kecil, aku masuk dulu ya," pamit Ily berbalik membuka pintu ruang inap di mana Vania-sahabatnya berbaring.

*****

"Kamu udah sadar?" Ily membantu Vania yang berusaha bangun dari rebahannya.

Gadis bernama Vania mengangguk lemah, tersenyum hangat melihat sahabat sekaligus saudaranya berdiri di samping ranjangnya. Ily bergegas meletakkan bantal di punggung Vania untuk membuat sahabatnya nyaman di sana.

"Butuh sesuatu? Minum? Makan? Mau ke kamar mandi? atau kam---"

"Bu, ada plaster nggak?" Vania menoleh ke arah Bu Rani.

Ily mengernyit tidak paham. Vania baru sadar dari pingsannya malah mencari sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan dirinya.

"Buat apa, Nak?" Bu Rani balik bertanya.

"Kamu ada luka, Van?" tanya Ily khawatir.

Vania menggeleng pelan menoleh pada Ily.

Ily mengerjap-erjap polos. "Terus?"

"Buat nyumpel mulut kamu kayak kereta itu."

Ily tercenung beberapa detik sebelum kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Tangannya terangkat mengelus rambut sahabatnya dengan sayang. Refleks Vania meringsut, terpaksa tersenyum, perasaannya jadi tidak enak.

Pletak!

Jitakan terdengar. Vania meringis memegang keningnya. Tidak terlalu keras tapi sakit, gadis tujuh belas tahun itu melotot. Kendati takut Ily malah membalas pelototan Vania lebih sadis.

"Matamu mau kucolok ya?!" Jari telunjuk dan tengah Ily tertuju pada kedua bola mata Vania, hendak mencolok mata itu.

"Kamu tega?" Vania merenggut, kembali merebahkan tubuhnya di atas bed berlapis seprei putih khas rumah sakit.

Bu Rani hanya tersenyum diselingi gelengan kecil. Keduanya memang sering bertingkah seperti itu, menurutnya itu salah satu bentuk kasih sayang mereka.

"Kalian ya, kalau ketemu sering berantem. Kalau salah satunya nggak ada pasti nyariin."

Vania menaikkan selimutnya menutupi wajahnya, sedangkan Ily garuk-garuk kepala. Bu Rani memang benar.

Ily dan Vania kembali mengobrolkan banyak hal, termasuk aksi bolos Ily kali ini. Saking menikmati kebersamaan keduanya, jam pun menunjukkan pukul 14.00. Ily bergegas merapikan pakaiannya untuk meninggalkan rumah sakit.

"Aku pergi dulu, jangan lupa makan, Vania," katanya meraih tas dipakai di punggung.

Ekspresi Vania berubah mendung. Tidak merespon ucapan Ily yang kini tidak melihatnya lagi. Ia melirik Ily sekilas sebelum memalingkan wajah, Vania mendecih pelan.

"Hati-hati, Nak! Nanti langsung pulang ke panti atau ke sini?" Bu Rani mendekat membantu merapikan rambut Ily yang lepas dari ikatan.

"Ke panti aja nggak usah ke sini lagi!" ketus Vania memunggungi Ily yang terdiam.

"Vania," tegur Bu Rani.

Vania tidak menggubris.

Ily tersenyum kecut menatap punggung Vania. Lalu mendongak menatap Bu Rani sembari tersenyum lebar. "Aku pamit Bu, takut telat sampai kafe." Ily meraih tangan Bu Rani, kemudian menciumnya.

Sebelum keluar dari ruangan itu Ily melihat Vania yang marah padanya. Vania selalu seperti itu, tak perlu membujuk, nanti baik sendiri. Vania butuh waktu untuk memahami keadaan mereka.

Sepeninggal Ily, Bu Rani mendengar suara hembusan napas kasar Vania. Wanita berambut sebahu itu menghampiri, mengelus kepala Vania lembut, "Jangan kayak gitu, Nak! Kasian Ily," pintanya. 

"Ini semua gara-gara aku." Vania memeluk dirinya sendiri sembari menyeka cairan bening di sudut mata.

*****

Ily memasuki kafe tempatnya bekerja. Pagi hari Ily sekolah sampai pukul 14.00. Pukul 14.00-22.00 ia bekerja di Kafe. Untungnya kafe itu tidak jauh dari panti asuhan yang ditinggali jadi lebih mudah untuknya untuk pulang malam.

"Udah makan, Ly?" tanya Karina--rekan Ily di sana.

Ily menggeleng membawa nampan berisi pesanan pelanggan, Karina yang awalnya searah dengannya kini berhenti di meja kasir menatap Ily dari kejauhan. Semangat kerjanya patut dipuji, pikirnya.

"Ily puasa," ucap seseorang yang tiba-tiba berdiri di samping Karina.

Mulut Karina membulat mencerna ucapan itu. Ada yang mengganjal, kembali menatap Ily yang sudah kembali mengantar pesanan pelanggan.

"Kenapa lo?" Aldo--pemilik kafe--menatap objek yang sama. Ily. Kemudian kembali menatap Karina dengan ekspresi bingung. Karina menggeleng seakan apa yang dipikirkannya salah.

"Anak itu nggak mau makan dulu?" tanya Karina khawatir.

"Udah dibilang tuh bocah lagi puasa," jawab Aldo.

"Huh? Selasa? Puasa apa namanya?" Karina terperangah.

Aldo tertegun. Benar, hari ini selasa. Karina mendelik, bocah itu mempermainkan mereka lagi. Aldo menepuk meja sekali sebelum matanya mengikuti pergerakan Ily. Mempekerjakan anak dibawah umur sudah termasuk pelanggaran sekarang anak itu belum makan malah sibuk bekerja, kalau anak itu sakit tipes bagaimana? Bisa-bisa ia masuk penjara gara-gara ini.

"Benar-benar deh tuh anak," gerutunya.

"Hei bocah sini kamu!" panggilnya meggerakkan tangan. Ily yang selesai mencatat pesanan pelanggan di sana pun mendekat dengan ekspresi kebingungan.

"Manggil siapa, Bos?" tanyanya bingung.

"Siapa lagi bocah di sini selain lo." Aldo refleks mencubit pipi Ily greget. "Penuhi dulu gizi empat sehat lima sempurna baru kerja, dong!" dumelnya.

"Sa-sakit, Bos!" sentak Ily menjauhkan tangan Aldo darinya. Aldo dan Karina tertawa gemas.

Bersambung.....

Jujur udah berapa kali baca cerita ini?


Incredible Brothers (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang