42. Blokir Perasaannya

Mulai dari awal
                                    

"Maaf, gue sama Adara memang nggak bisa gitu aja lepas tanpa hubungan. Dia selalu ada buat gue saat itu. Dengan gue yang bersikap seolah tidak terjadi apa-apa itu susah. Gue merasa nggak tahu diri"

Gue membasahi bibir, menatap kembali stopwatch di dalam ponsel. Sisa waktu sepuluh detik, bagus gue ingin cepat-cepat masuk ke dalam rumah dan membenamkan wajah di bantal, menangis sampai lelah dan tertidur, esoknya gue harus mencuci sarung bantal.

"Semua berakhir dengan kepergian dia ke London. Lalu gue ketemu elo. Gue sayang sama lo, alasan kemarin gue meluk dia karen---"

"Waktu lo habis" Potong gue cepat. Gue menyerahkan ponselnya dengan kasar, membuat ia dengan terpaksa mengambilnya. Ketika gue hendak menutup pintu pagar, Daniel kembali menahannya.

"Sebentar Sena, satu menit lagi, satu menit lagi cukup"

Gue menggeleng cepat. "Waktu lo habis. Pergi. Jangan temui gue lagi"

Pegangan Daniel pada pintu pagar melonggar, membuat gue tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Gue menutup pintu pagar menguncinya dan memutar tubuh berjalan ke pintu masuk. Gue dapat mendengar erangan frustasinya di belakang sana.

"Sena! Gue sayang sama lo!" Teriaknya. Gue berjalan lurus ke depan, mengabaikannya lantas berjalan memasuki pintu rumah. Gue segera mengunci pintu dan berjalan naik ke atas menuju kamar.

Bagus Daniel, Lo membuat gue lebih terpuruk dari sebelumnya.

Gue merebahkan diri di atas tempat tidur, menarik bantal dan membenamkan kepala gue di atasnya. Dan dengan bodohnya, gue mulai menangis lagi.

Untuk apa dia kemari? Mau menjelaskan betapa berharganya Adara di dalam hidupnya?

"Ngapain nangis? Bego" Gue menghardik diri sendiri.

_______

Gue berjalan menyusuri koridor menuju Ruang BK dengan membawa selembar kertas tentang cita-cita. Ya gue sudah memilih apa yang akan gue lakukan setelah lulus kuliah nanti. Gue mengambil jalur yang bertolak belakang dengan jurusan IPA, nggak apa-apa toh anggap saja selama gue belajar disini, gue butuh ilmunya bukan syarat hanya untuk ijasah atau pengantar untuk kuliah nanti.

Gue berhenti sebentar, menatap lapangan basket yang kosong. Pagi ini udaranya segar sekali, Sabtu begini seharusnya lari pagi saja ketimbang menghidrup udara di sekolah. Sayangnya, kami sudah kelas tiga, dan sekaranghari Sabtu masuk untuk pendalaman materi.

Puas menghirup udara pagi, gue pun kembali berjalan dan tersadar kalau tali sepatu gue terlepas ikatannya. Mencegah untuk tak jatuh gue pun berhenti sebentar lantas berjongkok untuk mengikatnya.

Baru saja gue selesai, belum sempat berdiri tubuh gue terjerembab ke depan dengan wajah gue sebelah kanan gue yang menyentuh lantai. Bayangin dong gue lagi iket tali sepatu tiba-tiba gue ngejungkel ke depan. Gue sontak mengumpat kasar dengan kencang pada pelaku yang ikutan terjatuh setelah gue.

"Woy! Lo hati-hati dong! Yang jongkok tadi tuh manusia! Bukan tempat sampah jangan asal tabrak dong!" Marah gue emosi sambil mencoba bangun dari posisi memalukan ini.

"Eh sori-sori gue nggak sengaja----lah? Kampret?!" Ucap cowok itu kaget, begitupun dengan gue yang sontak melotot lebar.

"MEMANG SONTOLOYO LO BLEKI!" Teriak gue. Akai segera berdiri dan hendak berlari namun gue segera menjambak rambutnya dari belakang membuat tubuhnya hampir saja kahyang.

"Dasar sepupu kurang ajar! Sakit tau nggak punggung gue ketendang sama lo!" Marah gue sambil menggoyang-goyangkan kepalanya ke kanan kiri. Cowok itu sibuk berteriak heboh, minta di lepaskan.

Jagoan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang