BAB XII

122 18 9
                                    

Seperti apakah sejatinya perasaan merelakan? Apakah seperti dedaunan kering yang pasrah terembus angin?

🍃🍃🍃

Diandra mendapati tempat duduk Anjani di meja makan kosong saat waktunya sarapan. Sejak semalam ia tak melihat sepupunya itu sama sekali. Padahal biasanya ia akan segera menyerbu masuk ke kamar Diandra dan membicarakan banyak hal. Harusnya pagi ini Diandra sudah mendengar cerita bahagia tentang rencana perjodohan Anjani. Namun, ketidakhadirannya menyiratkan hal lain.

"Kak, Anjani mana? Dia nggak ikut sarapan? Apa dia sakit?" tanya Diandra pada Miko yang baru saja datang ke meja makan.

"Nggak tahu. Aku tadi langsung ke sini. Aku pikir dia sudah di sini,” jawab Miko.

Diandra cepat-cepat bangkit dari duduknya dan menuju ke arah kamar Anjani. Ia khawatir. Ada yang tidak beres dengan ketidakbiasaan ini.

"Anjani. Kamu nggak sarapan?" Diandra mengetuk pintu kamar Anjani, tetapi tak ada jawaban. "Kamu lagi nggak enak badan, ya?" tanyanya lagi. Namun, tetap tak ada jawaban.

Diandra memutar gagang pintu kamar Anjani perlahan. Tidak dikunci. Maka dengan cepat diputuskannya untuk masuk.
Anjani masih tertidur. Tubuhnya terbalut selimut tebal. Di sekitarnya barang-barang berserakan. Sepatu, clutch dan beberapa gelang yang Diandra sadari adalah yang kemarin sepupunya itu pakai pergi makan malam. Dan, hal itu membuat Diandra semakin tidak tenang. Ia lalu mendekati Anjani, kembali berusaha untuk mengajaknya bicara.

"Njan, kamu nggak enak badan? Aku antar ke dokter, ya? Biar Kak Miko yang nanti ijinin kamu nggak masuk sekolah."

Tetap tidak ada jawaban. Perlahan, tubuh Anjani yang membelakanginya berbalik. Diandra terkejut setengah mati ketika melihat mata Anjani sembab. Make up dari semalam masih menempel di wajahnya, tetapi sudah tak karuan lagi. Anjani benar-benar kacau. Pasti ia menangis semalaman. Dan Diandra yakin keadaan hati sepupunya itu tak jauh beda.

"Diandra." Anjani melihat Diandra dengan tatapan kosong kemudian berlanjut dengan tangisan. Ia lalu memeluk Diandra yang masih bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi dengannya.

"Kamu kenapa, Njan?" tanya Diandra khawatir.

"Dia menolakku," jawab Anjani di sela isak tangisnya. Pasti dia yang Anjani maksud adalah laki-laki yang akan dijodohkan dengannya.

Diandra hanya diam, membiarkan Anjani mengeluarkan semua air matanya, sekaligus beban hatinya. Hanya itu yang bisa ia lakukan saat ini. Ia tidak ingin menceramahi Anjani untuk kuat karena ia sendiri tidak pernah mengalaminya. Diandra sendiri tak tahu akan seperti apa dirinya ketika patah hati.

"Dia satu-satunya cowok yang aku mau, Di. Aku berharap banyak untuk mendapatkannya. Tapi dia terang-terangan menolak perjodohan kami. Dia bilang dia sudah punya pasangan. Dan yang paling membuatku sedih, dia melihatku dengan penuh rasa benci setelahnya."

"Apa dia cowok yang waktu itu?" Diandra mencoba menebak.

"Ya, mereka orang yang sama."

Emosi Diandra mulai meluap. Ia merasa marah dengan laki-laki yang telah menyakiti hati Anjani tersebut. Laki-laki yang sama yang hampir menabrak Anjani dulu, yang hampir membuat sepupunya itu kehilangan nyawa. Dan, sekarang lagi-lagi laki-laki itu, membuat Anjani kehilangan hal yang juga sama berharganya, hatinya.

"Katakan padaku siapa laki-laki itu? Biar aku bicara padanya. Dia tidak boleh menyakiti hatimu seperti ini. Aku tidak rela."

"Jangan, Di. Nanti dia tambah membenciku. Dia memang kasar sama perempuan. Aku baik-baik saja, kok. Aku hanya shock karena ternyata dia menolakku seperti itu," cegah Anjani cepat. Mendadak takut Diandra melakukan hal yang membuat laki-laki yang ia sukai justru semakin membencinya.

Angin Padang Rumput (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang