Mr.Troublemaker - #11

42.7K 3.5K 480
                                    

Aku sarapan dengan tidak bersemangat pagi ini. Padahal ini sarapan pertamaku ditemani oleh orang-orang terdekat, selama tinggal di kota Dallas.

Aku kembali memikirkan kejadian tadi malam. Kalimat yang dilontarkan Teresa saat ia berkata, "Aku kasihan dengan Romeo. Jauh-jauh kemari. Lalu kamu usir!"

Jadi semalam, saat aku menemui Romeo yang datang tanpa diundang ke rumah Nancy. Aku berbicara padanya sebentar. Ia bilang, disuruh oleh Mommy untuk menjemputku. Tentu saja aku tidak mau. Aku ingin menginap di rumah Nancy. Salahnya aku saat itu aku berkata cukup kasar. "Aku tidak ingin pulang denganmu. Sana. Urusan Mommy biar aku yang bilang." Dengan nada yang menurutku dan diakui juga oleh Nancy serta Teresa, cukup tinggi. Bahkan setelahnya, aku berbalik dan meninggalkan Romeo begitu saja.

Aku memang sempat mengintip dari jendela kamar, ketika Romeo pergi dengan mobilnya. Beberapa detik kemudian, aku terduduk dengan perasaan bersalah.

Begitulah sekelumit cerita tadi malam, yang sampai pagi ini aku terus memikirkannya.

"Pria itu memang takdirnya untuk mengejar. Wanita menunggu." Kalimat dari Ibu Nancy membuatku fokus kembali pada sisa roti di piring. "Pada dasarnya ego pria memang tinggi. Beberapa ada yang kesulitan mengungkapkan rasa sayangnya, sehingga terlihat sangat menyebalkan di mata wanita."

"Beberapa lagi brengsek!" Celetuk Nancy yang mendapat teguran dari ibunya. "Benar kan, Mom? Ada tiga jenis pria di dunia ini. Mencintai wanita, menyakiti wanita dan menyukai pria juga!"

Aku terseyum sembari menggelengkan kepala. Jangan membantah Nancy atau kamu akan lelah meladeni segala ocehannya.

"Si para pria itu, terlihat posesif, suka mengatur, suka seenaknya. Bagi wanita itu menyebalkan. Tapi bagi mereka, itu adalah bentuk perhatiannya," ucap Ibu Nancy kembali. "Wanita itu susah dimengerti, pikir mereka. Ini itu selalu serba-salah."

"Sama Mom, kita juga begitu. Sepertinya apa saja salah dimata mereka. Hanya berbicara sebentar dengan pria lain yang jelas teman, langsung cemburu!" Kali ini Teresa yang menimpali.

"Pacarmu cemburu?" Tanya ibu Nancy.

Teresa menggelengkan. "Aku tidak punya pacar, Mom. Itu lihat di televisi."

"Hell yeah!" Bukan hanya Nancy, aku pun ikut berkata seperti itu.

Ibu Nancy memandangku. "Apa tadi malam itu ...." Dia tidak melanjutkan kalimatnya. Namun aku paham.

"Dia bukan pacarku. Bukan siapa-siapaku bahkan!" Jawabku dengan senyum dipaksakan.

"Namanya Romeo. Dia satu kelas dengan kita. Jadi, begini ceritanya Mom ...." Lalu Teresa sudah sibuk bercerita. Sesekali dibantu oleh Nancy untuk menambahkan pada bagian yang sekiranya kurang lengkap.

Jadilah, sarapan pagi ini diisi oleh pembahasan mengenai Romeo. Sampai pada akhirnya, dongeng dari kedua wanita di sampingku selesai. Dan kami bertiga pamit menuju kampus bersama.

Selama di perjalanan, Teresa yang duduk di bangku belakang melontarkan pertanyaan padaku, "El, menurutmu Romeo bagaimana?"

Aku menoleh. "Bagaimana apanya?"

"Ya, bagaimana Romeo dimatamu?"

Aku berpikir sebentar. "Umm, Romeo itu. Ya menyebalkan. Si Troublemaker."

"Kalau tampangnya bagaimana?"

"Cukup tampan."

"Badannya?"

"Seperti yang kamu lihat. Dia berotot. Ya setidaknya, dia melewatkan masa pubertas dengan baik, sehingga bentuk tubuhnya bagus."

"Sifatnya?"

"Seperti kataku tadi. Menyebalkan."

"Fix, kamu suka dengannya!" Nancy yang sejak tadi diam, kini bersuara.

"Aku tidak suka dengannya!" Bantahku.

"Kamu suka!!!" ucap Nancy dan Teresa bersamaan. Membuatku meringis, karena suara nyaring keduanya.

Aku diam. Menatap jendela. Memikirkan, apa benar aku menyukai Romeo? Tapi setiap di dekatnya aku selalu merasa kesal. Kalau aku membencinya, mengapa sekarang aku sangat merasa bersalah sekali dengan sikapku tadi malam. Sejujurnya, aku takut dia marah padaku. Aku ... Tersadar, aku ingin dia terus menyebalkan seperti itu.

"Kau mau keluar tidak?" Suara kencang Nancy membuatku melihat gedung fakultas. Ternyata aku sudah sampai di kampus. Tentu saja aku lekas keluar dari dalam mobil.

Kami bertiga memasuki kelas. Sudah cukup ramai karena lima menit lagi dosen akan tiba. Aku bisa melihat dengan jelas. Romeo sedang duduk di meja yang mana di sampingnya, Debra sedang duduk di kursi. Romeo sempat melihat ke arahku sebentar lalu kembali bercanda dengan Debra dan teman-temannya.

Aku menarik napas panjang ketika Edward memasuki kelas. Debra tentu saja keluar. Dia tidak sekelas, bahkan berbeda jurusan denganku.

"Selama pagi semua!" Sapa Edward pada kami semua. Aku membalasnya pelan. Kembali diingatkan dengan acara balas-membalas pesan kemarin. "Pagi, Ella!" Sapanya padaku pelan.

Aku sempat kaget lalu menormalkan wajahku kembali. "Pagi!" Balas pelanku juga.

Edward tidak duduk. Ia berdiri dan mengangkat kursi. Aku dan semua orang di dalam kelas sempat bingung. Dia menaruh kursi di luar kelas. Pada lorong gedung. "Hari ini saya berdiri saja. Atau, kalau tidak keberatan. Kalau saya lelah, saya duduk di meja sebentar."

Aku melipat keningku. Apa di kursinya ... Aku berbalik. Menatap tajam pada Romeo yang terlihat emosi terfokus pada Edward. Kursinya ia beri lem lagi. Astaga, manusia satu itu.

Edward, mulai menyalakan proyektor. Saat ia membuka laci meja untuk mengambil spidol. Ia sempat tersenyum. "Ada laba-laba kecil di sini ternyata. Kasihan sekali dia." Edward mengambil laba-laba itu ke atas tangannya. Membuka jendela dan menaruh dengan hati-hati, pada salah satu pohon terdekat.

"Semakin menarik saja," ucapnya pelan dan mungkin hanya aku serta Nancy yang mendengar. Karena posisi duduk kami yang tidak jauh dari sisi jendela. Edward mengambil sebuah spidol besar. Ia memperhatikannya sebentar. Tersenyum penuh kemenangan. "Apa di sini ada seorang pria hebat, tanpa takut dengan apapun dan juga nomor satu, yang bisa membantuku untuk membuka tutup spidol ini?"

Aku kembali melihat Romeo. Ia seperti sedang berdecih. Tidak lama ia menimpali Edward, "Anda seorang pria tua, tidak bisa membuka tutup spidol? Pulang sajalah. Nikmati hari pensiun." Teman-temannya tertawa. Tidak pada kami bertiga.

Edward melangkah mendekati Romeo. Seketika tawa mereka terhenti. "Tolonglah pria tua ini, wahai anak muda!" Edward menyodorkan spidol pada Romeo yang sudah mengepalkan kedua tangan. Aku sangat yakin. Sebentar lagi pasti akan terjadi baku hantam. Mengingat Romeo yang mudah sekali tersulut emosi.

Rahangnya mengetat. Tangannya terkepal. Romeo berdiri. Menaikkan dagu angkuh. Sedangkan Edward, tetap dengan kondisi santai. Apa dia tidak tahu siapa yang tengah ia hadapi itu?

Dorongan darimana aku pun tidak tahu. Yang jelas, aku sudah berdiri. Nancy dan Teresa melihatku bingung. "Kau kenapa, El? Teresa bertanya dengan berbisik. Tidak lama kemudian seluruh kelas beralih memandangku.

Kepalaku pening. Sakit sekali. Rasa hangat terasa di sekitar hidungku. "HIDUNGMU BERDARAH!" Teriak Teresa panik.

Aku mengusap dan cairan merah sudah ada di jemariku. Gambaran hitam menyelimutiku, setelah aku merasakan sebuah lengan kokoh memeluk tubuhku yang akan terjatuh.



Thankyou to distyzaen  yang sudah mengirimkan videonya 💋

Yang jomblo jangan nonton, gue gak mau tanggung jawab kalau baper sama mereka.

[Terbit] My Sexy Bra And Mr. TroublemakerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang