Seungcheol menarik dirinya hingga tangan Jihoon di lehernya terlepas. Dia segera merogoh saku jasnya, melihat nama di menelepon.

AYAH

Setelah melihat nama si penelepon Seungcheol kembali memasukkan ponselnya ke saku jas. Ia bergegas turun dari ranjang, meraih arloji serta kunci mobil di meja nakas samping tempat tidur.

"Aku harus segera pergi, orang tua itu menelepon.. " katanya sembari memakai arloji yang dibelinya dari designer Paris.

"Aku akan pulang cepat, kita lanjutkan nanti malam... " lanjutnya tanpa melihat ke arah Jihoon, masih sibuk memakai jam tangannya,

"Mm.. hati-hati di jalan..."
ucap Jihoon tersenyum manis. Nada bicaranya terdengar malas karena mengantuk.

"Kau tidur lagi saja, hari ini tidak ada kuliah kan?"

"Tidak. Aku masih libur."

"Kalau begitu aku pergi dulu."
Seungcheol berjalan keluar dari kamar, menutup pintu kamar tersebut. Setelah beberapa detik Jihoon mendengar pintu apartemen tertutup. Pria itu telah pergi.

Jihoon menyingkap selimut yang menutupi tubuh polosnya, menurunkan pandangannya, melihat tubuh bagian bawahnya.

"Shit!!"

Pantas saja rasanya begitu perih dan nyilu. Seprei putih di bawah tubuhnya penuh dengan bercak darah yang kini telah mengering, bekas bergumulan mereka semalam. Tempat tidur ini sudah sangat berantakan seperti baru saja tersapu badai.

Choi Seungcheol, jika sudah di atas ranjang memang sangat ganas. Walaupun ini bukan yang pertama, tapi Jihoon selalu mendapat luka di tubuhnya tiap kali selesai melayani pria itu. Dia akan datang di malam hari, lalu pergi lagi di pagi hari. Dia hanya menginap untuk menuntut haknya, ya, Jihoon harus melayani pria itu di atas ranjang tiap kali pria itu datang. Ini sudah menjadi kewajibannya. Tak ada alasan untuk menolak, apapun kondisinya ia tetap harus melayani pria itu.

Ini adalah pekerjaannya, ini satu-satunya tempat mendapatkan uang banyak. Di Kota ini sangat sulit mencari pekerjaan, jika kau tak memiliki koneksi akan sangat sulit mendapatkan pekerjaan. Pendidikan tinggi dan kemampuan bekerja saja tidak cukup. Dan Jihoon memilih menjual tubuhnya untuk mendapatkan uang banyak dengan cepat, hanya perlu sedikit merayu dan kemampuan memuaskan di atas tempat tidur itu sudah cukup sebagai modal.

Jihoon sangat bersyukur bertemu orang seperti Choi Seungcheol. Pria kaya yang rela memberikan apa saja demi untuk memuaskan hasratnya. Selama ia memiliki Seungcheol di sampingnya, Jihoon merasa tenang. Karena baginya Seungcheol hanyalah sebuah Bank. Sampai saat ini Jihoon bisa tinggal di Apartemen mewah, makan makanan enak, memakai pakaian bermerek, kendaraan mewah itu semua uang dari Seungcheol.

Seungcheol seperti memberinya kehidupan kedua.


***

Meja besar memanjang itu sudah terisi orang-orang di kanan dan kirinya, mereka sudah siap memulai rapat, namun ada satu orang yang tak kunjung muncul.

Pria paruh baya itu sedari tadi terus memandang ke arah kursi kosong di sisi kanan meja. Hampir 30 menit rapat ini tertunda karena menunggu kehadiran orang yang harusnya menempati kursi tersebut.

Ia berdeham, kemudian berkata,
"Sepertinya wakil Presdir sedang ada halangan, kita mulai saja rapat ini... "
ucapnya kepada para petinggi yang telah menunggu lama.

Pintu yang tertutup tiba-tiba terbuka, pria tampan itu masuk dan segera membungkuk berkali-kali, meminta maaf atas keterlambatannya,
"Maaf, saya terlambat. Pagi ini jalanan sangat macet... "

Dia kemudian duduk di kursi kosong tersebut, pria paruh baya itu melirik ke arahnya, mereka bertukar pandangan sesaat, kemudian kembali membuang pandangan. Rapat yang sempat tertunda pun di mulai setelah kehadiran wakil Presdir, Choi Seungcheol.

***

Saat ini Seungcheol sedang berada di ruang kerja ayahnya. Tadi setelah rapat usai beliau menyuruhnya untuk ke ruangannya, beliau mengatakan ada sesuatu yang ingin dibicarakan.

Tidak perlu membuat dugaan, Seungcheol sudah tahu apa yang akan ayahnya katakan.

"Sudah tidak pernah pulang ke rumah. Tidur di mana kau?" Orang yang ditanya enggan menjawab. Seungcheol hanya membuang muka tak mau menatap sang ayah. Ia tahu ayahnya akan bertanya hal seperti ini.

"Pikiranlah anak dan istrimu. Apa kau tidak merindukan mereka?"

"Kalau sudah tidak ada lagi yang dibicarakan, aku kembali ke ruanganku." potong Seungcheol. Membungkukkan badan kemudian berjalan keluar dari ruang kerja ayahnya.

Dia sangat tidak suka jika ayahnya sudah membahas tentang keluarga kecilnya di rumah. Semenjak kehadiran sosok Jihoon di hidupnya, Seungcheol menjadi sangat anti dinasihati, apalagi menyangkut tentang dua orang itu. Sekarang dia sudah jarang pulang ke rumahnya sendiri, Seungcheol menjadikan Apartemen yang ditinggali Jihoon sebagai rumah kedua, tempat dimana ia akan pulang setiap harinya.

"Ahreum, selalu menanyakan tentang ayahnya... " ucap pria paruh baya tersebut, membuat pergerakan tangan Seungcheol yang hendak menyentuh gagang pintu terhenti di udara. Ia diam mematung. Namun detik berikutnya Seungcheol kembali seperti biasa, ia membuka pintu kemudian pergi begitu saja.

Pria itu hanya mengembuskan napas panjang, memandang kepergian putranya. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi agar putranya itu bisa kembali ke tengah keluarganya. Dia telah mengabaikan segalanya. Mengabaikan status sebagai seorang suami, dan seorang ayah. Kini dia seperti memiliki dunia baru yang membuatnya lupa akan segalanya.

***

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 8 malam. Jihoon telah selesai membuat makanan yang tadi pagi Seungcheol pesan. Makanan itu sudah tertata rapih di atas piring, sebenarnya kalau mau ia bisa pesan makanan seperti ini di restoran dan tidak perlu repot-repot memasak sendiri, apalagi bagian bawah tubuhnya masih sakit, sangat menyakitkan ketika ia berjalan. Tapi Seungcheol pernah bilang kalau dia hanya mau makan makanan yang Jihoon masak sendiri, dia tidak mau masakan yang dibeli di luar.

Jihoon sedang mengambil gelas Wine di lemari, ia harus berjinjit agar bisa menjangkau lemari gantung di atas meja kompor tersebut. Saat tangannya akan meraih gelas kaca, sebuah tangan tiba-tiba mendahuluinya meraih gelas itu, Jihoon refleks menoleh ke belakang.

"Terlalu tinggi?" Seungcheol sudah berdiri di belakangnya.

"Kau sudah pulang? Aku tidak mendengar suara pintu.. "

"Ini masih jam...."
Jihoon melihat jam di dinding.

"Aku sudah bilang kan, akan pulang lebih awal.." Seungcheol meletakkan dua gelas kaca itu ke atas meja dapur di depan mereka, tangannya meraih pintu lemari kemudian kembali menutupnya. Posisi mereka masih sama, Seungcheol berdiri di belakang tubuh mungil Jihoon, dan Jihoon berdiri di depannya.

"Kelihatannya enak..." komentar Seungcheol melihat dua piring steak salmon di atas meja.

Kedua tangan kekarnya perlahan-lahan melingkar di perut Jihoon, Seungcheol mendekatkan wajahnya pada tengkuk Jihoon dan mulai mengendus-edus leher putih penuh tanda merah keunguan bekas semalam dan malam-malam sebelumnya. Leher Jihoon tak pernah mulus, selalu saja penuh dengan tanda kepemilikan buatan Seungcheol.

"Aku sudah sangat lapar...." bisik Seungcheol menggoda. Ia menjilati cuping telinga Jihoon, kemudian lidahnya turun menjilati leher. Kedua tangannya semakin erat memeluk tubuh mungil Jihoon dari belakang.

"Nghh.... "
Jihoon tak bisa menahan desahannya saat Seungcheol menghisap kulit lehernya.

Just A Bank [JICHEOL FANFICTION] ✔️حيث تعيش القصص. اكتشف الآن