02.2 | Firasat

Mulai dari awal
                                    

"Mau berangkat kapan?" tanya Tama tiba-tiba, mengagetkan keempatnya.

Janu yang menghisap rokoknya hanya menoleh sekilas, Pram yang setengah jalan mau menyelipkan rokoknya ke bibir malah mengurunkan niatnya, berusaha merendahkan tangannya agar tak kelihatan sedang merokok. Jay yang tadi bersiaga di bawah ring untuk mengambil re-bound langsung melengos ke arah datangnya para cewek-cewek. Dan Surya yang sedang melakukan shoot, gagal memasukkan ke dalam ring.

"Ayok, ini nungguin kalian sebenernya." Jawab Janu sambil mematikan rokoknya yang baru setengah di dalam asbak. Pram terlihat kecewa merelakan rokoknya yang belum habis. Ia melakukan hal yang sama dengan Janu. Jay berjalan mendekat meski sekilas menatap Kikan dengan tatapan tak suka. Surya masih mengejar bola yang gagal masuk dan malah menggelinding ke antara semak-semak. Ketika ia sudah mendapatkannya, ia bergabung bersama yang lain di depan teras belakang.

Setelah diskusi yang tak singkat, diputuskan bahwa, Tama akan berangkat membonceng Janu, Jay yang tak mau boncengan dengan cewek akhirnya berboncengan dengan Surya, motor Surya ditinggal, Kikan yang tak mau membonceng cowok akhirnya bareng Lintang, dan Pram yang membawa motornya sendiri. Rombongan kecil itu berangkat berbarengan sekitar pukul setengah tujuh, meski di jam yang sama pula, pagelaran wayang telah dimulai dengan gending pembuka dan nyanyian para wiyaga dan sinden.

Di jalan, Janu pamit untuk mampir di indomart terdekat sebelum mencapai perbatasan kota Wonosari dengan kecamatan Playen. Ia ingin membeli stok rokok dan kopi kalengan. Ketika mereka kembali berkendara, jalanan semakin sepi menuju ke rumah Anggit. Wonosari Paliyan itu beda kecamatan. Di perbatasan kedua kecamatan ini, terdapat hutan jati yang cukup luas. Jalanan lebar dan sepi. Hanya ada satu dua motor dan juga mobil pengangkut kayu melintasi jalan ini. Penerangan hanya seadanya. Dari kejauhan terdengar suara gemuruh guntur.

Mereka berdua tiba di rumah Anggit lima menit setelah rombongan depan sampai. Anak-anak yang telah duluan menunggu mereka di emperan depan rumah Anggit. Ibu Anggit menyalami mereka bergantian sambil mempersilahkan untuk masuk dulu, sekedar duduk-duduk dan minum teh sebelum berangkat. Tetapi mereka mangelak dan berniat bergegas pergi.

Dari rumah Anggit, mereka harus berjalan kaki sekitar 10 menit untuk sampai ke lapangan kecamatan tempat diadakannya pagelaran wayang kulit. Pram membawa tikar yang tadi telah disiapkan Anggit. Anggit membawakan lampu emergensi karena kata Janu mereka akan main kartu kalau lagi bosan. Sementara yang lain berjalan bersisihan sambil ngobrol sendiri-sendiri.

Kecuali Tama. Ia hanya tersenyum kepada dirinya sendiri mendengar obrolan teman-temannya. Lintang dan Kikan mengobrol tentang tugas mingguan klub sastra. Jay, Janu, dan Pram mengobrol soal liga eropa. Sedang Anggit dan Surya hanya mendengarkan ketiganya mengobrol sambil sesekali menimpali berkomentar.

Jalanan mulai ramai oleh orang-orang yang berduyun-duyun menuju lapangan kecamatan. Lampu jalanan redup. Tapi langit gelap tapi tak gulita. Bulan purnama merekah di juring barat. Ebberapa bintang cemerlang terlihat, tak terkalahkan oleh cahaya bulan. Tama mencari-cari gugusan salib selatan, lalu diatasnya ada centaurus, disamping timur ada scorpio.

"Kau tahu, kalau kita melihat bintang, itu berarti kita sedang melihat masa lalu." Kata Anggit tiba-tiba telah beringsut ke samping Tama.

Tama menoleh, tatapannya bertemu dengan Anggit dan Surya.

"Karena, cahaya bintang yang kita lihat, telah melampaui jutaan tahun hingga dapat sampai ke bumi saat ini. Mungkin bintang yang kita lihat saat ini masih hidup, atau sebenarnya telah mati. Kita tak akan sempat tahu, karena begitu lah kerja alam semesta." Lanjut Anggit sambil menerawang menatap langit.

Tama terkekeh mendengar kalimat Anggit.

"Aku kayak pernah baca omonganmu itu dimana gitu, bang." Kata Tama.

JARAK [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang