Poətre #06: Jaringan Tumbuhan dan Sebuah Lelucon Perasaan

10.4K 1.8K 255
                                    

Kau dengar itu surya?
Tawanya hadir dalam sebuah cerita
Tatkala tangan saling bertaut bersama
Tatkala rasa terbesit di antara kita
Lucunya, lukisan cinta
Ia tumbuh tanpa sepengetahuan manusia

Untuk gadis matahari dari manusia penikmat kopi.

"Kenapa cemberut?" bisik Dea pelan di telinga kanan Wida

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Kenapa cemberut?" bisik Dea pelan di telinga kanan Wida. "Ceritanya masih cemburu nih gara-gara lihat Kalan sama Rima tadi pagi jalan berdua di koridor?"

Jagat raya!

Jika di SMA Negara ada sebuah ajang penghargaan tertinggi untuk kategori teman paling menyebalkan sebumi. Makan Wida dengan senang hati akan menobatkan teman sebangkunya ini.

Kenapa sih dari banyaknya topik percakapan harus nama Kalan yang terucap? Masih belum cukup ya membuat kepala Wida jadi kian berasap?

Tiba-tiba kenangan beberapa hari lalu jadi semakin terulang di pikiran. Apalagi kalau bukan soal Kalan dan tentu saja dengan senyuman menyebalkan; Soal Kalan dan kata-kata super mengesalkan; Soal Kalan dan rasa yang---entah membuat jantungnya kini menjadi berdetak menyalahi aturan.

"Cemburu beneran, kan?" ulang Dea.

"Cih! Nggak!"

"Nggak salah lagi, sih, ternyata temen lekerku ini masih bisa cemburu sama seseorang, ya syukur deh daripada dia susah move on dari Mas Mantan yang gantengnya kelewatan."

Bola mata Wida langsung saja membulat begitu mendengar sindiran paling tajam milik gadis berambut sebahu ini. Namun sayang, kali ini Wida tidak bisa menampik atau menyanggah ucapan terakhir Dea.

Iya, Yogyakarta. Kau benar, memang seganteng itu orang yang bernama Bara. Hatinya Wida bahkan tidak bisa untuk berdusta.

Andai, andai kalau Wida tahu akhir ceritanya dengan Bara seperti ini. Dulu mending Wida tak usah mengenal jatuh hati. Rasanya susah sekali menghapus sepotong raut wajah pemuda yang jago mempermainkan isi hati. Belum tuntas cerita lama, sekarang pada lembar barunya Wida tiba-tiba kedatangan sebuah nama baru lagi.

Kalan.

Satu nama yang semesta kirimkan untuk menjadi tokoh dalam bukunya. Entah, tokoh yang nantinya akan memberi akhir bahagia... atau hanya melukiskan kalimat luka.

Bersama helaan napas, pensil berwarna hijau Wida tatap dengan lekat. Dagu itu akhirnya bertopang pada permukaan meja, kedua iris cokelatnya tak henti melihat benda itu dengan cermat.

"Kenapa kisahku jadi harus serumit ini?" gumam Wida melipat dahi sambil memainkan ujung bibir. "Lalu... manusia penikmat kopi itu siapa lagi? Arght! Kenapa aku malah jadi kepikiran itu lagi, sih?!"

"Begini nih efek kalau udah kelewat cemburu. Pelajaran Biologi aja jadi ajang marah-marah nggak jelas," lirih Dea sambil menggelengkan kepala, lalu telapak tangan itu menempel pada dahi Wida. "Masih sehatkan, Buk?"

Dua Frekuensi RasaWhere stories live. Discover now