Awal Pertemuan.

819 48 1
                                    

Di sebuah kursi kayu sederhana. Seseorang menikmati kesendirian, sembari mendengarkan lagu kesukaannya, mengenang suatu masa; kehilang. Ah, itu Ardhana, atau biasa dipanggil Ardan. Pria pendiam dan mandiri yang hidup dalam keluarga sederhana. Ia masih mengingat masa lalu, sekadar berziarah di ingatan. Sebab masa lalu ialah guru; agar langkahnya tak lagi jatuh. Mengingat dia, pernah jatuh cinta luar biasa. Benar, dia seseorang yang pernah mengisi hati, juga mengisi kepala. Bahkan pernah sengaja tak mengerjakan PR agar seseorang yang ia cintai menuliskan tugasnya. Seseorang yang di kehidupan Ardan bermakna, seseorang yang di kehidupannya bukanlah siapa-siapa. Seperti itulah mungkin.

Sekian lama menikmati ingatan, Ardan pun beranjak pergi, berjalan ke arah sungai yang tak jauh dari rumah. Yah, tiap sore ia memang selalu mengunjungi tempat itu guna melihat Senja, sekaligus menenangkan pikirannya sambil mencari inspirasi atau ide-ide yang dianggapnya menarik. Dan menikmati hawa sejuk angin, dedaunan hijau, juga bunyi air yang mengalir deras. Entah mengapa hatinya sangat nyaman bersama mereka. Seperti menganggap mereka adalah sahabat. Walaupun Ardan tahu mereka tak bisa diajak berbicara namun ia sadar, mereka tak semunafik manusia.

17:25 pm, waktu yang tepat untuk menunggu senja. Ia berjalan cepat ke tempat tujuannya. Namun, saat sampai. Langkahnya terhenti. Ia melihat seseorang telah mendahului. Entah siapa dia. Rambut kuncir, juga memakai Kacamata.

Ardan melihat gadis berkacamata itu sepertinya lagi menikmati langit sore. Duduk terdiam, entah apa yang dia pikirkan. Ataukah dia juga sedang menunggu senja ?

"Haruskah aku menyapa gadis itu ? Jika aku menyapanya, itu bisa berdampak buruk dimata orang-orang yang sedang lewat. Sebab mungkin, aku dan dia bisa dikira sedang berbuat yang dilarang. Ah, mengapa pikiran aku mulai sibuk membahas gadis itu. Lebih baik aku pergi mencari tempat lain untuk menikmati senja." guman Ardan. Ia pun berjalan mundur dengan hati-hati dan pelan agar gadis itu tak mengetahui bahwa Ardan telah memandanginya beberapa waktu. Langkahnya mulai cepat agar tak telat mencari tempat untuk melihat senja. Namun sialnya, ada ada ranting kering yang menghalang.

"Hey, siapa disana, siapa kamu ? Apa yang kamu lakukan disana? Berapa lama kau memperhatikanku ?" teriak gadis itu.

Ardan terdiam. "Ahh, kenapa aku bodoh sekali tak melihat ranting ini, jadinya ketahuan dehh... dia tak boleh melihat wajahku, aku sangat malu.."

"Tolong jawab aku!" lanjut gadis itu.

"Haduhh... aku balik aja deh biar masalah ini cepat selesai dan aku pergi. Aku tak mau telat melihat senja." guman Ardan membalikkan badan.

"Sebelumnya maaf kak, sebenarnya aku tak berniat memperhatikanmu, hanya saja aku tak sengaja dan kaget melihat ada gadis yang menempati tempatku lebih dulu. Padahal aku tahu, sudah lama tempat itu tak seorang pun yang menempati selain aku." jelas Ardan.

"Oh ya? Maaf, aku sedang ingin sendiri. Jadi aku berjalan tanpa tujuan dan akhirnya sampai ke tempat ini. Disini nyaman, maafkan aku yang telah menempati tempatmu ini." balas gadis itu.

Mengetahui Ardan mengapa gadis itu ada disana, ia pun berlajan kebelakang. "Hmm,,,, jadi begitu rupanya, tak apa. Silahkan duduk disana. Tak masalah bagiku, asalkan hatimu nyaman. Aku pergi dulu, nanti aku telat...."

Ardan mempercepat langkah kakinya, "Ah aku harus cepat-cepat mencari tempat tuk melihat senja.."

"Heyyy.. aku belum tahu namamu, aku harap bisa bertemu denganmu lagi..." teriak jauh gadis itu.

Gadis itu meneriaki Ardan, dan ia tak menjawab. Jika Tuhan memberi kesempatan waktu untuk bertemu dengan gadis itu. Ardan pasti akan menjawab semua yang ia tanyakan. Sebab, Ardan sangat senang jika ada seseorang yang mengajak bicara. Bagaimana mungkin tak senang, jika yang ia harapkan mendapat kesempatan bertemu dengan gadis cantik tadi.

Sekarang harus dimana Ardan menetap melihat senja. Tak lama ia berjalan, akhirnya menemukan juga tempat. Walaupun tempat ini tak seperti sebelumnya, Ardan mengsyukuri walaupun banyak semak-semak berduri dan agak sulit melihat senja.

Sore ini senja menghadirkan jingga yang tidak biasa. Tanpa sadar melihat senja ini Ardan terpikirkan gadis yang tadi. Ia berharap esok sore gadis itu ada disana, melihatnya hati Ardan merasa menggebu-gebu dan hingga kini ruang kepalanya seperti gadis itu yang menguasai. Pada akhirnya, ia turut mengajarkan apapun untuk sore ini. Disini, Ardan berdoa; berharap semesta akan memberi temu lagi dalam keadaan paling damai. Yang di isikan obrolan panjang hingga senja tenggelam.

Setelah melihat jam tangan, ternyata sudah menunjukkan 18:02 pm. Ardan berangkat pulang sebelum gelap datang menjelma.

Senja dan ArdhanaWhere stories live. Discover now