Chapter 7: Why Always Him?

59.9K 5.9K 110
                                    

Bagaimana bisa dia tahu? Batinku. Namun, seharusnya aku tidak terkejut bahwa dia mengetahui tentang hal itu, mengingat dia selalu berada di mana-mana. Aku pura-pura tidak mendengarnya dan mengalihkannya dengan menatap layar ponselku.

"Bagaimana rasanya terbang?" tanya Xander lagi. "Ah, aku ingat saat pertama kali terbang bersama ibuku. Sangat menyenangkan sekaligus tragis. Ibuku kehilangan sayapnya setelah itu, hukuman akibat dia mencintai seorang iblis. Saat itu dia putus asa dan merasa bahwa hidupnya bukanlah apa-apa tanpa sayap dan akhirnya dia bunuh diri. Kemudian aku dibuang oleh para malaikat."

Lagi-lagi aku mendengar cerita menyedihkan dari Xander. "Apakah kau tidak memiliki cerita yang lebih menyenangkan lagi?" tuntutku.

Supir taksi menatapku dari kaca depannya. "Kau baik-baik saja?" tanyanya.

Aku balik menatap supir taksi itu. "Ah ya, maaf, aku sedang mendalami karakter untuk drama akhir pekan ini," kataku berbohong. Agar dia tidak mengira aku gila dengan berbicara sendiri.

Setelah itu aku diam sepanjang perjalanan sambil mengenakan headset-ku dan menyalakan musiknya, berusaha menyibukkan diri dengan layar teleponku. Dengan begini aku tidak bisa mendengar Xander bebicara, atau memang dia tidak berbicara juga. Entahlah, aku juga tidak peduli.

Saat sampai di depan gedung kampus, aku memberi uang pada supir taksinya dan membawa gitarku. Sepuluh menit lagi sebelum kelas dimulai, tapi sebelum menuju kelas, aku berlari menuju toilet. Xander benar-benar membuatku kesal. Dia seolah ingin membagi kesedihannya padaku dan aku benar-benar merasakan hal itu. Aku juga tidak tahu mengapa.

Toilet cukup ramai. Beberapa gadis berdiri di depan kaca dan berdandan. Ada juga yang berganti pakaian dan sebagainya. Aku masuk ke dalam bilik dan mengunci pintunya. Benar-benar hari yang berat dan tidak terduga. Siapa yang akan mengira kau bertemu dengan malaikat pelindungmu. Mungkin Icarus memang malaikat pelindungku, karena Xander juga mengatakannya begitu.

Aku menarik napas panjang sambil duduk di atas kloset. Kemudian menenangkan diri dan siap untuk masuk ke dalam kelas. Saat aku membuka biliknya kudapati Xander beridiri di depanku, secara spontan aku berteriak.

"Aaaaaaaaaa," teriakku dan semua mata tertuju padaku. "Aaaaaaaa-daa kecoa tadi," kataku berusaha menenangkan suasana agar mereka tidak mengiraku gila juga. Akhirnya mereka sibuk dengan diri mereka sendiri lagi.

Aku menarik Xander masuk ke dalam bilik. Sekarang aku terlihat seperti seorang preman yang memalaki anak-anak junior. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku berusaha berbisik. "Kau harus pergi, ini toilet perempuan."

"Aku tahu, aku hanya sedang mengikutimu," kata Xander santai. Seakan dia sering melakukan hal ini.

"Tunggu, jangan-jangan kau sering mengintipi gadis-gadis di toilet?" tuduhku.

"Apa? Tidak, aku baru kali ini masuk ke toilet wanita," bantahnya.

"Kalau begitu, cepat pergi. Temui aku di luar saja," perintahku.

Xander memutar bola matanya. "Ya, ya, baiklah." Dan dia menghilang begitu saja.

Aku menarik napas panjang. "Benar-benar menyusahkan."

Aku segera keluar dari toilet, takut kalau-kalau Xander menyusulku lagi. Saat aku keluar, diar sedang bersandar di samping pintu dengan melipat kedua lengannya di dada.

"Kau lama sekali," katanya dan mengikutiku berjalan.

"Aku hanya beberapa detik setelah kau keluar, apanya yang lama?" bantahku sambil berbisik.

"Kenapa kau berbisik?" tanya Xander balik.

Aku menunjukkan wajah menjengkelkanku. "Kau ingin semua orang menatapku sebagai orang gila?" aku berbisik lagi.

SERAPHIM AND THE NEPHALEM √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang