Bab 1

1.8K 69 1
                                    

"Sa, barang-barang kamu sudah dimasukkan ke bagasi semua? Tidak ada yang tertinggal, kan?" panggil ibu kepadaku yang sedang sibuk menata dus-dus di dalam bagasi mobil. Hari ini, kami sekeluarga akan pindah rumah ikut Ayah yang dipindah tugaskan ke Bandung. Jujur, hatiku berat meninggalkan daerah yang sudah menemaniku sedari kecil. Berat meninggalkan teman-teman, sekolah, dan semua kenangan yang ada disini. Tapi apa boleh buat? Tidak mungkin kan, kedua orangtua dan kakak laki-lakiku pindah ke Bandung, sementara hanya aku yang tinggal disini? Dengan siapa?

Selama di perjalanan aku hanya termenung memandangi jalan dari kaca jendela mobil. Hiruk pikuk kota Bandung sama seperti Jakarta. Ramai dan macetnya tidak pernah bisa kubayangkan. Aku menghela napas panjang, mengambil ipod dari tas, dan memutar lagu Shadow of The Day- Linkin Park kesukaanku.

Sometimes solutions aren't so simple

Sometimes goodbye is the only way

Entahlah. aku sangat menyukai setiap lirik dari lagu yang kuputar itu. lagu kesukaanku. Terutama dua lirik itu. perpisahan? Aku tersenyum kecil. Umurku masih 18 tahun, baru saja lulus dari bangku kelas 3 SMA. Mungkin sudah bisa dibilang hal yang wajar apabila perempuan seumuranku sudah mengenal yang namanya percintaan. Sampai saat ini, aku baru sekali menjalin hubungan dengan laki-laki. Tapi itu semua sudah menjadi masa lalu. Masa lalu yang tidak pernah ingin kuingat lagi.

Hari ini, semua kenangan itu sudah ditutup rapat. Tidak ingin kubuka lagi. Aku akan memulai hari yang baru, di lingkungan baru, dengan teman-teman yang baru.

Sudah tiga setengah jam aku berada di dalam mobil, namun belum sampai-sampai juga. Aku tidak tahu apakah Bandung memang sering macet seperti ini, atau tidak. Kalau memang sering, cukup membingungkan mengapa orang-orang yang tinggal disini, kuat menjalani rutinitas kesehariannya dengan kondisi yang seperti ini.

Aku menghela napas panjang, lebih memilih memejamkan mata dan larut dengan lagu-lagu yang sedang kuputar.

Mungkin siapapun tidak tahu kalau aku adalah perempuan yang tertutup dengan persoalan cinta. Ya. Aku lebih menyukai menghabiskan waktu dengan diri sendiri. Tidak menyukai keramaian, dan hanya menyukai ruang yang ada dalam diriku.

Entahlah. seperti itu adanya aku. Mungkin itu alasan mengapa di umur ku yang sudah menginjak remaja ini baru satu kali menjalani hubungan. Belum banyak pengalaman yang kudapati perihal ini. Namun rasanya, cinta selalu saja menoreh luka. Entah apa yang salah, tapi aku tidak pernah mendapatkan kebahagiaan dari situ. Mungkin ada, namun hanya di awal. Untuk akhirnya? Sama sekali tidak membahagiakan. Persoalan ini yang justru membuatku menjadi semakin tertutup.

Oh ya! Aku lupa memberitahu, kalau aku sangat menyukai laki-laki humoris. Aku rasa, semua perempuan menyukai laki-laki yang selalu bisa mengundang tawa dalam keadaan apapun. Laki-laki yang bisa membuat dirinya lupa dengan masalah-masalah yang sedang dihadapinya. Laki-laki yang bahkan tahu bagaimana cara agar perempuannya bisa selalu tersenyum, walaupun keadaan tidak mendukung dirinya untuk tersenyum.

Ya. aku sangat mengharapkan sosok seperti itu hadir dalam hidupku. Seakan-akan memberi warna tersendiri. Tapi, bukan laki-laki yang sama sekali tidak bisa diajak serius. Melainkan dia yang tahu kapan saatnya serius, dan tahu kapan saatnya melucu. Tentu ada porsinya masing-masing, bukan?

Aku selalu ingin berada bersama seseorang yang dapat berbagi banyak hal denganku. Berbagi mengenai keluh kesahnya, berbagi mengenai hobi dan kesukaannya, berbagi cerita yang belum pernah diceritakan pada siapapun. Ini yang paling utama! Seseorang yang melakukan itu semua sambil menemaniku menikmati secangkir cokelat panas disaat hujan, atau mungkin secangkir kopi?

"Sa? Nisa?"

Adila Nisa Ardani!

Aku tersentak dari lamunan, "Ih! Apasih bang? Ngagetin aja deh." ujarku sambil memanyunkan bibir yang langsung disambut oleh tawa abangku yang sangat menyebalkan.

"Habisnya kamu melamun kayak gitu ngapain coba? Mikirin mantan?" ledeknya.

"Abaaang, plis deh. Aku lagi liatin jalan saja kok dibilang mikirin mantan. Huh."

Ibu dan ayah hanya tertawa melihat tingkahku dan abang yang masih saja seperti anak kecil. Kami memang dua bersaudara yang tidak pernah akur. Tapi di balik itu semua, abangku adalah laki-laki yang sangat menyayangi dan menjaga adik perempuannya. Dia selalu tahu bagaimana cara menghiburku disaat sedih. Beruntung ya aku menjadi adik perempuannya?

"Nisa, Fadhil, siap-siap sebentar lagi kita sampai ya." ujar ayah yang pada saat itu sedang menyetir mobil.

"iya, yaah." Jawabku.

Pandanganku kembali pada jendela mobil. Aku melihat satu perumahan yang tidak banyak orang berada di luar, mungkin mereka lebih senang menghabiskan waktu di dalam rumah setelah seharian bekerja. Banyak rumah-rumah dengan desain minimalis modern disana, dan salah satunya adalah rumahku.

Ayah memberhentikan mobilnya di depan rumah berlantai dua warna coklat dengan pagar tinggi berwarna hitam.

Semoga saja rumah baru dan lingkungan yang baru membuatku nyaman berada disini. Ya, semoga. 

SenjakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang