Chapter 5 : Kenapa Harus Izin Dulu?

Začít od začátku
                                    

"Dua bulan nggak ketemu bukannya ada acara kangen-kangenan gitu?" tanyaku lebih kepada diriku sendiri. Tapi aku tahu itu pertanyaan bodoh, jadi aku kembali menutup rapat bibirku.

Aku mencoba mengabaikan kejadian barusan. Anggap saja pertemuanku dengan Mama tidak pernah terjadi. Kembali kulangkahkan kakiku di lantai putih rumah sakit ini, menuju tempat tujuan awalku. Kamar inap Rafa.

Tiba di depan pintu kamar inap Rafa, aku mengintip di celah yang terlapis kaca. Terlihat di dalamnya teman-teman kelasku sibuk bercengkrama. Ramai, ribut, untung Rafa dirawat di kamar VIP jadinya tidak ada pasien lain yang terganggu akibat kehebohan teman-temanku itu.

Aku menekan kenop pintu, ketika tubuhku berhasil masuk ke kamar dimana Rafa dirawat, semua mata sontak tertuju padaku.

"Lho, Gea, dicariin dari tadi kemana aja??" tanya Lana heboh.

"Sorry, gue tadi ketinggalan pesawat," jawabku garing. Tapi Lana tertawa. Sungguh Lana adalah teman yang baik.

Aku melihat Arka berdiri tak jauh dari Lana, ketika pandangan kami bertemu, aku buru-buru melihat ke titik lain selain dirinya. Pandanganku terjatuh ke Rafa yang duduk menyandar di ranjangnya. Aku mendekati Rafa dengan senyum canggung.

"Hei, lo udah baikan?" kurasa ini adalah pertanyaan standar yang ditujukan untuk orang yang baru pulih dari kecelakaan lalu lintas yang cukup hebat.

"Lebih baik dari tiga hari lalu," jawab Rafa dengan suara beratnya yang khas. Dia mengulum senyum simpul, senyum yang ikut menular kepadaku.

"Lo nggak cidera parah, kan?" tanyaku lagi sambil melirik sekujur badannya. Kepalanya di perban, tangan kirinya juga. Kalau kakinya aku tidak melihat karena tertutup selimut.

"Patah kaki kiri, ada sedikit cidera di bahu, dan kepala gue, entah dijahit berapa jahitan," sahut Rafa enteng. Aku tidak mengerti kenapa dia bisa sesantai itu saat mengatakan rentetan hal yang mengerikan.

"Thanks Ge udah nyelamatin gue," tambah Rafa tanpa kuduga.

"Gue siapa? Tuhan? Malaikat? Ya kali gue nyelamatin lo. Ngapain makasih sama gue?" aku nyengir jenaka.

"Tapi, lo udah nemenin gue di ambulans."

"That's what friends are for."

"Thanks."

"Cepet sembuh, Raf, biar bisa masuk sekolah. Nggak adil kalau kita-kita aja yang makan ceramah guru setiap hari sedangkan lo tidur-tiduran di ranjang doang," ucapku lagi.

"Betul itu!" sahut Dhanu, teman sekelasku.

"Gewees, bro!" Akbar menambahkan.

Lalu teman-temanku yang lain kompak mengatakan hal yang sama.

Obrolan antara Rafa dan teman-temanku yang lain terus berlanjut. Aku sedikit menjauh dari keramaian karena aku merasa tidak ada hal yang perlu kuobrolkan lagi ke Rafa. Ketika aku mundur, punggungku menabrak sesuatu yang terasa kokoh.

Aku menoleh ke belakang. Arka!

"Lo naik apa kesini?" tanya Arka tiba-tiba. Kerutan muncul diantara alisnya, gestur khasnya ketika dia sedang begitu ingin tahu akan sesuatu.

Ternyata pembahasan kami tentang ini memang belum selesai. Aku berbalik, sepenuhnya berhadapan dengan Arka.

"Yang jelas bukan sama orang yang janji bakal nebengin gue." Aku melipat tanganku ke depan dada sambil menatapnya menantang. Oke, sepertinya ini agak berlebihan. Wajah Arka mendadak menampilkan raut tak enak hati.

"Sumpah, gue tadi nggak liat lo di koridor," bela Arka.

"Ar..." Suara Jess yang memanggil Arka membuat percakapan kami terinterupsi. "HP gue dong, Ar," ucap Jess dengan suara feminin-nya yang begitu indah untuk didengar oleh telinga cowok.

Just a Friend to You Kde žijí příběhy. Začni objevovat