1. The Choice

46 7 1
                                    

Matahari sore menyambutnya beserta dingin yang merasuk ke pori-pori kulit membuat siapa saja tidak akan tahan merasakannya. Gadis berparas cantik ini melangkahkan kakinya menuruni eskalator menuju loby.

Senyumnya mengembang saat ia telah sampai di tempat yang ia tuju, tempat ia akan memperjuangkan kebahagiannya, namun masih terlihat keresahan di mata gadis ini seperti orang kebingungan. Ia masih belum terbiasa dengan hiruk pikuk bandara Icheon Seoul ini. Apalagi, bahasa yang mereka gunakan sangat berbeda dengan bahasa di negaranya dan ia sama sekali tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Ia berjalan keluar dari bandara dan celingukan mencari transportasi yang bisa ia tumpangi ke tujuannnya.

Gadis bernama lengkap Jeana Valeria ini memasuki mobil yang bertuliskan taxi diatasnya. Jeana menunjukkan alamat yang akan di tujunya kepada supir taxi korea itu. Pemandangan sangat menakjubkan dari kota ini. Pepohonan yang masih terlihat alami itu di hiasai kabut pagi membuat Jeana tidak berhenti memandanginya. Kota seoul hampir sama dengan kota jakarta. Hanya berbeda hawa dan kemacetannya saja, dan di korea orang-orangnya lebih taat lalu lintas. Tidak seperti di jakarta yang sering terjadi kecelakaan karena warganya tidak taat berlalu lintas. Dan menemui malaikat mautnya akibat kecerobohan sendiri. Memang umur, rizki, dan jodoh itu tuhan yang mengatur tetapi bukankah lebih baik jika kita berhati-hati. Agar tidak membahayakan diri sendiri dan orang lain.

Taxi ini berhenti tepat di depan sebuah rumah bergerbang coklat dan bangunanya sangat minimalis. Jeana berjalan menuju rumah yang menurut kakek adalah rumah orang yang telah melahirkannya dan meninggalkan dirinya sedari kecil.

Jeana mengetuk pintu dengan hati gamang. Terdengar suara dari dalam rumah seperti orang berjalan ke arah Jeana yang berdiri di balik pintu. Pintu terbuka, seorang wanita paruh baya tersenyum ke arahnya.

“ Excus me. Apakah benar ini rumah Mr. Lee??” tanya Jeana dengan bahasa inggris seadanya.

“Ohh! Mr Lee. Maaf nona sudah sebulan Mr lee meninggalkan rumah ini dan menjualnya kepada kami,” Jawab wanita paruh baya ini sambil tak lepas dari senyum.

"Mereka pindah kemana? Apa anda tau?” tanya Jeana berusaha mencari informasi lagi setidaknya ia tidak sia-sia datang ke Korea.

“Yang saya dengar mereka pergi ke indonesia bersama Mrs. Lee dan anak laki-lakinya.”

“Terima kasih informasinya nyonya. Maaf mengganggu.” Seperti tertimpa batu hati Jeana, bagaimana bisa sang ibu sudah pulang ke Indonesia pada saat dirinya bersusah payah ke Negara ini.

“Tidak masalah Nona.”

Jeana berjalan meninggalkan rumah yang membuatnya kehilangan senyum. Harus kemana ia saat ini. Hanya tempat dan alamat itu yang bisa ia tuju. Jeana tersentak mengingat sesuatu. “YA AMPUN KOPERKU!!” pekiknya saat mengingat koper birunya masih di dalam taksi yang ia tumpangi tadi, ia terlalu antusias turun dari taksi dan menuju ke rumah itu sampai melupakan harta paling berharganya. Dan sekarang hanya tas kecil yang sudah sedikit usang itu yang masih melekat di punggungnya.

“ Aduhh!! Trus sekarang gue harus gimana??” air mata gadis ini mengalir. Bagaimana tidak paspor, handphone, dan dompet semua ada di dalam koper itu. Sekarang hanya kembalian dari uang saat membayar taxi tadi yang masih berada di genggamannya.

Ia terus menangis dan berjalan menyusuri jalanan kota Seoul. Rasa dingin di kota ini seakan tidak ia rasakan mengingat musibah yang baru menimpanya. Jeana duduk di salah satu bangku di taman pinggir kota. Dan Gadis ini terus menangis meskipun ia sadar walaupun ia menguras air matanya pun tidak akan merubah apapun. Tapi setidaknya hal ini dapat membuatnya ini meluapkan emosi.

Tepat di seberang ada sepasang mata sipit memperhatikannya. Ia duduk di sebuah cafe di seberang jalan taman tersebut, ia memperhatikan Jeana dari balik kaca cafe yang bernama DESERT itu. Entah apa yang membuat pemuda ini memperhatikan gadis yang sedang menangis itu. Dapat terlihat dari garis matanya ia adalah orang yang tidak peduli dengan hal tidak penting. Namun kali ini ia seperti bertanya-tanya tentang gadis yang menangis di bangku taman seberang jalan. Pemuda bermata sipit ini mengerutkan keningnya saat melihat tubuh kekar dengan seragam menghampiri Jeana.

“Annyeong haseyo agassi,” Sapa lelaki berseragam menundukkan kepalanya. Jeana mendongakkan kepala menatap lelaki yang sepertinya polisi Korea Selatan. (Nona)

“Annyeong,, English please,” jawabnya sambil menyeka air mata.

“Ahh! Baiklah,, Nona pasti bukan orang korea kan? Anda berasal dari mana bisa anda tunjukkan paspor anda?”

Deg! Jantung Jeana hampir copot rasanya. Bagaimana mungkin ia bisa menunjukkan paspornya sedangkan paspor itu ada di dalam koper yang terbawa taxi tadi. Jantung Jeana berdegup kencang apa yang harus ia katakan. Tidak mungkin ia mengatakan kalau kopernya hilang. Bisa saja polisi Korea ini tidak percaya. Ia harus bagaimana kabur pun tidak akan mungkin itu sama saja dengan memenggal kepalanya sendiri.

“Gimana ini? Gue harus bilang apa coba?” Jeana bertanya kepada dirinya sendiri dalam kebingungan. Tenggorokannya Jeana terasa kering dan kaku, kepalanya pening seketika. Wajahnya memucat seluruhnya.

“Annyeong haseyo. Gadis ini kekasihku dari Indonesia. Dia disini sedang liburan untuk mengunjungiku. Dan pasportnya tertinggal dirumah. Tapi kalau anda mau ikut kerumah melihat paspornya tidak masalah,” Tiba-tiba pemuda bermata sipit mengandeng tubuh Jeana yang lemas. Berbicara dengan polisi menggunakan bahasa korea yang tidak Jeana mengerti sama sekali menjawab pertanyaan polisi yang masih berada di hadapannya.(Hallo)

“He's your boyfriend, mrs?” tanya polisi itu membuat Jeana melongo. Apa pemuda yang saat ini menggadengnya itu mengaku-ngaku sebagai pacarnya kepada dua polisi ini? Yang benar saja. Dasar gila.

Namun percuma saja. Jeana juga tidak bisa berbuat apa-apa. Reflek saja kepalanga mengangguk meskipun mungkin ia akan menyesalinya kemudian.

“Maaf telah menganggu Nona. Lain kali jangan menangis di pinggir jalan dan selamat berlibur.” Polisi itu tersenyum dan melangkahkan kakinya beranjak pergi.
Jeana merasakan sesak di dadanya kian meringan. Ia menatap pemuda disampingnya dengan penuh tanda tanya.

“Saya tidak kenal anda. Tetapi, terima kasih atas bantuan anda,” ucap Jeana di iringi senyum getir. “But, wait how you know i’m from Indonesia?” sambung Jeana lagi kali ini ia bertanya. Meskipun ia tadi tidak mengerti tapi ia dengar kalo pemuda ini menyebut-nyebut Indonesia negara asalnya. Pemuda di hadapannya hanya tersenyum. Jeana semakin bingung.

How Can I Love You?Where stories live. Discover now