Prolog

1.1K 92 13
                                    

Dari Aku, Tentang Ala

Namanya Alamia Mentari. Orang-orang memanggilnya Tari, sedang aku memilih Ala sebagai nama panggilannya.

Orang-orang bilang Ala tidak seperti namanya. Ala tidak pernah tampil alami atau natural.

Ia selalu memoleskan cairan merah kental seperti darah—kata orang namanya lip tint—di bibirnya, disapukannya bedak padat di wajahnya, lalu alis mata yang digambar sedemikian rupa. Oh, tak lupa bulu matanya jadi duakali lebih lentik akibat maskara. Bahkan ikal pada rambutnya saja hasil dari alat pencatok rambut.

Tapi, menurutku itu semua normal-normal saja, seperti kebanyakan gadis lain pada umumnya. Apalagi Ala semakin terlihat menarik dengan segala perlengkapan dan keahlian make up-nya.

Orang-orang bilang Ala tidak seperti namanya. Ala tidak pernah tampil alami atau natural.

Padahal, mereka saja yang tak tahu apa-apa tentang Ala. Mereka saja yang belum jauh mengenal Ala.

Sebab aku, adalah orang pertama yang selalu melihat dan dilihatnya saat ia terbangun dari tidurnya di pagi hari. Adalah aku yang selalu menikmati senyum tulus nan alaminya tanpa cairan merah melekat di bibirnya. Adalah aku yang selalu melihat mata tanpa maskaranya menyipit saat tertawa. Adalah aku yang selalu merasa gemas ingin menangkup kedua pipinya yang tak berbedak.

Bukan. Bukan karena aku adalah suaminya—meski kuharap begitu—yang tidur sekamar bahkan seranjang dengannya sehingga bisa menjadi orang pertama yang melihatnya bangun tidur. Namun, karena rumahku dan rumahnya bersebelahan. Kamarku dan kamarnya pula bersebelahan—hanya terpisah satu setengah meter karena beda rumah. Balkon kamarku dan balkon kamarnya bahkan berhadapan.

Maka, setiap jam setengah enam pagi, aku dan Ala akan berdiri berhadapan di balkon kamar masing-masing. Mempertanyakan apakah semalam tidur nyenyak atau tidak, bertanya mimpi apa yang dialami semalam, lalu menyemogakan masing-masing akan menjalani hari dengan baik.

Mengasyikan, bukan?

Tentu saja sangat mengasyikan.

Sebab segala hal tak menarik pun jika sudah menyangkut tentang Ala, berputar 180° menjadi segala hal yang sangat menyenangkan.

Eh, tidak. Bukan berarti dengan sedetail itu aku menceritakan tentang Ala pada kalian karena aku jatuh cinta padanya. Hanya saja ... entahlah. Mungkin karena aku sudah bersahabat dengannya sejak kami duduk di bangku kelas dua sekolah dasar. Sampai-sampai aku sudah khatam segala tentangnya.

Itu saja dulu, ya? Seiring berjalannya waktu kalian akan tahu seperti apa itu Ala.

***

Dari Aku, Tentang Dru

Aksara Druno.

Namanya aneh, ya? Atau mungkin unik? Yang jelas aku berani bertaruh tidak ada seseorang pun yang namanya sama seperti nama Dru.

Dan aku berani bertaruh, sifat dan sikap Dru tak ada yang menyamakannya. Segala hal yang ada pada diri Dru, hanya Dru yang memilikinya.

Aku memanggilnya Dru, kala orang-orang memanggilnya Aksar. Seperti ia yang memanggilku Ala, kala orang-orang memanggilku Tari.

Orang-orang bilang, Dru tidak seru untuk dijadikan teman mengobrol. Hah, kalau saja mereka bertanya siapa orang yang akan kuajak mengobrol sepuluh tahun non-stop, maka jawabannya adalah Dru. Itu berarti Dru sangat seru sekali bukan untuk diajak mengobrol?

Orang-orang bilang, Dru itu seperti namanya—Aksara, lebih memilih berkutat dengan huruf-huruf. Lebih memilih membaca dibanding bercengkerama dengan teman-temannya. Ck, kalau saja mereka tahu, Dru akan meninggalkan buku bacaannya ketika aku bahkan baru memanggil namanya. Dari mana lebih memilih buku bacaannya?

Orang-orang bilang, Dru itu kurang bersosialisasi, lebih memilih menyendiri kalau bukan sedang ada kerja kelompok. Aduh, mereka saja yang tak tahu, kalau setiap Sabtu sore aku menemani Dru berkunjung ke panti asuhan yang tak jauh dari komplek tempat kami tinggal. Di mana letak kurang bersosialisasinya, coba?

Orang-orang bilang, Dru itu pendiam dan tak banyak bicara. Bolehkah aku tertawa? Mereka tak tahu saja, kalau Dru itu sangat banyak omong saat bersamaku!

Hft. Aku kesal.

Mereka tak tahu apa-apa. Hanya melihat apa yang sekilas mereka lihat. Lalu mengasumsikannya sebagai penilaian dan menyimpulkannya sebagai kebenaran.

Mereka tak tahu saja betapa menyenangkannya bisa menghabiskan banyak waktu bersama Dru di balkon kamar kami yang berhadapan.

Tapi aku beruntung, sih, mereka tidak mengenal Dru yang aku kenal. Sebab hanya aku yang boleh menikmati senyum dan tawa Dru yang kata orang-orang irit untuk dibagikan.

Menceritakan tentang Dru tak akan ada habisnya. Yang jelas, Dru itu berbeda dari kebanyakan lelaki seusianya.

Sudah, ya. Kalian akan tahu sendiri Dru itu bagaimana.

Sebab aku ... akan terus menceritakan tentangnya.

Hah? Ap—ya nggak, lah! Mana mungkin aku jatuh cinta pada Dru? Dru kan sahabatku. Ngaco, deh, kalian.

***

Woah, akhirnya aku publish cerita di wp juga ehe. walopun cuma prolognya doang gpp y.

Cerita ini tadinya berbentuk series dan aku post di akun Line pribadiku. Berhubung aku nggak enak sm friend list aku karena udah mengubah timeline mereka jadi wattpad grgr tulisanku, ya suda kuputuskan untuk post di wp sadja (meskipun banyak bgt yg ditambahin).

Yasudade gt aja, semoga suka, ya!

Hope Is A Foolish ThingWhere stories live. Discover now