"Reza yang kasih alamat kamu di sini," jawabnya Jujur.

Henry mengajak Diva untuk masuk ke dalam rumah. Mereka memang harus bicara banyak. Dan ada raut kerinduan yang mendalam terpancar dari manik mata hitam milik Henry.

Mereka sudah berada di ruang tamu rumah itu. Henry memanggil Mbok Darmi untuk membawakan dua gelas air minum.

Henry memperhatikan Diva, karena ia sudah lama menahan rindu kepada wanita itu. Diva salah tingkah dengan tatapan Henry yang begitu menggodanya.

"Owalaah, iki sopo to, Den?"  Mbok Darmi datang memecah kesunyian dengan membawa dua gelas air berwarna kuning.

Henry tak menjawab, baginya memperhatikan Diva lebih berfaedah dari pada menjawab pertanyaan Mbok Darmi.

Merasa diabaikan Mbok Darmi pamit dari ruangan itu sambil mendengus kesal.

"Kamu apa kabar?" Henry bertanya dengan tersenyum dan senyuman itu sangat manis. Manis sekali buktinya Diva sudah tidak sanggup menahan gejolak di dada.

"Aku? as you see, verry fine!" Diva tersenyum.

"Hen, kita bisa keluar? Aku pengen ke suatu tempat yang bagus di sini," pinta Diva setengah memohon.

"Boleh, whatever you want!" Henry meraih lengan Diva dan Diva mengeratkan pegangannya di tangan Henry.

"Mau ke Pantai?" tanya Henry dia bingung sendiri, selama berada di Yogya dia memang tidak ke mana-mana selain Pantai dan beberapa Caffe bersama Reza.

"Ngga ah, panas kalau ke pantai mah!" tolak Diva yang membayangkan kulitnya akan terbakar karena terkena sinar matahari.

"Mall? Atau ke mana?" Henry kembali bertanya. Ya, tentu saya kalau sekarang dia pergi ke Pantai maka akan tiba di sana saat matahari tepat di atas kepala.

"Terserah kamu," Diva bersuara.

Mereka tiba disuatu tempat yang sejuk, dan indah di mana lagi kalau bukan kebun buah mangunan. Henry mengajak Diva ke sana.

Terang saja di sana ramai, ramai oleh para pengunjung yang terlihat seperti masih sekolah dan kuliah. Beberapa wanita menatap Henry dengan tatapan terpesona. Diva semakin mengeratkan genggaman dia tidak suka orang melihat Henry seperti itu.

"Hen, aku mau ke toilet!" ucap Diva Manja. Henry mengangguk dan menuruti permintaan wanita pujaannya itu.

Sebelum masuk ke toilet yang bertuliskan LADIES Diva menitipkan tasnya pada Henry.

Drrrtt....drrttt...

Henry langsung meraih ponselnya, tidak ada apa-apa di sana.

Drrtt...drrtt...

Beberapa kali ponsel bergetar, Henry membuka tas Diva. Dia tahu ini melanggar kesopanan tetapi sepertinya panggilan itu penting.

My Babe

Tulisan di layar ponsel milik Diva. Henry langsung mengangkat panggilan itu dengan menggeser tombol hijau di layar.

"Sayang, jangan lama-lama di sana aku ngasih kamu kesempatan untuk hari ini saja besok aku akan jemput kamu!"  Cerocos suara lelaki disana.

Henry masih menempelkan ponsel itu pada telinganya. Ia menggenggam erat ponsel itu seakan ia ingin menghancurkannya sekarang juga.

"Henry?" suara Diva terhenti setelah dia melihat wajah Henry memerah. Diva belum tahu apa yang terjadi. Dengan senyum yang masih terukir di wajahnya Diva mendekati Henry.

Tanpa aba-aba dan perintah Henry mengangkat layar ponsel itu dan memperlihatkannya pada Diva.

My Babe

Diva membaca pelan. Suaranya tercekat dia kesulitan meneguk salivanya seakan ada penghalang di tenggorokannya. Dia mengepalkan kedua tangannya. Dan merebut ponsel itu dari tangan Henry.

Henry tak banyak bicara. dia meraih kasar tangan Diva, seketika wanita itu meringis kesakitan. Membawa Diva masuk ke dalam mobil.

"Hen, aku bisa jelasin!" Diva sudah mengucurkan airmatanya.

"Di mana kamu tinggal?" tanya Henry semakin memacu mobilnya dengan ceoat secepat kilat. Bahkan dia tidak peduli dengan klakson yang berbunyi melihat tingkahnya mengendarai mobil sekarang.

"Aku minta kamu dengerin aku!" ucap Diva lirih.

"GUE BILANG DI MANA LO TINGGAL? SAMPAI BESOK BABE LO JEMPUT!" teriak Henry membuat Diva memejamkan Matanya  suara Henry benar-benar memekak telinga.

Dengan terpaksa Diva menyebutkan hotel yang sudah di-bookingnya.

Dengan cepat tanpa buang-buang waktu Henry dan Diva sudah tiba di hotel yang terletak di sebelah Mall kenamaan di kota ini.

"Keluar!" perintah Henry setengah membentak.

"Maafkan aku," Diva langsung keluar begitu saja. Dengan air mata yang masih menetes di pipinya.

*

Disinilah Henry. Setelah beberapa jam lalu dia Bahagia setengah mati bisa bersama dengan Diva. Namun, dalam sekejap semuanya menghilang. Henry teringat jelas ucapan dari pria yang menelpon Diva tadi.

Di sini Henry menikmati kesendiriannya di ruang VIP salah satu club di kota Yogya. Ah, dia masih bisa mendengar dengan jelas suara musik yang berdentum keras di telinganya.

Dia meminum minuman yang sudah lama ini ia hindari. Tidak pernah dia segalau ini, sekecewa ini dan sehancur ini. Dia menggenggam erat gelas kecil di hadapannya itu. Kemudian menuangkan cairan haram itu ke gelasnya lalu meminumnya hingga tandas.

Henry keluar dari tempatnya dan berjalan ke arah bartender yang keheranan melihat Henry. Henry adalah pria asing bagi sang bartender, baru hari ini dia melihat Henry berada di tempatnya bekerja.

Henry terhuyung-huyung sambil memijat pelipisnya yang terasa pusing, dia mengeluark uang seratus ribuan kemudian meminta air mineral kepada sang Bartender.

Air mineral tidak mampu membuatnya sadar.

"Apa lo liat-liat?" cecar Henry begitu ada seseorang yang kebenaran melihat ke arahnya. Henry bangkit hendak menonjok pria itu. Namun, yang terjadi adalah Henry yang ditonjok. Dia hanya mengayun-ngayunkan kepalan tangannya tanpa tepat sasaran. Merasa khawatir, sang bartender langsung menarik Henry dari rombongan lelaki itu.

Wajah Henry sudah lebam-lebam, bartender langsung mendudukan Henry di kursi, dan bertanya pelan.

"Bro, mana ponselmu?" tanya bartender. Dia ingin menghubungi siapapun yang mengenal Henry.

"Bukan urusan lo, sana lo pergi!" Henry mendorong tubuh bartender itu  karena sudah biasa menghadapi hal seperti itu bartender hanya menggeleng prihatin.

Henry mengambil ponselnya yang ada di dalam saku celananya sebelah kiri.

"Halo, bisa lo jemput gue?" Henry masih ngomong dengan ponselnya sendiri.

Tak menyadari kalau dari tadi ponselnya mati. Henry langsung berjalan ke arah Bartender, suaranya sudah parau kepalanya semakin pusing.

Seperti mengatakan sesuatu, kepada bartender, orang itu mengangguk paham.

***

Diva mah paling bisa buat orang galau, kalau gue ketemu Diva udah gue timpuk pake lipstick...

Wkwkw

You're My Propeller (Completed)Where stories live. Discover now