“Kalian teruskan saja. Aku tidak akan ikut, kecuali kalian mau aku main hingga berlumuran darah,”

Luke dan Calum bertukar pandang, lalu mereka menatap Michael, dan ketiganya menatapku. “Ya sudah, latihan hari ini selesai.” Kata Luke final. Aku mengangkat bahu minta maaf.

“Ada yang mau pizza?” Michael mengusulkan.

Aku melengos pergi ke arah kamar mandi dan melepas kaus kakiku dengan satu tangan. Rasanya perih ketika air membasuh lukaku. Kemudian aku melongok ke dalam kotak p3k dan, untunglah, menemukan segulung perban. Dengan cepat aku memerban jariku tebal-tebal. Semoga saja lukanya bisa sembuh dengan cepat.

Setelah itu aku duduk di sebelah Calum di sofa merah. Aku teringat kejadian kemarin. Setelah aku memberitahu Adriane dia menciumku balik, cewek itu langsung menangis. Padahal aku tidak berbohong. Calum mengantarnya pulang.

Rasanya aneh juga merampas first kiss seseorang yang bahkan bukan pacarku. Tiba-tiba aku merasakan handphoneku bergetar.

Telepon… dari Sophie?

“Halo?”

Hening, hanya terdengar suara bip-bip-bip tidak jelas dan suara tangis. “…Ashton?”

Aku berdiri. Calum memandangku dengan aneh. “Sophie? Apa yang terjadi?”

“Ash… June kecelakaan, mobil rusak parah, aku di rumah sakit, tidak boleh masuk, apa yang harus aku lakukan, maafkan aku, aku tidak tahu harus menghubungi siapa lagi, orangtua June sibuk, asuransi—“

“Ssh… tenanglah,” kataku lembut.

Sophie terdiam di ujung sana, terdengar suaranya menyedot hidung.

“Aku akan kesana, oke?”

**

Aku mengebut di jalan raya dan sampai di rumah sakit dalam sepuluh menit. Sophie sudah memberitahuku dimana dia berada, dan aku melangkah panjang-panjang, tidak mempedulikan sekitarku.

Lalu aku melihatnya. Rambut pirangnya tergerai di seputar bahu, wajahnya terbenam dalam telapak tangannya. Kacamata dan handphone tergeletak di sisinya. Koridor itu sepi, hanya ada kami berdua dan bunyi bip-bip-bip yang kudengar di telepon. Aku menghampirinya sepelan mungkin, lalu duduk di tempat kosong di sebelahnya. Aku merangkul bahunya dengan lembut dan menariknya mendekat.

“Hey,” sapaku. Aku ingin Sophie tahu dia baik-baik saja, June baik-baik saja, segalanya akan baik-baik saja. Aku ingin Sophie tahu aku akan menemaninya apapun yang terjadi. Sophie menatapku dengan mata hijaunya yang basah oleh air mata. Kupeluk dia erat.

Lama-lama isakannya menghilang. Ketika itulah pintu di dekat kami terbuka, dan keluarlah seorang dokter mengenakan jas panjang putih. Sophie langsung berdiri dan berbicara pada dokter itu. Aku melihatnya mengangguk.

“Ashton, aku bisa melihat June sekarang,” ucapnya terdengar lega. Lalu ia menyeretku memasuki ruang rawat June.

Gadis yang satu lagi itu terbaring di ranjang, matanya terpejam. Perban melilit kepalanya, dan sudah muncul beberapa memar pada pipi dan rahangnya. Bibirnya terlihat seperti baru saja mendapat jahitan. Sophie langsung duduk di kursi sebelah tempat tidur June, memperhatikan wajah sahabatnya sebentar, lalu mengisyaratkan agar aku mendekat.

“Those stitches looks pretty bad,” Sophie bergumam. Entah apa saja yang ada di pikiran gadis ini sekarang. Selama beberapa saat, ia hanya menonton June tidur. Aku keluar sebentar untuk membelikannya minuman. Ketika aku kembali, aku memberikan botol dingin itu kepada Sophie dan dia meneguk isinya penuh syukur.

“…Soph?”

Sophie buru-buru menoleh kembali ke arah June yang tampaknya merasa tidak nyaman. “June? You’re awake!” suaranya diliputi perasaan lega.

Replayed [UNDER SERIOUS EDITING]Where stories live. Discover now