Chapter- 02

Mulai dari awal
                                    

“Dan kalian berdua.” Janeeta menunjuk kedua lelaki yang masih duduk tegang menghadap kearah Janeet dengan tatapan, takutnya.

“Udah tahu, Adiknya takut sama yang kaya gituan, malah di dieumin. Bukanya di tenangin!” Faus menundukan kepalanya.

“Dan kamu Fai, Abang kamu lagi kesusahan malah kau tertawakan. Ck, Mamah nggak pernah ngajarin kamu kaya begitu ya Fai.” Tegas Janeet dan hal itu langsung membuat wajah Fai muram dan menunduk, perlahan terdengar cicitan maaf dari keduanya.

Janeet merasa sangat pusing akhir-akhir ini, di tambah dengan kegaduhan putra-putra dan putrinya itu semakin membuat dirinya pusing.

Ia memijit sedikit pelipisnya dengan tanganya yang menganggur. Dan setelah itu, ia menepuk pundak Fauz yang masih menempel denganya dan membawanya pergi kekamarnya.

Sebenarnya pekerjaan Janeet masih banyak di dapur. Tapi, Janeet merasa harus menenangkan rasa takut anaknya yang satu ini, Janeet takut keadaan mentalnya nanti yang terganggu. Rasanya Janeet untuk memikirkanya saja, sudah merasa tak sanggup.

“Sayang, sudah ya. Bobok sama Mamah, masa sudah kelas 1 SMA masih saja takut lihat Adik kamu seperti itu?” Janeet berbaring di pinggir Fauz dan mengusap-usap rambut tebal Fauz, Fauz lagsung meringkuk di hadapan Janeet, menenggelamkan kepalanya di dada Mamahnya.

Rasa nyaman dan hangat mulai membuat Fauz tenang, sebenarnya ia tak mau seperti ini, ia sangat ingin berkelakuan normal seperti Adik dan juga Kakaknya. Tapi, hal itu sungguh sulit di lakukan olehnya, entah karena apa.

Beberapa menit sudah berlalu, begitupun deru napas Fauz sudah semakin menormal.

Janeet menghela napasnya dan di
kecupnya pelipis anaknya dengan sayang dan—

“Mah.” Ujar Faus memasuki kamar Janeeta di ikuti oleh Fai dan juga Fio.

Janeeta kembali menghela napasnya, membenarkan letak selimut Fauz dan mengecupnya kembali.

“Maafin kami.” Ujar Faus berdiri di hadapan Janeet dan Fauz yang sudah berbaring tertidur.

Janeet melihat keanak pertamanya itu dengan tatapan yang sangat lelah, ia berdiri dan keluar dari ruangan itu.

Fio yang melihat Mamahnya yang tengah marah itu langsung menunduk, air matanya merembes dengan perlahan.

Mereka langsung keluar dari kamar Janeeta setelah mereka mencium kening Fauz, mereka sangat menyayangi kembaranya itu.

“Maahhh—“ Fiona langsung merengek memeluk Janeet kala dilihat Mamahnya itu tengah terdiam di sofa panjang yang tadi di tempati Faus dan Fai.

Di ikuti oleh Fai, memeluk sisi lain dari Mamahnya, Faus langsung menghembuskan napasnya dan berjongkok di hadapan Mamahnya sembari memegang kedua tangan Mamahnya.

“Maafin kami Mah.” Ujar Faus sembari membenamkan wajahnya di genggaman tangan Mamahnya.

Janeet masih terdiam sembari menatap kedepan dengan tatapanya yang kosong, lalu air matanya terjatuh dengan sendirinya.

Sebenarnya ia sangat tidak ingin menujukan kelemahanya di hadapan anak-anak. Tapi, ia sudah tidak tahan untuk melakukan yang tengah di lakukanya saat ini.

“Mah—“ tegur Faus dan menghapus bulir air mata yang dengan beraninya melintas di pipi Mamahnya.

Fio dan juga Fai kembali mengeratkan pelukanya, seakan-akan mereka tidak akan pernah bertemu dengan ibunya itu.

“Mamah hanya takut sayang.” Ujar Janeet kepada anak-anaknya. Ia melihat kearah Faus dan mengusap pelipisnya sampai kepipi.

Dan mencium kening Fai dan Fio yang berada di sampingnya.

“Adik kamu—“ melihat kearah Faus “Abang kamu—“ melihat kearah Fio dan juga Fai, sekejap ia menghela napasnya.

“Dia sangat lemah, dia paling lemah di antara kalian, Mamah mohon jaga dia. Bukanya Mamah pilih kasih antara kalian sama dia. Tapi, Fauz itu sangat istimewa sayang.” Janeet memejamkan kembali matanya, rasanya sangat tidak bisa untuk sekedar menyatakan kekurangan anaknya yang satu itu.

Faus langsung memeluk Janeet yang otomatis membuat Fai dan juga Fion memberi jarak untuk Abangnya itu.

“Maafin Abang mah.” Ujar Faus menenggelamkan wajahnya di lekukan leher Mamahnya, menahan tangisnya agar tak terisak.

Janeet langsung menepuk-nepuk punggung anaknya ini.

“Sepertinya, Mamah memang sudah saatnya membawa adikmu ke Dokter.” Ujar Janeet dan langsung membuat Faus melepaskan dekapanya melihat kearah Janeet begitupun dengan kedua adiknya.
Apakah sudah separah itu keistimewaan dari kembaranya itu?

.

Faus masih terdiam di belakang rumahnya, ia sedikit menyesap rokoknya yang tadi sempat di belinya di warung.
Ia masih merasakan kesedihan yang di rasakan Mamahnya tadi pagi.

Bagai manapun, Faus tak sebodoh itu untuk selalu membiarkan Mamahnya bekerja, bahkan di hari libur seperti sekarangpun Mamahnya dengan memaksa harus bekerja. Banyak alasan yang di lontarkan Mamahnya kepada dirinya, tapi lagi-lagi Faus tak mudah untuk sekedar di kibuli. Apalagi oleh Manahnya sendiri.

Faus memang tahu kebutuhan rumah itu semakin hari-semakin menipis, harga-harga di pasarpun sudah semakin melonjak tapi, uang yang di milikipun semakin menipis.

Apalagi sekarang Mamahnya harus memikirkan tentang Adiknya Fauzan. Bagaimanapun, ia tahu uang yang akan di keluarkannya itu tidak sedikit.

Faustan kembali menyesap rokoknya, menikmati rasa tenang untuk sesaat di dalam dirinya hingga sebuah sentakan menyadarkan dirinya.

“Bang, lo ngeroko?” ujar seseorang itu langsung membuat Faustan mendongak dan tersenyum melihat Adiknya, ia langsung membuang rokoknya ke tanah.

“Cuman lagi ingin.” Senyumnya, “Sini.” Ujar Faustan menepuk-nepuk lantai di sebelahnya.

“Gimana keadaan lo?” tanya Faustan kala merasakan Fauz sudah terduduk dengan tenang di sebelahnya.

Fauz langsung tersenyum kecut, terkadang ia merasa ia itu seperti orang gila yang tidak mempunyai kewarasan.

Mengamuk dan merasa ketakutan dengan secara tiba-tiba, entah apa yang memang tengah terjadi kepada dirinya tapi, Fauz rasanya sangat tidak nyaman, apalagi kalau ia sudah merepotkan keluarganya.

“Fauz, hanya mau Mamah senang Bang.” Keluh Fauzant dan itu langsung membuat Faustan tersenyum.

Sepertinya, rencana untuk membantu Mamahnya akan berjalan dengan lancar.


26092017

Our StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang