22. Confess

23.7K 3.6K 309
                                    



Chapter 22

"Confess"


Tangan gue yang ditarik oleh Daniel mau tak mau membuat kaki gue ikutan berlari. Sedari tadi mulut gue sudah memaki dan bersumpah serapah, tapi nampaknya Daniel nggak peduli, dia asik aja narik gue sambil lari-larian nggak lupa dengan suara tawanya sepanjang jalan. "Woy lo kalau ngebangsat jangan ngajak gue juga dong bajingan!" Itu adalah salah satu contoh kalimat gue yang terdengar kasar tersebut. Jangan ditiru, nggak baik.

"Daniel gue nggak mau bolos!"

"Siapa yang ngajakin lo bolos, gue cuma ngajak cabut dari kelas!"

"Sama aja setan!" Gue jadi emosi.

Kami berhenti di gerbang belakang sekolah, area yang jarang dilewati oleh penghuni sekolah. Gerbang itu nggak jauh lebih tinggi dari gerbang depan. Disana ada beberapa kursi dan meja yang ditumpuk menjadi tinggi untuk mencapai ujung tembok, sebagai alat bantu untuk loncat bagi mereka yang mau bolos.

Gue melayangkan tatapan tajam pada cowok yang sibuk memastikn bahwa kursi dan meja tersebut tidak akan jatuh. "Lo bolos aja sendiri deh, nggak usah ngajak gue" Gue berbalik dan hendak berjalan menjauh dari tempat tak patut tersebut.

Seperti biasa, Daniel suka banget menahan lengan kalau gue hendak pergi. "Ikut gue"

"Woy lo sadar nggak yang lo ajakin bolos tuh siapa? Ketos" Ia tertawa kecil. "Ya terus? Ketos nggak boleh bolos? Lo bakalan nyesel di hari tua kalau nggak nyobin bolos waktu muda"

Sinting. "Anggap aja olahraga, memang lo nggak bosen duduk mulu di kelas? Atau duduk di sekret buat rapat? Sekali-kali hidup lo menantang dikit kek"

Gue bersedekap tangan. "Lo kira jadi Ketua Osis nggak menantang? Mungkin sudut pandang kita soal menantang itu beda. Udah ya gue mau balik kelas, gue nggak mau bolos pelajaran Bahasa Inggris!"

Tangan gue ditahan lagi. "Yaudah sesekali lo ngerasain hidup dari sudut pandang anak sekolahan macam gue"

Gue masih menggeleng. "Tas gue udah di kelas" dan tentu Daniel masih memaksa. "Ada temen-temen lo yang bisa ngumpetin tas"

Nih bocah. "Daniel, lo pengen banget ya bolos bareng gue" Sudut bibirnya langsung naik, ia tersenyum kecil. "Tuh tau, nggak usah gue kasih alasan lagi kan?"

Daniel menepuk kursi dan meja yang telah disusun dan dengan entengnya menyuruh gue naik. "Naik" Gila aja. "Gue pake rok!"

Dengan tenang Daniel melepaskan blazer sekolahnya, dan melemparkannya hingga menutupi seluruh kepala gue. "Pake itu, iketin ke pinggang lo" Gue mendengus dan menarik blazer tersebut paksa dari kepala gue, namun anehnya gue nurut-nurut saja. Nampaknya menyerah hari ini lebih baik ketimbang gue harus berdebat berjam-jam disini, mulut gue sudah cukup lelah setelah menghadapi Naomi dan teman-temannya.

"Udah!" Ucap gue. Dia mengangguk kecil kemudian naik terlebih dahulu, menunjukkan caranya berpijak dan berpegangan hingga sampai ke ujung tembok paling tinggi. "Sekarang giliran lo, buru gue bantu doa dari sini"

Coba, siapa yang nggak ingin mengumpat.

"Kalau gue jatoh gimana?"

"Berarti lo nggak cukup pintar untuk mencerna step-step yang udah gue tunjukkin ke elo" Astagfirullah, alangkah lincah mulut si Daniel. Gue berdecak dan langsung berapi-api mendengar kalimatnya yang menusuk harga diri gue tersebut.

Daniel menjulurkan tangannya ketika gue hampir sampai di atas. Gue menolak dan memiluh naik sendiri, dan hampir saja menjatuhkan diri sendiri ketika mencoba menaruh kaki di ujung tembok, untungnya Daniel sigap memegangi lengan gue. "Harga diri lo lebih tinggi ya dari tinggi badan lo"

Jagoan Where stories live. Discover now