1 : Unexpected Meeting

317 33 0
                                    

Tubuhnya bergetar hebat setelah memuntahkan isi perutnya. Napasnya terengah-engah mulai terasa kepalanya akan pusing. Menekan perutnya mulai terasa sakit. Terasa aneh, perasaan tadi pagi sarapan yang telah disiapkan ibunya tidak mengandung cuci perut bahkan pun apakah ini masa suburnya? Tapi tak mungkin ia telah menyelesaikan masa subur itu.

Keluar dari kamar mandi ia menghampiri meja riasnya, mendaratkan bokong dikursi seraya berhadapan dengan cermin berbentuk oval menampilkan paras cantik-namun wajahnya terlukis guratan lelah.

Terbayangkan seminggu yang lalu, mengingat waktu terjadinya saat itu ia merelakan pertamanya kepada lelaki-kekasihnya. Dipikirnya, ia tersadar betapa bodohnya kejadian itu kekasihnya tidak menggunakan pengaman ataupun mengeluarkan didalam tubuhnya. Membayangkan betapa lemahnya tubuh itu dibelai-kemudian merasakan hal yang aneh namun terasa nikmat. Miyeon berusaha menepis pikiran itu. Ia bukan bodoh ataupun salah, karena kepolosan dan juga merasakan suasana baru yang menciptakan gairah bertingkat lanjut–hanya karena belaian lawan jenis.

Kepalanya berdenyut hebat, sehingga objek pandangannya mengabur-selanjutnya bergoyang seperti guncangan gempa yang dahsyat.

Mengingat kata-kata manis oleh Jihoon, berjanji akan menikahinya secepat mungkin. Miyeon mengulas senyuman, ia akan bersedia dinikahinya nanti. Hubungan kedua insan itu telah menjalankan sekitar dua tahun lebih. Ditengah kesepian rumah yang hanya tiga keluarga, namun hanya menyisakan satu seorang. Kedua orangtuanya terlalu sibuk dengan kesibukkan dunia bisnis, belum lagi mengurus hal-hal pekerjaan samping yang tak luput memakan waktu santai. Setiap minggu dalam kurun waktu satu hari ataupun hingga tiga harilah orangtua Miyeon memiliki waktu luang maupun berkumpul untuk dirinya. Itupun, ditengah kesantaian orang tua Miyeon selalu direnggut sedikit urusan pribadi.

Itulah sebabnya Miyeon digelut kesendirian, tanpa kasih sayang kepedulian sang ayah dan ibu. Tak heran, gadis muda itu selalu ditemani Park Jihoon. Miyeon butuh teman hidup yang selalu direbut oleh kesepian. Itupun, kekasihnya terkadang menyempatkan diri bertemu dengannya hanya sehari dua haripun dalam perminggu. Terkadang Jihoon sama sekali tidak mengunjungi gadis kesayangannya. Ia juga lelaki super sibuk seperti kedua orang tua gadis itu.

Mungkin inilah takdirnya saat menginjaki umur yang akan dewasa. Ia memaklumi kehidupannya seperti ini. Selalu mandiri, tanpa dimanja dan ditolong. Kalau ia punya teman, itupun ia tidak begitu akrab dengan teman sekolahnya. Bukan sombong segala alasannya, dia memang sudah mengetahui batin dirinya tetap seorang gadis kesepian. Miyeon lebih baik menyendiri, daripada berdekatan dengan seseorangpun seperti tak menganggap dirinya hadir.

Dengan langkah tertatih, ia menuju nakas mengambil obat terbungkus plastik bening untuk menahan rasa nyeri didalam perut. Memasukkan butir obat, kemudian mengambil air botol mineral meneguknya dengan cepat. Helaan napas keluar begitu saja, merambat menuju kasur untuk menenangkan dirinya yang merasa kesakitan.

Kepalanya masih terasa pening. Berdenyut hebat, matanya menutup kuat. Kembali memikirkan pria itu apakah benar ini tandanya hamil atau bukan?

Miyeon menggeleng tak percaya, ia tak mungkin menerima ini semua. Apalagi hamil muda ketika diusia masa sekolah. Ia tak rela jika masa sekolahnya berhenti di akhir pendidikan menengah keatas dengan sia-sia. Tubuhnya terasa melemah, disitulah ia terbaring tak berdaya.

---

Tak seharusnya di tengah malam kelewat dini hari berjalan lunglai di kesepian gang. Mabuk adalah tak wajar, jika sedang kesepian–tanpa teman menjadi kawalnya. Sebaiknya ia tidak keluar menuju bar hanya sekedar melampiaskan amarahnya.

"Sialan kau Park Minhae!"

Pria itu mengumpat kasar, membenci hal yang harus diterima secara paksa. Berteriak sangat keras tanpa peduli sekeliling rumah yang pemiliknya sudah tertidur pulas. Rambutnya diacak kasar menggeram lagi tiada kentara. Lalu tungkai kakinya ingin berlari sesuka mungkin. Tapi kesialannya terkena oleh dirinya. Menabrak tiang listrik jadi bahan pelampiasan amarahnya kembali mengeluarkan umpatan tidak jelas. Kesal luar biasa. Ia membenci kenyataan ini.

You Are The Bestحيث تعيش القصص. اكتشف الآن