Bibir Dhito yang tadinya hendak membuka mendadak tertutup.

"Satu lagi, maaf kalau kurang sopan, sebaiknya saat bicara dengan seseorang ada baiknya bapak membuka kacamata kecuali memang bapak adalah orang berkebutuhan khusus."

Ari nyaris terkikik. Lalu dengan gaya anggun Dhito melepaskan kacamatanya, melirik sebentar pada Ari yang langsung terdiam lalu memusatkan pandangannya pada Wanda yang, anehnya tampak biasa saja saat menatap wajahnya.

Tidak salah?

"Terima kasih." Kata Wanda, tampak tidak tertarik dengan penampakan wajah Ditho yang sebelumnya di kerubungi oleh para wanita.

"Jadi, " Wanda kembali berbicara dengan serius.

"Ari akan kami beri surat peringatan pertama, bahwa apa yang dia lakukan salah. Apabila setelah ini Ari masih nekat melakukan kesalahannya, surat peringatan kedua serta hukuman skorsing menunggu. Kami juga butuh dukungan dari keluarga untuk membantu Ari apabila ada masalah yang tidak dapat diselesaikan sendiri. Usia seperti Ari butuh dukungan dari orang terdekatnya."

Wanda ingin melanjutkan ucapannya namun merasa terganggu saat mata Dhito menatapnya dengan intens.

"Rambut anda basah." Katanya seakan tidak peduli pada kata-kata Wanda tadi.

"Iya, bapak. Saya habis sholat tadi."

"Hm..."

"Jadi, soal Ari, saya minta tolong..." Wanda berusaha melanjutka ucapannya namun segera dipotong oleh Dhito.

"Anda single?"

Apaan, sih?

Wanda menatap tidak suka pada Dhito yang bicara blak-blakan didepannya, dan adiknya sendiri tentu saja. Bahkan Ari sampai menggaruk kepalanya karena malu.

"Ganda campuran, pak." Kata Wanda asal. Lalu ia bangkit dan menatap Ari dengan tegas.

"Ari kamu ikut ibu kekantor, kita cetak surat peringatan pertama yang harus ditandatangani sama wali kamu."

Ari segera bangun dari duduknya dan cepat-cepat mengangguk.

"Siap, bunda."

Lalu Wanda menoleh padanya.

"Saya pamit sebentar, bapak Dhito."

Ditho kemudian mengangguk sambil tersenyum tipis, sementara Ari sudah melangkahkan kakinya menyusul Wanda yang lebih dulu keluar dari ruang BK dengan wajah yang tampak gusar.

Well, dia menarik. Batin Ditho.

Tapi kenapa dia tidak terpesona seperti yang lainnya?

"Kamu nggak menelepon orang lain dan kamu akui jadi kakak kamu kan, Ri?" Selidik Wanda saat mereka sudah berada di ruang Tata Usaha, menunggui hasil cetak surat peringatan untuk Ari.

Bocah itu menggeleng.

"Nggak, bunda. Ari udah buat salah dengan merokok, nggak mau lagi ngulang bohong. Memang bang Dhito kakaknya Ari."

"Gayanya beda banget."

"Pekerjaannya yang bikin jadi begitu. Aslinya nggak." Balas Ari.

"Memangnya apa kerjaan kakak kami sampe gayanya selangit begitu? Sales mobil mewah? Pialang saham? Atau bos narkoba?"

Ari menggaruk-garuk kepalanya. Kenapa gurunya seperti tidak tahu apa pekerjaan yang dilakoni abangnya?

"Ibu beneran nggak tahu siapa bang Dhito?"

Wanda menggeleng. Saat itu seorang pegawai TU sudah kembali dari meminta tanda tangan kepala sekolah.

Sambil mengucapkan terima kasih, Wanda menerima surat itu lalu membaca tulisan yang tertera disana.

"Beneran kalian saudara kayaknya." Gumam Wanda saat membaca isi surat tersebut. Ari tersenyum. Akhirnya sang guru sadar.

"Namanya susah banget dibaca. Bikin keseleo lidah." Ia tertawa.

Ari kembali bengong. Tidak mungkin bunda Wanda belum sadar. Ardhito itu ibarat Christiano Ronaldo dalam sepak bola. Semua orang tahu bahkan berharap suatu saat bisa berjabat tangan dengannya. Namun kenyataan didepannya sekarang tampak jauh berbeda. Wanda bahkan tidak peduli sama sekali pada kakaknya.

Ari tersenyum. Bunda Wandanya bahkan tetap memperlakukan Ari seperti biasanya. Tidak seperti yang lain, berubah jadi menyebalkan saat mereka tahu kalau ia adalah adik Ardhito Abyan Abinaya yang terkenal itu.

Wanda lalu menandatangani bagian surat yang terdapat namanya, lalu setelah selesai ia menatap wajah Ari dengan serius.

"Ri, ibu harap kamu tidak ceroboh mengulangi hal seperti ini disekolah. Kalau diluar sana, ibu tidak bisa melarang karena merokok atau tidak itu hak kalian. Hanya saja, kamu harusnya tidak merugikan diri dengan hal semacam itu. Kamu ganteng dan berbakat, juga pintar dan baik, ibu percaya di masa depan kamu akan lebih bersinar dari sekarang, jangan rusak diri kamu dengan rokok atau apapun itu, kalau suntuk, ambil bola basketmu, ajak ibu main di lapangan, atau boleh curhat selagi ibu bisa akan ibu dengarkan. Kamu harus janji jangan ulangi hal seperti ini."

Mata Ari berkaca-kaca.

"Orang tua kamu sibuk, mereka punya alasan. Klise memang, tapi tahukah kamu, andai mereka tidak bekerja, mungkin kamu tidak akan bisa bersekolah di sini. Walau berat, kesepian tanpa mereka, kamu harus tunjukkan rasa hormat dan kasih sayang saat bertemu. Kita tidak akan tahu, saat kita sibuk, mereka sedang berjuang atau bahkan saat kita tidak sadar, ketika pulang menemukan mereka sudah terbujur kaku, saat itu kamu bahkan tidak punya satu kesempatan lagi untuk membuat mereka bangga."

"Pedih memang saat orang tua yang kamu jadikan panutan tidak berada disamping kamu saat dibutuhkan. Tapi lebih pedih lagi kalau menemukan kenyataan bahwa mereka tidak berada disisi kamu lagi selamanya."

Air mata bocah tampan itu menetes tanpa diperintah.

"Kalau mereka tidak menelepon kamu, maka kamu yang harus mulai menelepon mereka. Ingatkan mereka untuk makan, beristirahat atau mengingat Tuhan. Karena bagi orang tua, hanya anak yang bisa membawa mereka ke surga."

Ari mengangguk dan menyeka matanya yang basah dengan telunjuknya.

"Maafin Ari, bunda." Katanya menyesal.

"Jangan diulangi lagi. Kamu masih punya banyak kesempatan untuk jadi orang hebat. Manfaatkan itu untuk buat orang tua kamu bangga. Jangan terintimidasi sama kakak kamu."

"Bunda sudah tahu siapa abang Dhito?"

Wanda menggeleng.

"Ibu nggak tahu, tapi yang ibu tahu adalah kamu tampak tertekan ketika berada disampingnya. Seperti bukan Ari yang ibu kenal. Kamu gugup. Hal seperti itu juga biasa terjadi antar saudara."

Ari tersenyum. Siapa yang tidak minder kalau berada di samping bang Dhito?

Wanda selesai menandatangani surat peringatan milik Ari saat wajah Mike muncul mengagetkan mereka.

"Ibu Mike sudah datang, bunda." Katanya.

Wanda mengangguk lalu meminta Mike membawa ibunya ke ruang BK sementara ia akan segera menyusul.

"Ri, jangan lupa pakai materai ya. Kamu cari dulu kalau nggak ada. Di toko fotokopi depan sekolah biasanya jual. Nanti beli dua sekalian buat Mike."

Ari mengangguk. Ia segera pamit, sementara Wanda mulai menyusul Mike dan ibunya menuju ruang BK.

****

Miss Wanda (Completed)Where stories live. Discover now