BAB 7

880 67 2
                                    

Hari minggu tepat pukul sembilan pagi Adena terbangun dari tidur nya ketika merasa ada cipratan air yang membasahi mukanya. "Na, Na, bangun!"

Bermodalkan air di telapak tangan, laki-laki yang sekarang berdiri di ambang pintu kamar itu mampu membangunkan Adena yang terkenal sangat kebo. Genta tertawa di tempat nya melihat wajah kumel sekaligus marah perempuan itu.

"Mandi nya kayak capung, cepet banget," komentar Genta saat Adena keluar dari kamar mandi yang ada di kamar nya dengan pakaian yang sudah ia kenakan di dalam sana terlebih dahulu.

"Jadi lo pernah ngintipin capung mandi? Dasar mesum," cibir Adena sambil menyisir rambut nya asal lalu berjalan mendekat ke arah Genta yang sedang memaksakan senyum karena lawakan receh Adena tadi. "Ngapain kesini pagi-pagi?"

"Mau lari pagi."

"Eh ngasal banget dah." Adena terbahak di tempat nya. "Udah jam sembilan gila, mau menjelang siang."

Genta tidak menghiraukan cibiran gadis nya itu. Ia berjalan mendahului Adena yang tertinggal di belakang. Saat menuruni anak tangga, Genta sengaja menoleh ke belakang untuk melihat apakah gadis itu baik-baik saja atau tidak.

Laki-laki yang memakai celana trening selutut itu kemudian menaiki dua anak tangga, mensejajarkan langkah nya dengan Adena kemudian mengamit tangan nya dan menuntun berjalan.

Adena tidak melakukan apa-apa. Ia jelas tahu alasan mengapa Genta menggenggam tangan nya--cara laki-laki itu untuk membuat Adena merasa lebih baik--karena perdebatan hebat yang terjadi di dapur antara kedua orang tua nya.

"Beliin apa kamu buat pacar kamu itu?!" Teriakan Eca--Mama Adena--terdengar sangat jelas, bahkan bisa terdengar hingga belakang rumah Adena yang terdapat bangunan lagi untuk tempat tinggal para pembantu nya yang berjumlah lima orang.

"Jawab aku, Danu!" Yang di sebut nama nya tidak melakukan apa-apa, hanya memijit pelipis pusing. "SAYA CAPEK!"

Genta makin menguatkan genggaman nya, berharap kalau Adena tidak menangis--setidak nya jangan sekarang.

-----


"Kenapa malah jadi main badminton si?!" Adena ngomel kepada Genta yang sekarang terhalang net yang bahkan tinggi nya melebihi Adena sedikit.

"Karena lari lo kayak siput, males gue nunggu nya," jawaban Genta sontak langsung membuat Adena memukul kepala laki-laki itu dengan raket yang ia pinjam dari anak sd yang tadi sedang bermain.

Sebenarnya bukan Adena yang meminjam, tapi Genta. Ia dengan sedikit paksaan menyuruh kedua anak laki-laki itu minggir sebentar dan meminjamkan nya raket. Kedua nya menurut, kemudian duduk di samping lapangan badminton yang ada di kompleks nya. Adena dan Genta memang satu komplek, hanya beda blok saja.

Set pertama dengan hitungan 21 di menangkan oleh Adena dengan skor tipis. Perempuan itu kelelahan di tempat nya dan menyuruh permainan untuk berhenti. Genta memang sengaja mengajak Adena bermain badminton, karena memang hanya olahraga ini yang Adena bisa, juga karena Genta bisa membodoh-bodohi diri nya sendiri sehingga Adena yang menang.

Kedua nya duduk di pinggir lapangan.

"Akhirnya Genta Adnan Alfaridzi bisa di kalahkan oleh Adena Syakila," ucap Adena dengan suara yang di buat-buat formal seperti wasit badminton--padahal sama sekali tidak mirip.

Perempuan itu tersenyum cerah, sedikit tersentak ketika Genta menempelkan air mineral dingin di pipi nya. "Mau!!" Rengek Adena.

Genta tidak menjawab apa-apa, melainkan memberi satu botol air mineral lain yang ia genggam di sebelah kanan.

"Mau nya yang dingin, Ta!" Teriak Adena.

"Bagus Rojak!" Ujar Genta sambil bertepuk tangan, laki-laki itu ternyata sedang memperhatikan kedua anak yang tadi lahan nya di rampas kembali bermain.

"Emang nama dia Rojak?"

"Gatau."

"Et dah ngasal banget," ujar Adena sambil mencuri kesempatan mengambil air mineral dingin yang ada di antara diri nya dan Genta. Tapi belum sempat Adena menyentuh botol itu, Genta keburu sadar.

"Ga boleh yang dingin, Na. Ga bagus soal nya habis olahraga."

"Yeh! Lo kan juga abis olahraga! Ga bagus!" Ujar Adena dengan berapi-api.

"Kan gue gamau lo kenapa-napa."

"Gue juga!" Tegas Adena sekali lagi, sedangkan Genta tersenyum kemudian mengelus pelan puncak kepala gadis nya.

Adena sedikit tersentak, tubuh nya menegang. Ini kali pertama Genta melakukan hal semanis ini setelah tiga hulan menjadi sepasang kekasih, setelah berteman sejak sekolah dasar. "Inget ya omongan gue? Ga boleh minum air dingin habis olahraga, terus kaki lo juga harus di lurusin biar ga varises kaki nya."

Tangan Genta sudah kembali ke tempat semula, sedangkan kerutan di dahi Adena makin terlihat jelas. "Kok lo ngomong nya kayak mau mati besok sih? Serem banget."

"Janji ya?"

"Engga, lo aneh."

"Jangan telat makan, jangan terlalu over thinking nanti lo sakit, jangan kebanyakan makan mie instan. Dan yang paling penting, jangan lupa sama Tuhan lo sendiri, banyakin Ibadah."

"Lo beneran mau mati apa?!"

"Na, liat gue," ucap Genta sambil memajukan tubuh nya mendekat ke perempuan itu. "Gue pindah besok."

Adena terkekeh kecil, "gue tau gue bego, Ta. Tapi ga gini juga."

"Gue serius, besok satu keluarga mau pindah ke Bangkok." Adena tidak berani menatap mata hitam pekat itu yang sangat memperlihatkan kalau ia memang benar-benar serius. Adena tidak bisa mempercayai apa yang Genta katakan barusan.

"Hubungan kita, terserah lo. Gue kuat aja LDR, tapi gue takut kalo ikatan itu buat pergerakan lo terbatas disini. You deserve someone else too."

Kenapa Genta terlihat seperti seseorang yang sedang menyerah dengan mengucapkan hal tersebut? Adena marah karena hal tersebut. Emosi nya tiba-tiba terpancing. "Apa susah nya si tinggal bilang putus?!"

"Maksud lo?"

"Gausah alesan mau pindah segala. Kalo lo udah bosen sama gue, yaudah tinggal putus," sentak Adena, punggung tangan nya bergerak menghapus air mata sendiri.

"Na..." suara Genta melemah. "Ini bukan bohongan, gue cinta sama lo. Tapi kerjaan Papa gue buat kita sekeluarga harus pindah. Gue ga mungkin bercanda soal ini."

"Bullshit." Adena memalingkan wajah nya, air mata nya sudah banyak keluar.

"Kata Papa, paling lama lima tahun, paling cepet dua tahun."

Adena tidak lanjut mendengar penjelasan dari Genta, perempuan itu bangun dari duduk nya kemudian menyentak tangan Genta yang ingin menggenggam tangan nya.

Tanpa Adena sadari, air mata perempuan itu kembali keluar. Dua tahun yang lalu, kejadian itu berlangsung. Ia menangis, menyadari kebodohan nya.

Saat itu, Adena terlalu buta untuk melihat fakta yang terjadi. Perempuan itu terlalu kecewa terhadap masalah bertubi-tubi yang menimpa nya. Di tambah hubungan orang tua nya yang retak, membuat ia menyamakan Ayah nya dengan Genta.

Genta Adnan Alfaridzi, menjadi alasan kedua kenapa Adena tidak ingin lagi terikat dengan laki-laki, entah karena perempuan itu takut merasakan sakit nya di tinggalkan atau mungkin karena perasaan nya dengan Genta belum benar-benar hilang.

Entah lah. Adena juga tidak tahu.

FernwechWhere stories live. Discover now