Sapuan Tiga; An Eye For An Eye

Start from the beginning
                                    

Hitam besar dan kucing kayaknya sudah cukup.

Sialnya, ternyata di parkiran ada banyak motor hitam besar, tapi nggak ada kucing. Mega sampai kebingungan mau jagain yang mana. Akhirnya ia menunggu pemilik motor-motor itu datang satu persatu, lalu bertanya, "Maaf, nama kamu Langit bukan, ya?"

Pemilik motor pertama bernama Satria, lelaki dengan jaket kulit dan kacamata hitam yang lumayan nyentrik. Lalu lelaki kedua yang menggunakan flanel kehijauan bernama Rama.

Ketiga dan seterusnya, Mega sadar kalau usahanya mungkin sia-sia. Ia menyerah di jam tiga. Masih ada satu motor, tapi matahari sudah condong ke barat dan perut Mega keroncongan.

Mega berjalan gontai. Tujuan selanjutnya adalah burjo Mang Dadang, warung makan murah meriah bernuansa hijau-merah-kuning, tempat di mana mahasiswa dompet tipis seperti Mega berkumpul.

Mega pernah ke sana, tentu saja tidak sendirian dan tidak lama karena ia tidak bersahabat dengan asap yang seolah mencekiknya.

Di sana banyak sekali yang merokok, dan Mega punya asma. Namun, demi si Langit yang entah wujudnya seperti apa, juga demi perut laparnya, Mega rela.

Ia memesan satu gelas es teh yang ternyata bikinnya pakai teh saset alih-alih teh celup atau teh seduh, juga intel yang nggak ada hubungannya sama kepolisian, tapi singkatan dari indomie telur.

Sejenak, Mega melempar pandangan lalu terdiam.

Tidak ada tempat kosong.

Kursi-kursi di sana penuh, kebanyakan mahasiswa datang membawa pasukan. Mereka merokok dan tak jarang melontarkan candaan kasar. Hanya satu yang tersisa, di dekat pintu, di mana seorang lelaki duduk dengan topi menutup kepala, dan sebatang rokok yang nyala di antara jemari kirinya.

Mega mendekatinya, lalu berkata dengan hati-hati, "Permisi, boleh saya duduk di sini?"

Dan saat lelaki itu mendongak, Mega bisa mengenali mata cokelatnya.

"Loh, kamu lagi?"

"Lo lagi."

Keduanya berucap bersamaan.

Ini kali ketiga mereka dipertemukan. Mega mengingat semuanya, dari bagaimana lelaki itu jatuh demi menghindari kucing, dan dari wangi rempahnya yang nggak hilang meski dia habis olahraga ... yang mengingatkan Mega pada Bunda.

Mega biasanya tidak percaya pada kebetulan, tapi kalau sampai tiga kali begini, harusnya mereka berkenalan, kan?

"Kamu kuliah di sini? Hukum juga?" Mega mengernyit. "Kok aku nggak pernah lihat muka kamu, ya?"

"Emang lo hafal semua orang di sini?"

Meski kalimatnya terdengar dingin dan kasar, tapi dari bagaimana lelaki itu menarik kursi dan memberi Mega ruang membuat Mega tersenyum lebar.

"Ya, enggak."

Mega meletakkan es tehnya di meja. Sedang lelaki itu tak acuh, dia sibuk menyesap rokok, sambil membaca buku tebal di hadapannya. Di bawah buku itu ada buku lain yang terbuka, yang dihias banyak coretan merah.

Proposal skripsi?

Mega mengintipnya, hanya sedikit ... dan satu kata di antara coretan merah itu membuat Mega tidak bisa menahan rasa penasarannya.

Perundungan.

"Kamu habis bimbingan? Ambil judul apa?"

Satu detik setelah kalimat itu terucap, Mega menyesalinya. Orang bodoh mana yang menanyakan skripsi kating yang bahkan baru dikenalnya, selain Mega?

Lukisan Tentang LangitWhere stories live. Discover now