1.

20 3 0
                                    

Menjadi perempuan yang berlatar belakang keluarga yang masih sangat berpegang pada adat istiadat yang cukup kental, usia 28 tahun adalah usia yang sebentar lagi akan dianggap sebagai fosil. Setinggi apapun pendidikan mu, satu suara melawan suara sekampung tidak akan bisa menang. Terkecuali kau memiliki keberanian untuk berdiri pada kakimu sendiri dan melupakan bahwa kau punya keluarga. Bisa dikatakan kau akan dicoret dari kartu keluarga mu sendiri dan tentu ahli waris, jika kau berasal dari keluarga yang cukup terpadang seperti Febriana Fille Prasta.

"Mbak Febi, ini data klien yang baru saja datang."

"Ah, Thanks Ra. Anak-anak udah balik dari hotel ?"

"Udah mba, ini sekalian mau nanya mba udah mau meeting sekarang?"

"Give me 10 minutes yah."

Febi sebenarnya sudah memiliki modal untuk hidup mandiri, tanpa bantuan finansial dari keluarganya. Bisnis wedding organisernya sudah memiliki nama, kliennya pun selalu puas dengan hasil kerjanya bersama tim. Tabungannya sudah lebih dari cukup untuk hidup membiayai hidupnya, meski belum bisa disamakan dengan apa yang bisa didapatkannya dengan statusnya sebagai anak perempuan semata wayang keluarga Prasta.

Siapa yang tidak mengenal keluarga Darius Utama Prasta ayahnya, seorang guru besar disalah satu kampus ternama sekaligus pemilik jaringan hotel bintang lima yang tersebar diseluruh Indonesia. Diana Wijaya pemilik brand prafume Fillea yang sudah terkenal hingga mancanegara, ibunya. Putra Pratama Prasta kakaknya, seorang dokter bedah sukses yang telah berhasil membangun sebuah rumah sakit bersama dengan dua orang temannya.

Tak ada yang mewajibkan Febi untuk mandiri, uang bulanan dari kedua orangtua ditambah dengan kakak yang masih mengirimnya meski tidak setiap bulan sudah sangat cukup untuknya jika ingin hidup mewah. Namun bukan itu yang dicari Febi, ada sesuatu yang lebih berharga untuknya atau lebih tepatnya seseorang. Seseorang yang baginya adalah separuh hidupnya, mungkin melebihi kedua orang tuanya. Seseorang yang mengajarkan kepadanya bahwa seorang perempuan bagaimanapun kondisinya harus mandiri, harus bisa mananggung hidupnya sendiri, menyelesaikan masalahnya sendiri. Seseorang yang mengajarkan bahwa setiap orang pada akhirnya akan sendiri. Orang itu adalah eyangnya.

Wanita 80 tahun yang sangat tegas dalam hal apapun, bahkan diusia senjanya garis ketegasan itu masih tersisa. Wanita tegas yang menutup duka dan kesepian dalam wibawa sebagai wanita ningrat dan juga pengusaha sukses.

"Mba.... anak-anak udah pada ngumpul tuh." Rara kembali mengetuk ruangan bossnya yang terlihat lesu seharian ini.

"Ah, sorry Ra. Ayo" Febi berusaha mengembalikan fokus yang entah sedang berjalan-jalan kemana seharian ini. Walau harus sedikit memaksa, dia harus fokus pada kerjaannya, ini adalah bulan padat pernikahan artinya jasa WO nya akan sangat sibuk. Sebagai ketua tim dia harus selalu berpikir efisien, karena tidak ada yang bisa meramalkan keinginan klien yang bisa saja berubah ditengah jalan.

"Mba, lagi sakit yah ? hari ini lesu banget. Mba juga gak ikut makan siang tadi, klien yang harusnya Mba temui juga dikasih ke Rara." Terdengar nada khawatir dari salah satu karyawan sekaligus orang kepercayaan Febi itu.

"Gak apa-apa kok Ra, hanya lagi banyak pikiran aja. Thanks for asking Ra." Rara tidak bertanya lagi, karena senyuman palsu dari atasannya itu mengatakan bahwa apapun yang sedang mengganggunya bukanlah hal yang bisa Rara campuri.

*****

Kediaman keluarga Prasta

"Di, hari ini Febi pulang kerumah kan?"

"Iya Bu, Diana udah nelpon dia kemarin jadi pasti dia pulang." Ini adalah pertanyaan kelima ibunya. Diana tahu, ibunya menanyakan keberadaan cucunya bukan karena rindu tapi karena isi amplop yang sejak kemarin sore tak pernah jauh dari sisinya.

"Coba kamu telpon lagi, mungkin dia lupa. Anak-anakmu itu, sering lupa diri kalau sudah kerja. Bahkan mereka sering melakukan sifat tidak terpuji yaitu ingkar janji karena pekerjaan mereka."

"Sudah toh Bu, anak-anak pasti akan datang. Agenda hari ini kan makan malam bu, ini masih sore masih jam kerja." Eyang Laras sudah tidak bisa membalas jawaban anaknya itu, sebab yang bersangkutan telah menerima telpon yang pastinya berkaitan dengan pekerjaannya.

Pukul 17.00 ayah Febi terlihat memasukki kediamannya yang bergaya modern tapi tetap memadukan dengan unsur tradisional dibeberapa sudut. Melihat Diana sang istri masih sibuk dengan telpon genggamnya, dia langsung masuk kedalam kamar untuk berganti pakaian.

"Darius! telpon Febi sekarang dari tadi ibu telpon tapi gak pernh diangkat. Anak itu sudah benar-benar tidak paham aturan semenjak kalian membiarkannya tinggal sendiri." Bentak mertua perempuannya tanpa ada basa basi terlebih dahulu.

"Febi udah disini eyang, tadi pas eyang telpon Febi lagi meeting jadi hp nya silent." Meski Febi tahu eyang tidak akan memberikan tangannya, dia tetap berusaha menyalami eyang terlebih dahulu dan berpindah ke ayahnya tak lama ibunya yang sudah selesai dengan telpon genggamnya.

"Bu, jangan marah-marah terus dong. Kegiatan makan malam ini adalah kegiatan rutin setiap minggu dan anak-anak tidak pernah absen kok, sebentar lagi Putra pasti udah nyampe." Darius berusah berbicara setenang mungkin kepada ibu mertuanya.

"Ibu gak ada urusan dengan Putra, ibu berurusan sama Febi. Ini! perhatikan baik-baik dan pertimbangkan, lebih baik lagi kalau kamu langsung menentukan pilihan. Lusa eyang akan mengaturkan janji makan siang dengan siapapun yang kamu pilih, dan eyang harap kali ini membuahkan hasil." Tak ingin mendengar sepatah katapun dari bibir cucunya eyang Laras langsung berbalik dan mengambil tempat duduk dikepala meja makan.

"Ayo, kita makan sekarang itu pasti mobil Putra yang didepan." Ajak eyang lebih terdengar seperti perintah dan benar lima menit berikutnya yang disebutkan namanya hadir bersama dengan istrinya Daisy yang tengah mengandung.

Putra menyalami eyang dan kedua orang tuanya, tak menghiraukan adiknya. Yah, memang begitu interaksi kedua bersaudara ini, seadanya. Daisy yang malah mengambil peran sebagai kakak untuk Febi.

"Hi dek, lagi sibuk banget yah kamu suntuk gitu mukanya." Sapa Daisy sambil mengecup pipi kiri dan kanan adik iparnya itu.

"Emang bisa mbak, aku sumringah setelah mendapat amplop dari eyang?" Daisy hanya tersenyum kecut ketika melihat Febi mengangkat tangan kanannya.

"Feb, kok bukan kamu sih yang temui Bu Surya dan putrinya tadi ? Mereka itu rekan bisnis mas di rumah sakit loh, jadi kamu harus berikan pelayanan paling oke yang kamu punya jangan sampai mereka kecewa." Rasanya saat itu juga Febi ini berteriak dan menghilang dari rumah mewah yang entah sejak kapan terasa begitu menyesakkan dadanya.

"Iya Mas, tadi aku udah minta Rara orang kepercayaan ku untuk mewakili. Pertemuan berikutnya, Febi langsung yang akan tangani." Pada akhirnya Febi mengalah atau lebih tepatnya menyerah, bukan karena dia tak mampu. Tapi, karena baginya keluarga tetaplah keluarga. Ikatan yang tak mungkin dan tak akan pernah bisa dibuangnya dan juga Febi tak mungkin meninggalkan eyang Laras. Ibu dari wanita yang melahirkannya itu adalah wanita yang memiliki tempat terbesar di hatinya, bahkan mungkin melebihi Diana ibunya.

"Jangan hanya nikahan orang yang kamu urusi, kamu sendiri sebentar lagi 30 tahun. Eyang juga udah berusaha bantu kamu mencarikan jodoh, ayah Papa yakin calon-calon dari eyang bukan laki-laki sembarangan. Pilihlah satu, Papa rasanya mulai malu dengan pertanyaan rekan-rekan kerja tentang kamu yang masih belum menikah." Darius mengatakan semua itu tanpa merasa perlu menatap wajah anak perempuanya.

"Udahlah, Febi udah terima amplopnya jugadan ibu juga sudah mengatakan lusa dia akan bertemu dengan siapapun yang dipilihnya. Sekarang waktunya makan. Daisy, mama udah bikinin sup ayam kesukaanmu."

Status sebagai wanita single diusianya 28 tahun, menjadikan mu seperti tak berharga atau mungkin produk gagal. Hal itu yang dirasakan Febi saat ini, ada pisau kasat mata yang setiap saat siap mencabik hatinya.

===============================********=====================================

Cerita ini pernah dipubliasi diakun saya yang lain yah, tapi ada kesalahan teknis yg akhirnya harus bikin baru dan publis baru.

Terima kasih semuaaa....

Happy Reading <3

Dalam BayangOù les histoires vivent. Découvrez maintenant