6.

3 2 0
                                    

"Mba, maaf yah jadi harus mba Febi langsung yang ketemu kliennya." Laura merasa sangat tidak enak pada bos nya itu.

"Gak papa Lau, klien yang itu emang sedikit banyak mau wajar kalau kamu kelimpungan." Normalnya Febi akan menegur Laura, namun pikiran Febi tidak fokus. Sepanjang rapat dengan klien, handphonenya terus bergetar dan tertulis nama eyang dan papanya secara bergantian. Febi tahu mereka ingin menanyakan perihal pertemuannya dengan Abi siang tadi. Walau enggan pada akhirnya Febi menelpon papanya.

"Assalamualaikum Pa, maaf tadi Febi lagi ketemu klien."

"Walaikumsalam, gimana tadi, jadi ketemu Abi?"

"Jadi kok Pa." Jawab Febi singkat.

"Trus ? masa gitu aja, kali ini kamu mau kan?" Tanpa sadar Febi membuang nafas secara kasar, Darius pasti mendengarnya dan tentu saja tidak memperdulikannya

"Febi nurut apa mau eyang dan papa aja." Febi tahu tidak ada gunanya melawan.

"Ah, kamu ini selalu ngomong seperti itu, nanti ujungnya nolak lagi. Gak usah nolak-nolak lagi toh nak, kamu itu udah berumur. Perempuan mau sukses bagaimana juga kalau gak berkeluarga, gak punya anak gak akan terlihat sempurna. Kamu itu anak perempuan papa satu-satunya, jadi bikin tingkah aneh-aneh lah cukup sama Bara kemarin. Keluarga kita sudah cukup malu."

"Iya Pa." Ingin rasanya Febi berteriak sekencang-kencangnya. Martabat keluarga berada diatas segalanya, bahkan lebih berharga daripada dirinya.

****

"Kamu kenapa Feb?! Febiiiiii!"Arion dengan sigap menangkap tubuh Febi yang rubuh sebelum membentur lantai teras rumahnya.

Arion membaringkan sahabatnya itu di sofa ruang tamu. Ada luka gores dikaki kirinya, pipi Febi pun terlihat lebam dan mukanya tampak sangat kusut. Febi bukan perempuan yang sangat memperhatikan penampilan, tapi dia tidak akan membiarkan dirinya awut-awutan seperti ini. Terlebih lagi, sepertinya Febi masuk kantor terlihat dari pakaian formal yang dikenakannya. Apa yang sudah terjadi dengan sahabatnya ini?

Sembari menunggu Febi bangun, Arion memasakkan bubur dan juga membersihkan luka di kaki Febi. Pada saat yang sama, handphone Febi berdering. Arion mencari benda kecil itu dalam tas berwarna hitam, dan dia melihat nama Bara dilayar kecil itu. Saat itu juga Arion tahu, sumber kekacauan ini adalah Bara. Darah Arion seketika mendidih.

"Lu apain Febi ?!" bentak Arion dengan rahang yang sudah mengeras.

"Bajingan ! mana Febi. Hebat banget tuh perempuan, setelah datang bikin ribut di kantor gue dia langsung nyari lu. Ada hubungan apa kalian, jangan-jangan bener dugaan gue, kalian ada main di belakang gue. Atau sebenarnya kalian berdua udah tidur bareng?"

"Jaga mulut lu yah Bar. Kalau gue mau ngerebut Febi dari lu, udah gue lakuin sejak dulu. Tapi gak gue lakuin karena gue ngehargain keputusan Febi dan pengen dia bahagia. Selama ini gue yang nahan dia biar gak ninggalin lu, dan sekarang gue nyesel."

"Ah, bacott lu. Panggil Febi sekarang, dia gak bisa putusin gue seenaknya."

"Heh anjing, gue udah cukup nahan-nahan emosi gue yah. Jauhin Febi !" Arion langsung mematikan sambungan telepon itu sekaligus mematikan handphone Febi. Namun semua omongan Arion, terdengar jelas oleh Febi yang ternyata sudah bangun.

"Ar...." Arion kaget mendapati Febi yang sudah duduk dengan mata yang siap menumpahkan airmata. Arioan hanya bisa memberikan pelukan pada Febi.

"Udah tenang? Udah bisa cerita?" Arion akhirnya bertanya setelah membiarkan Febi menumpahkan semua dalam pelukannya.

"Gue harus balik Ar. Gue harus jelasin semua ini sama eyang dan ayah, sebelum Bara."

Dalam BayangOù les histoires vivent. Découvrez maintenant