Bagian 12

93 7 0
                                    

Terlambat! Penyesalan Irul semakin berlipat-lipat setelah mengetahui Ibunya sudah terbujur kaku, tanpa sempat mengucap kalimat perpisahan padanya. Ia merasakan raganya seperti kapas, ringan terbawa angin. Irul terduduk lesu di sudut kamarnya. Sambil mendekap foto lama ibunya. Yang memangku dirinya. Wajah Irul kian pucat bagai mayat. Dunianya kini hampa. Dua orang yang di sayanginya pergi meninggalkannya satu persatu.

Jenazah ibu Irul di turunkan ke liang lahat. Irul bertambah linglung ketika tubuh ibunya mulai tertutupi tanah. "Ibuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu" lolongan Irul memanggil ibunya, membuat bulu kuduk merinding. Ia tak tahu untuk siapa kini dia hidup. Bathinnya yang lemah tak kuat menerima kepergian orang yang disayanginya. Dia tak ikhlas melepaskan. Rasa duka di dadanya, membuat pikirannya hilang arah. Tatapan matanya kosong, dan mulai meracau sendiri,memanggil-manggil nama ibunya dan Indun bergantian. Dia tertawa kemudian menangis, di pusara ibunya. Orang-orang terenyuh melihatnya.

"Ayo...pulang" ajak Gilang, memapah Irul. Meninggalkan pemakaman yang sunyi.

Gilang, Mukti dan Ali menemaninya. Mereka berembug. "Gil..... tolong pergi ke rumah Indun. Bawalah dia kemari?" Gilang tak menggubris, dan pergi mencari udara segar di luar. Pikirannya sumpek memikirkan nasib Indun dan Irul yang sama-sama mengenaskan. Keduanya berjasa dalam hidupnya, terutama Indun, tak pelit memberinya bantuan finansial, saat dia terpuruk.

Melihat itu, Ali marah dan menghadang langkahnya.

"Kamu tega ya, lihat sahabat sendiri begitu, kamu masih cuek!! Bawa Indun segera kesini, apa susahnya sih!" Gilang yang sedang kalut, emosinya naik. "Emang kamu tahu, apa yang menimpa Indun. Sudahlah bro, jangan usik Indun lagi!!" Gilang tak kalah galak. Mukti yang mendengar pembicaraan mereka berdua, datang menengahi. Dia sudah lama tak mendengar kabar dari Indun. Mereka berdua penasaran dan memaksa Gilang untuk bercerita.

"Jadi.....sampai sekarang, belum ketemu siapa pelakunya?" Gilang menggeleng lemah.

"Terus....apa langkah kita selanjutnya, aku tak tega, melihat Irul begitu. Tak bisakah kita membawanya ke psikiater, Kiai atau orang pintar kek, asal Irul sembuh" Ali memandang kedua sahabatnya bergantian.

"Lantas....darimana biayanya.bro. Apa kita patungan saja" usul Mukti. Gilang dan Ali mengangguk setuju.

"Tapi..bro....kalau habisnya banyak gimana? Ingat kita masih punya cicilan, aku juga punya anak dan istri." Timpal Ali lagi. Gilang dan Irul terkekeh.

"Itu urusan nanti." Kata Mukti, menenangkan, meskipun dia tak tahu jalan apa yang akan mereka tempuh nanti.

***

Celine menimbang-nimbang untuk bertemu dengan Indun. Perempuan yang selalu membuat dirinya cemburu. Tapi....demi kesembuhan lelaki yang dia cintai. Dia rela melakukan segalanya. Beruntung, Ali mau menemaninya.

Celine memencet bel. Bik Mayang datang membukakan pintu lebar-lebar untuknya. Dan memintanya menunggu di teras. Tak lama, Indun datang menemui mereka. Senyumnya ramah menyapa Celine dan Ali. Celine gugup, tak sanggup menatap wajah ayu Indun lama-lama. Dia grogi dan rendah diri.

Dengan gamis berwarna coklat dan jilbab berwarna hitam yang menutupi kepalanya. Penampilan Indun begitu elegan. Amat jauh berbeda dengan penampilan dirinya, yang urakan. Pantas saja Irul tergila-gila padanya. Ali memperkenalkan dirinya pada Indun. Mereka bersalaman. Celine semakin kikuk, melihat ketenangan Indun.

Ali membuka percakapan, sedangkan Celine, menghitung semut yang berjalan di melewati ubin. Tenggorokannya tiba-tiba kering, sampai tak mampu mengeluarkan sepatah katapun. Ali menyikut pelan tangan Celine.

"Apa kamu sudah mengetahui, Ibu Irul meninggal?" kata Celine terbata-bata. Indun menggeleng.

"Aku baru datang dari luar kota, tadi pagi" jawabnya datar. Dia masih tak mengerti maksud kedatangan perempuan dihadapannya itu.

"Tolonglah....jenguk Irul, dia sangat down kehilangan ibunya. Aku khawatir dia menjadi gila. Hanya kamu seorang yang bisa menyembuhkannya" kata Celine pelan. Meskipun sebenarnya, jauh dari lubuk hatinya, dia amat takut Irul kembali kedalam pelukan Pembicaraan mereka terhenti sejenak. Bi Mayang membawakan mereka minuman dingin dan sepiring martabak manis.

Ali mencomotnya satu. Tadi dia tak sempat makan, setelah Celine buru-buru meminta untuk menemaninya ke rumah Indun.

"Tolonglah....kalian pernah menjalin kasih. Tidak adakah sedikit saja rasa kasihanmu padanya." Bujuk Celine lagi. Indun berusaha menghela nafas untuk berbicara. "Maaf....aku tak bisa menolongnya. Lagipula....kami sudah tak ada hubungan lagi, percuma saja." Jawab Indun lembut, membuyarkan semua harapan Celine.

"Kamu egois!! Apa kamu tidak tahu, dia masih mencintaimu. Tiap malam dia selalu memanggil-manggil namamu.Tolonglah....dia?" Celine tiba-tiba memeluk Indun dan memohon seraya menangis padanya. Indun menoleh pada Ali, dan memintanya untuk meninggalkan mereka berdua.

Celine masih menangis di pelukan Indun. Dia amat berharap, Indun bisa membantunya.

"Maaf....aku tak bisa membantumu. Kamu mencintainya, bukan. Tetaplah bersamanya, hibur dan dukung dia." Celine tak berkutik dengan jawaban Indun. Gadis itu tetap tak mau membantunya.

"Tapi......bisakah aku menggantikanmu, sehingga Irul jatuh cinta padaku?"

"Tak ada yang tak mungkin. Biarlah waktu yang akan menjawabnya nanti."

Kopi Tubruk IndunWhere stories live. Discover now