Bagian 9

106 4 0
                                    

Irul tak kuasa menahan rasa pening di kepalanya. Bau alcohol menyeruak dari mulutnya. Botol-botol kosong Pinot Noir, berjejer di atas meja. Irul berdiri, terhuyung, tak mampu menahan bobot badannya.. Dan berjalan dengan langkah sempoyongan. Pandangannya semakin kabur. Ia terlalu mabuk dan bruk.....tak sadar ia menabrak meja di depannya. Celine, teman wanitanya, membantunya berdiri. Irul memegang tangannya kuat....." Induunnnnn...aku mencintaimuuuuuu. Jangan tinggalkan akuuuuuu...." Lelaki itu menangis memeluk Celine.


"Sadar, bang...aku bukan Indun !!!" Mendengar nama Indun, rupanya wanita itu marah. Irul yang sudah mabuk, tak peduli...dia tetap memanggil Celine, dengan nama Indun. Kemudian Celine meminta bantuan salah seorang temannya, untuk membawa Irul ke kontrakannya.
Semenjak berhenti menjadi Manager Indun. Irul tinggal bersama dengan Celine. Perempuan yang di temuinya di sebuah bar. Hidup Irul semakin gila. Uangnya di buat foya-foya. Tiap hari dia dugem dari satu bar ke bar lainnya. Dan semakin tak peduli dengan hidupnya. Sebab hatinya terlalu pedih, untuk menerima kenyataan. Ia terobsesi memiliki Indun. Sedang Celine, terlalu naïf. Ia mencintai Irul dan menganggap dia seorang dewa yang bisa menolong keluarga miskinnya di kampung. Celine merupakan kembang desa, namun terjebak dalam fatamorgana kehidupan kota. Dia yang tak lulus SD, di ajak oleh teman-temannya dan di iming-imingi untuk bekerja menjadi seorang Pramusaji dengan gaji yang menggiurkan. Celine yang lugu, tentu saja senang. Harapannya untuk mengangkat derajat keluarganya menjadi semakin nyata.


Tapi...kenyataan tak sesuai dengan harapan. Celine ternyata di jual, dan di minta untuk melayani laki-laki hidung belang. Ia yang kadung malu untuk pulang kampung. Akhirnya memutuskan menetap, pasrah menerima giliran satu pria ke pria lain. Sampai akhirnya dia bertemu dengan Irul. Yang kemudian meminta untuk melayani dia saja. Celine menerima. Irul orangnya royal. Beda dengan yang lain, mereka pelit, dan mau membayarnya semurah mungkin.


*** Indun, kembali menolak makanan yang di buatkan oleh Ibu. Tatapan matanya kosong, menatap tembok kamar.


"Makan..ya Ndun....Ibu tak bisa melihat kamu begini...." Indun bergeming. Kemudian airmatanya meleleh. Ibu mengusap airmatanya. Ibu juga menangis. Dia merasa bersalah, dengan sikapnya selama ini pada Indun.


Bik Mayang memberitahu ibu. Bapak dan Arsya datang berkunjung. Bik Mayang, senang, ibu hampir tak pernah keluar rumah, dan kongkow bersama teman sosialitanya. Ia menghindari, pertanyaan teman-temannya soal Indun.


"Assalamualaikum....." Ibu menoleh, tersenyum menyambut kedatangan mereka berdua. Tangannya mengusap sisa-sisa airmata di pipinya yang mulai menua.


Arsya menoleh ke piring yang di bawa ibu. Dia menghela nafas berat. Ia sedih melihat Indun. Tubuhnya makin menipis, tulang-tulang dipipinyapun mulai menonjol.


"Kalau boleh, ijinkan saya yang membujuk Indun, makan. Bu." Pinta Arsya sopan. Bapak mengangguk dan mengedipkan matanya pada Ibu. Setelah itu, Bapak mengajak Ibu keluar. Meninggalkan Indun dan Arsya. Pintu setengah terbuka.


Arsya menggeser kursi dan meletakkannya di depan Indun. Menyapanya dengan mimic lucu. "Aku mengerti perasaanmu, Ndun...tetapi...tak baik terus menerus murung. Tolong pikirkan ibu dan bapak. Mereka mengkhawatirkanmu."


Cukup lama tak ada jawaban. Indun mengeluarkan airmatanya lagi. Dia rapuh dan merasa dirinya tak berguna.


Arsya memberikan tissue padanya. "Sya....kenapa harus aku.....?" tanyanya, nelangsa. Itu adalah kalimat pertamanya setelah berminggu-minggu diam membisu. The Nongkrong Waroeng miliknya habis terbakar. Dan tragisnya dia di perkosa, sebelum mereka membakar warung miliknya. Tangisnya makin keras, bila mengingatnya.


"Kita manusia awam, tak tahu ada hikmah apa di balik semua kejadian itu, Ndun. Allah sudah memilihmu dan menganggap dirimu kuat, menerimanya. Kamu harus sabar dan tegar menerimanya. Serahkan semua padaNYA" Kata Arsya bijak. Dia terenyuh, dengan kejadian yang menimpa Indun. Dan marah dengan lelaki yang tega memperlakukan Indun laiknya binatang. "Kenapa kamu menyelamatkanku. Sya. Kenapa kamu tak membiarkan aku mati saja!!" Indun masih menangis. Arsya menggenggam tangan Indun, mengelusnya lembut, dan

membiarkannya terus menangis sampai dia puas mengeluarkan emosi negative yang menyelubungi dirinya. "Menangislah, Ndun....."

*** Malam begitu dingin, menusuk sampai ke tulang-tulang Gilang. Giginya gemeretuk, menahan dingin. Gilang memasukkan tanggannya ke saku jaket. Ia sudah 5 kali lewat gang itu dan belum menemukan alamat Celine. Sepertinya ia hanya berputar-putar saja!. Ia mencari irul, anak itu lama tak pulang, sedang ibunya sakit parah. Gilang memeriksa alamat yang di berikan oleh satpam di bar tadi. Penjual mie ayam lewat. Tanpa sungkan ia bertanya. "Oh....mas belok kiri, kemudian belok kanan, setelah itu belok kiri lagi. Nanti disana ada gerdu warna orange." kata mas penjual mie, logat medoknya kental sekali. "Terus...kontrakannya, di sebelah gerdu itu mas..." Tanya Gilang serius. "Mas tanya saja, sama orang disitu. Biasanya tiap hari ada saja yang bermain kartu disana" Ingin rasanya dia jitax masnya...tapi Gilang kasihan. Dan menepok jidatnya sendiri sebagai penggantinya.


Kopi Tubruk IndunWhere stories live. Discover now