Bagian 4

118 6 0
                                    

Irul memandang Indun lekat. Gadis di depannya, seperti manikin, diam dengan mata kosong. Irul kehilangan keceriaan dan kejahilan Indun. Sesuatu yang membuatnya selalu kangen dia.

"Indun....aku tak setuju kamu menikah dengan Om Daniels" cetusnya seketika. Ia tak bisa melihat wanita pujaan hatinya di miliki oleh orang lain.

"Kenapa...?"

"Sebab...... aku cinta mati sama kamu, Ndun..." Indun yang tadi duduk, kini berdiri, posisinya persis di depan Irul. Kemudian...

Plak

Plak

Sontak Dimas terkejut. Indun menamparnya dua kali di kedua pipi kanan dan kirinya.

"Stop! Sakit tahu...! Indun terpingkal-pingkal sampai air matanya keluar. Irul bengong.

"Emangnya ada yang lucu?" Irul keheranan.

"Iya, Indun kesel dengan sikap mas, kenapa nggak dari dulu bilang, kalau mas Irul cinta Indun. Capek tahu nunggunya." Indun cemberut. Raut di wajahnya yang tadi kusut kini ceria. Irul mati gaya. Ia tak menyangka ternyata selama ini. Indun menyukainya. Hhhh dunia...dunia. Lalu dia mengelus pipinya yang kemerahan. Ajaib, rasa sakitnya hilang, setelah mengetahui perasaan Indun padanya.

"Ikutlah, aku ingin menunjukkan sesuatu padamu." Sesuai permintaan Irul, sepanjang perjalanan, Indun tak banyak berbicara, dia mengikuti saja kemana Irul pergi melewati gang demi gang sempit. Kemudian berhenti, di sebuah warung kopi lesehan. Terdengar tembang Asmaradhana, dari sebuah tape tua. Suara merdunya menghangatkan suasana.

Indun tertegun, itu adalah suaranya. Indun masuk ke dalam. Dan duduk dengan nyaman di lantai. Matanya mengitari setiap pojok ruang. Warung itu tertata rapi, ada sebuah tanaman palem di sudut ruangan. Yang mengejutkan, ada foto dirinya memakai baju kebaya, cantik dan anggun seperti seorang putri keraton.

"Siapa pemilik warung ini, mas?" Tanya Indun ingin tahu.

"Sebentar lagi kamu tahu?" Irul mengambil gorengan, dan memakannya lahap.

Seorang lelaki keluar dari rumahnya, menenteng penganan kecil untuk di jual di warung kopi miliknya. Mata mereka bertubrukan.

"Bapak..."

"Indun..." Lelaki itu melempar penganan yang di bawanya. Dia berlari ke warungnya dan memeluk Indun erat. Airmatanya mengalir deras mengucur, membasahi pipinya yang mulai keriput.

"Indun..apa kamu bener Indun, anakku.." tanyanya sedikit tersendat. Indun mengangguk. Ia begitu gembira bertemu bapak kembali, sampai kehilangan kata-kata

.

Irul terharu menyaksikan pertemuan bapak dan anak itu. Indun, melepaskan pelukannya. "Jadi....selama ini, Mas Irul tahu keberadaan Bapak? Tanyanya menyelidik.

"Bapak yang meminta, supaya aku tak memberitahumu, Ndun"

"Kenapa, Pak...? Apakah bapak malu punya anak Indun?"

"Bukan begitu, Ndun. Bapak tidak ingin, membuatmu bersedih, karena memikirkan bapak?" Bapak menceritakan alasannya. Indun seperti orang bodoh.

Ia membuka kembali, lembaran masa lalunya. Malam itu, hujan deras di sertai angin dan petir. Ibu dan Bapak bertengkar hebat di kamar. Suara keras ibu yang marah, saling bersahut-sahutan dengan suara petir. Suasana menyeramkan. Indun kecil menangis tergugu di bawah kolong meja, sambil memegangi kedua lututnya.

Setelah itu, Bapak pergi.

Indun bertanya kepada Ibu, kemana perginya bapak. Jawaban ibu singkat. "Bapak tak suka dengan kopi buatan ibu" Indun kemudian memutuskan untuk belajar membuat kopi yang enak. Supaya bapak bisa kembali bersama mereka. Indun akan membuatkan kopi yang terenak untuknya. 15 tahun berlalu, kini dia baru mengerti alasan bapak pergi. Rasa kecewa Indun pada ibunya menjadi.

"Kamu...jangan pernah membenci, Ibumu, Ndun" bapak berusaha menasehati Indun.

"Dua hari lagi, Ibu akan menikah aku, Pak" Indun menenangkan dirinya. Lantas Irul, menceritakan semuanya pada Bapak. Bapak terlihat gusar.

"Kamu yang memutuskan, Ndun. Bukan Ibumu. Ini hidupmu!" Indun manggut-manggut. Hatinya berangsur tenang. Dia tak peduli lagi, dengan kontrak. Indun punya rencana.

***

Rumah Indun, terlihat lebih ramai dari biasanya. Ada beberapa orang tamu yang datang. Om Daniels bersama dua orang kawannya, sedang bercengkrama bersama ibu di ruang tamu. Irul tak terlihat batang hidungnya.

"Bik, biar saya saja yang membuatkan kopi." Bik Mayang menyingkir, dan membiarkan majikannya membuatkan kopi untuk tamunya. Dan Ia menata kue di piring.

Dengan langkah gemulai, Indun menyuguhkan kopi untuk tamunya. Hari ini, ia sengaja berdandan cantik. Om Daniels, memperkenalkan Indun pada tamunya, bangga. Ibu kelihatan senang dengan sikap Indun.

"Silahkan, di minum, Om" Om Daniels menyeruput kopi yang di buat Indun.

"Waahhhhhh, baru kali ini aku merasakan kopi yang luar biasa nikmat" kawan-kawan Om Daniel tergelak. Mereka iri dengan keberuntungan Daniels.

Di tempat lain.

Irul berusaha memperbaiki mobilnya yang mogok. Ustad Maliki, yang akan menikahkan Indun dan Daniels, mulai kepanasan di dalam mobil.

"Apakah masih lama, Nak"

"Iya Pak" Irul pura-pura membersihkan tangki radiator. Ia tak sabar menunggu berita dari Indun.

Bip

Panjang umur. Indun mengirimkan sebuah pesan. Rencana berhasil. Irul bersorak. Yes!

Ia masuk mobil, dan menstarter mobilnya. Brum....suara mesin menyala. Tetapi..Ustad Maliki terlihat lesu.

"Kita berangkat, Pak."

"Nggak usah, Nak....tolong antar bapak pulang saja..." Irul pura-pura kepo.

"Perkawinannya tidak jadi. Mempelai lelakinya membatalkan perkawinan" Irul tertawa dalam hati. Indun memang jahil. Dia sengaja memasukkan obat pencuci perut pada kopi Om Daniels. Dan sengaja meminta istri Om Daniels menyamar sebagai Sales berlian, yang sengaja ia undang untuk datang ke acaranya.


Kopi Tubruk IndunWhere stories live. Discover now