PROLOG

13.7K 753 60
                                    


Marshal mengetuk pelan pintu kamar berwarna putih itu dengan pelan, mendengarkan dengan seksama melalui daun pintunya, siapa tahu terdapat aktivitas di dalam sana. Namun tak ada suara apapun di dalam kamar dan dia mencoba memutar gerendel pintu. Dia tidak berharap banyak bahwa pintu itu dalam keadaan tidak terkunci karena biasanya pintu itu selalu terkunci. Tiba-tiba terdengar suara klik yang menandakan bahwa kali ini pintu itu tidak terkunci dan perasaan Marshal seakan mendapatkan sebuah jackpot dan segera melangkah masuk.

"Bang..." dia melongokkan sedikit kepalanya, mencoba menyesuaikan matanya pada keadaan gelap di dalam kamar, memasukkan sedikit tubuhnya dan semakin merasakan sunyinya kamar itu. Marshal mulai panik, kepalanya menoleh ke kiri kanan, mencoba mencari pemilik kamar melalui bantuan sinar lampu balkon yang terbuka.

"Bang...kamu di mana?" Marshal melangkah masuk, ujung jarinya menyentuh sesuatu di lantai, diraihnya dan dilihatnya bahwa itu adalah selembar kertas. Tangannya menjangkau sakelar lampu dan dalam seketika ruangan kamar yang luas itu terang benderang. Baru itulah Marshal menyadari bahwa hampir seluruh lantai kamar itu dipenuhi kertas lukis yang betebaran.

Satu persatu Marshal memunguti kertas-kertas tersebut, menatap lukisan wajah gadis cantik yang membuat rongga dadanya sesak oleh rasa sedih yang luar biasa. Lukisan wajah gadis berambut panjang berponi yang tak pernah dapat dilupakannya bahkan setelah hampir setahun kepergiaannya. Dia berjalan terus dengan mengemasi kertas-kertas tersebut dan melihat asap rokok yang tampak melayang di udara di balik ranjang besar di kamar itu.

"Bang!" Marshal melangkah cepat ke arah samping ranjang dan menemukan saudaranya sedang bersandar di sana, sedang merokok dengan diam bersama wajah tampannya yang terlihat amat kusut. Rambut panjangnya tampak tergerai di kedua bahu lebarnya, mengikal lemas di sana. Jenggot dan cambangnya tampak melebat dari yang seharusnya dan di sebelah tangannya yang lain memegang sebatang pensil dan selembar kertas yang berlukiskan lukisan Natalie.

Marshal menghela napas dan berjalan ke arah pintu balkon yang terbuka, menutupnya dengan sekilas melayangkan pandangannya pada balkon kosong di seberangnya. Dia menahan perasaannya, menutup pintu balkon dan menguncinya. Dia meraih remote ac dan menghidupkan benda itu. Segera rasa sejuk memenuhi ruangan yang sarat dengan aroma rokok yang pekat.

Dia berjongkok di depan Ali, meraih batang rokok di tangan saudaranya, mematikannya di asbak dekat lututnya dan memegang bahu itu dengan suara bergetar. "Bang, sudahlah...relakan Nata...Jangan seperti ini. Mama dan Papa cemas, aku juga. Bang Bas dan semua rekanmu di stasiun televisi juga cemas." Marshal menatap manik mata pekat Ali dan mendapatkan sorot matanya yang tajam terhujam pada dirinya.

Ali menatap Marshal dan dia mengusap rambutnya yang menjuntai di dahinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ali menatap Marshal dan dia mengusap rambutnya yang menjuntai di dahinya. Dia bangkit berdiri dan menatap adiknya yang perlahan juga berdiri. "Ada apa?" dia bertanya datar seraya mengikat rambutnya di tengkuk.

"Bang Agus di bawah. Dia ingin bertemu denganmu."

Ali menatap Marshal dan hanya diam saja. Berjalan ke arah kamar mandi dan berkata pendek. "Aku mandi dulu. Suruh saja dia menunggu sebentar." Dan dia menghilang ke dalam kamar mandi, menyisakan helaan napas yang diembuskan oleh Marshal.

LOVELY KARENINA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang