Jannah tersenyum sambil kemudian mengaitkan jempol tangan kanannya ke jempol kiri wanita didepannya, tiba-tiba dia mengerti. "Beragama lah dengan hatimu. Jangan terlalu pedulikan apa kata pemuka agama dan buku-buku agama. Tetap percayai Tuhanmu, tetap berdoa pada-Nya." Wanita tadi mengangguk terisak sambil terus mengecup pipi Jannah.

Sekumpulan orang tadi serempak mengangguk, bahkan beberapa orang terlihat menengadahkan kedua telapaknya ke langit sambil mengucap syukur kepada Tuhan-nya masing-masing

Suara bedug samar terdengar dari selatan. Sudah hampir maghrib. Jannah dan rombongan tadi segera berdiri bubar dan setengah dari mereka beranjak menuju masjid di dekat balai desa.

**

Terlahir dari keluarga terpandang di desa dan terdidik agamis, tak membuat Jannah menjadi salah satu dari mereka. Secara akademis, Jannah kecil jauh lebih pintar dari gadis-gadis di kelasnya. Disaat yang lain masih belajar gugusan bimasakti, Jannah sudah dahulu membaca tentang Tiamat, Pollux, bahkan Antarus. Disaat yang lain mendengarkan sejarah kerajaan tarumanagara, dia malah mengacungkan jari bertanya tentang bangsa Lemuria dan Sumeria. Membuat seisi kelas sekaligus gurunya heran terdiam.

Pada umur enam belas, dia datang ke kelas tanpa kerudung kepala, syarat mutlak dari sekolahnya. "Saya ingin membuktikan bahwa saya tetap bisa menjadi manusia berakhlak baik dan unggul, dengan atau tanpa kerudung."

Jannah menang pagi itu, namun tidak malamnya. Ayah dan Ibunya menghukum dirinya dengan memotong pendek rambut panjangnya. "Kau mau tampak cantik sendiri dikelas? Biar Abah gunduli rambutmu, biar tahu malu!"

Tanpa menangis atau gentar, pagi berikutnya dia datang tetap tanpa kerudung. "Saya tetap muslim yang baik. Dengan atau tanpa kerudung. Saya tetap sholat lima waktu, saya tetap tak membantah orang tua, dan saya tetap tak merasa Allah hilang dari benak, ataupun berpaling dari saya."

Kata guru PPKN, hak manusia yang paling hakiki adalah memeluk agama sesuai pilihannya. Tetapi ada apa dengan masyarakat di lingkungannya? Semua balita sudah di kerudung dan dipakaikan peci lalu dibawa ke masjid dan dihapalkan ayat-ayat suci. Mana kenyataan dari teori soal hak manusia yang paling mendasar itu? Apakah hanya tinggal gema percuma? Betulkah hanya sajak belaka?

Tak diberi kesempatannya anak-anak kecil itu waktu lebih lama untuk tumbuh besar sedikit lagi, lalu membiarkannya duduk tenang, menelaah detil, dan kemudian memilih agamanya. Atas dasar kepercayaan. Bukan himbauan.

Dengan rambut pendeknya yang seperti anak lelaki, Jannah selalu menyendiri selepas sekolah. Di bibir Pantai Prawita lah dia kerap berbicara pada ombak dan langit. Kebiasaannya berbicara sendiri lalu memancing seorang wanita bersosok mengerikan menjadi temannya. "Saya sudah bertahun-tahun disini, Non."

Jannah tak takut pada sosok yang orang lain anggap gila. Ramah dia mengulurkan tangannya, "Saya Jannah, artinya surga."

"Panggil saya Mbak Kumala. Rumah papan saya pondok kecil di dekat mercusuar sana. Saya tinggal sendiri." Tak dinyana, ternyata sosok yang ditakutkan anak-anak kecil setempat, bisa sehangat dan membumi seperti ini.

Banyak bercerita, rupanya Kumala tidak gila ataupun mengidap gangguan jiwa lainnya. Kebetulan saja beberapa kudis berukuran lumayan besar di tubuh dan tangannya adalah hasil dari perbuatan masa lalunya. "Karma, kata tetua disini. Dulu saya melacur pada para nelayan yang berlabuh. Padahal saya tidak mengganggu kehidupan masyarakat desa sedikitpun, tapi bagi mereka, saya ini bawa sial." Jelasnya mengundang simpati Jannah.

"Kena penyakit begini, ditambah status saya mantan pelacur, habis sudah. Diasingkan lah saya disini sendirian. Mereka hampir saja merajam saya dengan batu-batu. Terutama para wanita yang ketahuan suaminya pernah jajan tubuh saya."

The House SparrowWhere stories live. Discover now