4.

376 40 6
                                    

《ANGIN》

Sialan!
Jika tahu begini mending aku nggak sadar sampai pagi sekalian aja. Alkohol membuat otakku jadi nggak waras.

Bedebah!
Rasa sakit itu langsung menyadarkanku yang sedari tadi entah apa yang sudah kulakukan. Tahu-tahu aku sudah telanjang dan lubangku ditusuk.

Anjir!
Aku bisa apa sekarang?
Sekali lagi nasi sudah menjadi bubur. Dan laki-laki itu pun memperlakukanku dengan lembut.

Sueg!
Aku hanya bisa pasrah, karena tubuh ini mengkhianati ku saat rasa nikmat itu menyerang dan membuat otak ini perlahan tidak bisa dikendalikan.

Sakit.
Nikmat.
Semuanya bergerak menjadi satu. Dan laknatnya mulut ini pun tak bisa berhenti mendesah karena rasa nikmat itu.

Bahkan aku diam tak berkutik setelah kegiatan panas yang telah kami lakukan. Sumpah, aku malu sekali. Mata tajam itu menatapku tak berkedip.

Oh ayolah.
Siapa yang tidak akan malu jika tubuh telanjang kita ditatap sedemikian rupa dan itu oleh atasan kita sendiri dan lagi kami ini tidak memiliki hubungan romantis sebelumnya.

Arrggkkk!
Rasanya ingin sekali aku berteriak sekeras mungkin. Ini sudah tidak benar. Aku tidak mengenalnya selain satu malam dan itu sudah lima tahun yang lalu.

"Angin, elu mimpi apa kemaren malam." Gumamku dalam hati dan tanpa sadar ngedusel di dada bidangnya.

Deg!
Rasanya berbeda.
Mendengarnya berkata dengan lembut membuat jantungku mendadak berdebar tak karuan.

Rasanya hangat.
Ketika rambut ini diciumnya lamat. Bahkan merambat keseluruh sendi. Membuatku merasakan apa itu kasih sayang.

Tapi tunggu!
Atau mungkin hanya perasaanku saja?
Jantung laki-laki ini juga berdetak lebih kencang dari standar detak jantung pada umumnya.

"Jangan GeEr Angin. Mungkin dia lelah karena habis olahraga ngehajar milik elu!" Tegasku dalam hati.

"Sebaiknya tidur." Lanjutku mengingatkan diri sendiri.

Baiklah.
Sekali ini saja aku akan menikmati tidur dalam pelukan seseorang yang asing meski itu dengan tubuh telanjang yang saling menempel.

"Selamat tidur." Balasku lirih.

-
-

Ku gerakkan mata saat silau sang mentari pagi mengusik tidur lelap ini. Perlahan tapi pasti, kubuka mata, menyesuaikan pencahayaan ketika rasa pusing mendadak datang.

Memandang langit kamar, terasa asing dengan segalanya. Begitu juga saat aku mengedarkan pandangan. Semuanya terkesan mewah. Artinya ini bukan kamarku.

"Good morning."

Aku diam.
Tak berani bergerak.
Dan mata ini berhenti pada satu titik, atap langit kamar. Karena suara serak itu menyadarkan ku sekarang.

"Bukan mimpi." Batinku nelangsa.

Aku menelan ludah saat tangan hangat itu menyentuh pipi, memaksaku menoleh, dan membuat mata kami bertemu satu sama lainnya dalam diam.

Sialan!
Kenapa dia tampan sekali sih meski dalam kondisi rambut berantakan khas bangun tidur begitu. Dan itu membuatku sangat minder.

"Morning." Balasku dengan suara pelan sedikit serak.

Bibir tipis itu tersenyum.
Dan aku tak tahu harus membalasnya atau tidak. Karena jujur, aku kacau sekarang. Tak tahu harus melakukan apa. Lebih tepatnya aku mati kutu.

SOULMATEWhere stories live. Discover now