Chapter 3

2.6K 378 26
                                    

Happy Reading!

-0-0-0-

AKU menatap lagi amplop yang aku genggam, lalu membuang napas panjang. Berjalan gontai menyusuri koridor sekolah yang masih terbilang sepi. Maklum, waktu masih menunjukan pukul 06:15, hanya ada anak-anak tertentu yang sudah datang. Seperti anak-anak OSIS ataupun Paskibra.

Sejujurnya aku ini tipe murid yang datang selalu mepet bel masuk berbunyi, tapi tidak pernah telat. Gimana, hebat kan? Berhubung aku adalah anggota Paskibra--walaupun untuk beberapa jam ke depan sepertinya sudah bukan lagi, aku tetap harus datang sebelum pukul setengah tujuh. Akan ada persiapan untuk lomba, walaupun percuma saja, aku juga tidak akan ikut serta.

Menyedihkan!

Aku sudah bertahan selama hampir empat bulan menjadi anggota Paskibra, dan walaupun aku memang tidak benar-benar niat, setidaknya aku juga pernah latihan kan? Aku juga ingin merasakan lomba bersama Geran.

Seandainya Mamaku tidak selebay itu, pastinya aku tidak akan datang dengan membawa surat pengunduran diri ini. Pastinya aku datang dengan stamina ekstra agar bisa ikut latihan yang frekuensinya sekarang menjadi lebih sering, mengingat kurang dari dua bulan lagi akan ada lomba.

Memang sih, sudah seminggu aku jarang ada di rumah. Pergi subuh-subuh, pulang maghrib-maghrib. Begitu kata Mamaku selama seminggu kemarin. Telingaku panas karena terlalu sering mendengar ocehannya tentang aku yang jarang membantunya membersihkan rumah. Terlebih lagi ketika Mamaku melihat hasil ulangan harian Matematika ku yang mendapat nilai dua, aku sampai dibuat bertanya-tanya, bagaimana bisa mulut itu tidak lepas dari tempatnya? Padahal Mamaku itu sudah mengoceh melewati batas sewajarnya!

"Pokoknya, gak ada lagi Paskibra-paskibraan! Cari eskul yang santai aja, kalo perlu gak usah eskul, bantu Mama aja di rumah!"

Itu kalimat penutup dari ocehan penuh amarah Mamaku semalam. Karena Mamaku itu ajaib, tidak ada satu orang rumah yang berani membantah ucapannya. Termasuk Papa, laki-laki yang terkenal dengan ketegasannyapun kalah dengan Mama. Jadi, mau tak mau, aku terpaksa menulis surat pengunduran diri ini semalam. Sembari memikirkan nasibku yang pastinya akan jarang bertemu dengan Geran. Karena dia pasti sibuk dengan Paskibranya.

"Kak Geran!"

Kegalauan ku seketika sirna ketika mendapati tubuh tegap itu berjalan santai beberapa meter di depanku. Lagi-lagi deretan gigi ku nongol karena aku tersenyum terlalu lebar.

Geran menatapku seperti biasa, datar. "Apa?"

Senyum lebar seketika sirna mengingat tujuanku mendatanginya. Dengan lesu aku menyodorkam amplop putih itu ke arahnya. Aku bisa melihat alisnya yang terangkat sebelah, lalu menatapku dengan raut wajah bingung. Entah kenapa, lagi-lagi aku ser-seran ditatap seperti itu. "Ini apa?"

Aku menghela napas, "Surat pengunduran diri." Aku menunduk, "gue keluar dari Paskibra, sorry."

Aku tidak mau menatapnya. Yang ada nanti aku terluka. Karena aku sadar, sikap galaknya yang hanya tertuju untukku, bermaksud agar aku tidak betah di Paskibra dan mengundurkan diri. Dan sekarang harapannya itu sudah terkabulkan. Pastinya raut wajah Geran menunjukan kegirangan luar biasa sekarang.

Aku masih menunduk, lalu berbalik. Namun dua detik berikutnya rasanya aku ingin melompat-lompat. Karena tanpa pernah aku duga, Geran menahan pergelangan tanganku. Oh Tuhan, Chika meleleh!

"Lo gak bisa keluar Chika."

Sungguh, aku benar-benar tidak sanggup lagi untuk menopang berat tubuhku sendiri. Aku lumer. Kalimat yang barusan ia lontarkan begitu lembut memasuki indra pendengaranku. Percayalah, selama kurang lebih empat bulan aku mengenalnya, baru kali ini Geran melempar kalimat selembut itu padaku.

-0-0-0-

Hallo!

geran & chika Where stories live. Discover now