Tentang Giza

3.7K 276 48
                                    

Giza menghentikkan ucapannya sambil masih memegang tanganku dengan gemetar. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi padanya.

Aku tersentak saat ada suara yang memanggilku. Aku tak percaya dengan apa yang kulihat. Di sana telah berdiri Gilsa dan Tia. Aku kembali menatap Giza. Apa ia menjebakku?

Tapi tak mungkin ia melakukan itu, bahkan ia sama terkejutnya denganku saat melihat mereka.

"Kamu pikir bisa membodohi kami, Giz?" ucap Tia sinis.

"Kamu ingin tahu siapa aku, Re?" tanya Gilsa padaku.

Aku hanya diam tak menanggapi. Aku masih menunggu apa yang akan mereka lakukan.

"Baiklah aku akan mengatakannya. Aku adalah adik Giza," ucap Gilsa santai.

Aku menoleh ke arah Giza yang nampak memucat. Bagaimana aku bisa tidak tahu jika Giza punya seorang adik?

Aku tertawa hambar merasa di bodohi. Aku masih menatap Gilsa dengan tatapan tak percaya.

"Bercandamu tidak lucu, Gil?" ucapku meremehkan.

"Tanyakan saja sama sahabat di sampingmu, ehmm... Bukan, tapi mantan sahabat," ucap Gilsa lagi yang makin membuatku tak percaya.

Tia menghampiriku dan menarik tanganku untuk berhadapan dengannya.

"Kamu pikir Giza benar-benar berada di pihakmu? Tapi sayang sekali, itu salah besar, dan kamu harus menerima pembalasan dari kami," ucap Tia sambil mencekal tanganku.

Aku meronta dan berusaha melawan Tia. Aku tak peduli dengan apa yang akan terjadi padaku nantinya. Yang ingin aku tahu saat ini adalah kebenaran sosok Gilsa. Jika benar ia adik Giza berarti ia telah membodohi kami untuk percaya padanya.

Setelah aku mampu lepas dari Tia, aku menatap Giza dengan tatapan yang penuh dengan amarah. Kupikir ia benar-benar telah menyadari kesalahannya.

"Katakan Giz, apa benar Gilsa itu adikmu, hah?" tanyaku dengan suara yang cukup tinggi.

Gilsa dan Tia hanya memandangiku yang sedang marah, sambil tersenyum meremehkan. Kulihat Giza terdiam dengan mata yang berkaca-kaca. Entah sandiwara apa lagi yang coba ia mainkan.

"Katakan, Giz. Apa kamu sekarang mendadak bisu?" ucapku makin meninggi karena tersulut emosi.

"Iya... Iya dia adikku, puas kamu Re," jawab Giza dengan suara yang sama kerasnya denganku.

Kulihat air matanya kian kentara membasahi pipinya. Kenapa aku merasa tak percaya dengan ucapannya. Tujuh tahun lebih aku berteman dengannya, dan aku tak pernah sekalipun mendengar Giza menyebut memiliki seorang adik.

Bahkan jika benar, mengapa selama aku berteman dengannya aku juga tak pernah bertemu dengan Gilsa. Bahkan saat pernikahannya, aku juga tak bertemu dengan Gilsa.

Kulihat Gilsa dan Tia bertepuk tangan seolah mereka sedang melihat pertunjukkan kami. Kulihat Giza tergugu dan meluruh ke tanah.

"Kamu pasti heran kenapa selama ini Giza tak pernah memberi tahumu kalau ia punya seorang adik, tentu saja. Mana berani ia  mengakui Gilsa sebagai adiknya. Dia kan hanya anak pungut. Bahkan ia lahir dari sebuah pemerkosaan," ucap Tia yang membuatku terdiam.

"Mungkin dia sendiri juga bingung siapa ayahnya. Tapi beruntunglah dia, karena ayah Gilsa mau memungutnya dari jalanan," ucap Tia lagi yang makin membuat hatiku sakit.

Benarkah semua ini?  Teman macam apa aku ini hingga tidak tahu sama sekali soal ini. Aku berjongkok menatap ke arah Giza yang masih tergugu.

"Apa benar itu, Giz?" tanyaku pelan sambil menahan perih di hatiku.

Tak ada jawaban dari Giza kecuali isak tangis yang makin menjadi. Hal itu meyakinkanku jika yang dikatakan Tia itu memang benar.

Pantas saja tak ada kemiripan antara Giza dan Gilsa jika mereka adalah kakak adik. Jadi selama ini ia hanya seorang anak pungut. Dan saat pernikahannya pun bukan sang ayah yang menjadi walinya.

Mungkin ini alasan ia memilih tinggal sendiri daripada tinggal bersama orang tuanya. Tapi kenapa ia tak pernah jujur padaku.

Tia dan Gilsa meninggalkan aku dan Giza yang masih terdiam. Aku tak tahu harus bersikap bagaimana.

Kenapa Gilsa bisa sekejam ini pada Giza. Apa salah Giza padanya?

Aku melihat Giza berdiri dan akan meninggalkan aku. Tapi aku mencegahnya. Aku masih ingin mendengar penjelasan darinya. Katakanlah aku egois.

Aku masih meragukan apa yang kudengar dari Tia dan Gilsa. Giza akhirnya pasrah saat melihat tatapan memohonku. Kulihat dengan jelas pandangan Giza yang terluka.

Aku dan Giza duduk kembali di taman itu. Aku menunggunya untuk siap-siap berbicara.

"Apa yang kamu dengar itu benar, Re. Gilsa memang adikku meski tak sedarah. Aku hanya anak pungut. Aku tak bermaksud menyembunyikan ini semua darimu, hanya saja aku malu.

Aku takut kamu akan pergi menjauhiku. Dan kupikir tak ada salahnya aku tak mengatakan ini semua padamu. Gilsa memang tak pernah menerima kehadiranku.

Aku cukup tahu diri. Tapi aku tak bisa tinggal diam saat aku tahu ia membantu Tia untuk mengusik kebahagiaanmu.

Aku rela melalukan apa yang mereka suruh, meski harus menahan sakit di hatiku. Gilsa itu sahabat Tia. Selama ini ia tinggal di kota yang berbeda denganku.

Kamu tentu tahu alasannya. Ia tak kan sudi bertemu denganku. Anak pungut yang lahir karena korban pemerkosaan," terang Giza yang makin menohok hatiku.

"Jika ia tak mau bertemu denganmu, kenapa sekarang ia muncul di kehidupanmu?" tanyaku bingung.

"Tentu saja karena Tia. Ia meminta Gilsa untuk menggoda Devan kalau perlu merebutnya darimu. Gilsa itu suka mempermainkan perasaan laki-laki.

Baginya, bisa menakhlukan para lelaki adalah kesenangannya. Ia merasa jadi wanita tercantik. Tapi ia tak menyangka jika ia tak bisa menakhlukan Devan. Dan itu membuatnya mbencimu karena Devan lebih memilih kamu," terang Giza.

"Jadi itu alasan dia membenciku?" Giza mengangguk pelan.

"Terus, apa rencanamu selanjutnya ?" tanyaku penasaran.

"Entahlah, aku hanya ingin bisa diterima oleh Gilsa, Re. Segala upaya telah aku lakukan, tapi tetap saja Gilsa tak mau menerimaku. Tapi setidaknya aku cukup bahagia dia mau mengaku sebagai adikku di depanmu," ucap Giza sambil tersenyum getir.

Ya Tuhan kenapa ini semua menjadi begitu rumit.

"Fian sudah tahu semuanya?" tanyaku meyakinkan.

"Dia tahu Re, dan aku beruntung memiliki suami seperti dia. Dan aku sangat bodoh pernah menyakitinya karena mengharap cinta dari calon suami sahabatnya," ucapnya sendu.

Aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Aku begitu dilema. Di satu sisi aku iba akan kenyataan yang menimpanya, tapi di sisi lain aku takut ia akan kembali menorehkan luka.

Tak mudah bagiku untuk kembali percaya padanya dengan semua yang telah terjadi. Keheningan terjadi di antara kami. Hanya desau angin yang menemani kesenduan hati kami.

Aku teringat tentang Arka. Aku pernah ingin menanyakan soal Gilsa padanya. Apa mungkin Arka juga sudah tahu soal Gilsa?

Atau ia hanya tahu kalau Gilsa adalah sahabat Tia? Aku menoleh ke arah Giza. Pandangan matanya terlihat kosong, dan entah apa yang sedang dipikirkannya.

"Apa Arka juga mengenal Gilsa?" tanyaku pelan.

Pertanyaanku sontak membuat Giza menoleh. Ia mengernyitkan dahi. Aku bingung dibuatnya. Apakah ada yang salah dengan pertanyaanku?

Tbc...

Maaf beberapa hari nggak up. Saya lagi sibuk soalnya.

BIARKAN AKU BAHAGIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang