Sesak

3.5K 282 30
                                    

Aku berjalan dengan ragu ke arah mereka. Kulihat tatapan yang begitu menghujam jantungku dari orang di sebelah Giza.

Kulihat  senyum samar dari bibir Giza saat aku bersitatap dengannya. Jantungku mulai berdetak tak beraturan.

"Hai Re apa kabar? Aku sudah pesan makanan buat kamu tadi," kata seseorang yang sedari tadi membuatku tak nyaman.

Dia adalah Tia istri dari Arka. Tapi aku masih belum paham untuk apa dia ada di sini bersama Giza.

"Aku baik-baik saja. Ada apa sebenarnya ini Giz?" tanyaku sembari menoleh ke arah Giza yang hanya bisa menunduk.

"Aku mohon Re, pergilah menjauh dari suamiku. Aku sangat mencintainya dan tak ingin kehilangannya," ucap Tia dengan spontan padaku.

Hatiku terasa sesak mendengar permohonannya. Berarti dia tahu kalau belakangan ini Arka selalu mendekatiku.

"Kenapa aku harus menjauh darinya, kenapa kamu tak minta suamimu saja untuk menjauh dariku?" tanyaku sinis.

"Karena aku tahu dia tidak akan mau melakukannya Re. Tolong Re, ini demi anak dan keutuhan rumah tanggaku," jawab Tia padaku.

Aku tersenyum kecut. Dia pikir dengan aku menjauh dari Arka rumah tangganya akan baik-baik saja. Aku masih diam tak menanggapi perkataan dari Tia.

Ekor mataku melirik pada Giza yang hanya diam saja. Selera makanku seketika menguap saat pertama kali bertatapan dengan Tia.

"Kenapa kamu diam saja Giz?" Aku melihat dia tersentak dengan pertanyaanku.

Aku merasa ia takut untuk menatap mataku. Selama mengenalnya aku tak pernah melihat Giza seperti ini.

"Sepertinya ucapan Tia ada benarnya."

Deg...

Aku terlonjak dengan ucapan Giza. Ada apa dengan dia hingga ia melontarkan kata-kata seperti itu.

Aku kecewa dengan sikapnya. Sahabat yang selama ini selalu ada untukku tak membelaku.

"Ini hidupku, kalian tidak bisa mengaturnya. Aku tak pernah mengganggu Arka, jadi kalau kalian ingin Arka menjauh dariku lebih baik kalian yang membawanya menjauh, kalau perlu kalian juga menjauh dari hidupku," ucapku dengan penuh emosi.

Tanpa banyak kata lagi aku beranjak dari kursiku. Tak kupedulikan lagi panggilan Tia dan Giza.

Langkahku terhenti saat tanganku ditarik oleh Giza. Aku hempaskan tangannya  dengan kasar.

"Aku tahu aku pernah menyakitimu, tapi aku mohon jangan paksa aku mengikuti kemauanmu, kamu nggak berhak sama sekali Giz!" seruku padanya.

"Itu juga demi kebaikanmu Re, kamu bisa tenang menjalani hidupmu tanpa ada gangguan dari Arka maupun Devan jika kamu pergi menjauh dari kota ini," ucap Giza sedikit keras.

"Devan? Kenapa kamu tiba-tiba membawa nama Devan dalam masalah ini, apa sebenarnya tujuanmu Giz? Ayo jawab," tanyaku pada Giza yang seketika bungkam.

Napasku naik turun. Emosiku mulai naik seiring ucapan Giza barusan.

"Kenapa kamu diam saja Giz, aku butuh penjelasan dari semua ini," ucapku dengan emosi.

Tia yang melihat pertengkaran ini hanya diam saja. Dia seolah menikmati pertunjukan ini. Dia benar-benar wanita tak tahu diri.

Apa dia lupa, kalau dia telah merebut Arka dariku. Dan sekarang dengan tak tahu malunya memintaku untuk menjauhi suaminya, seolah akulah perempuan murahan yang mengganggu keutuhan rumah tangganya.

"Kamu ingin tahu jawabannya Re? Yang aku inginkan adalah kamu pergi dari kota ini sejauh mungkin kalau perlu jangan pernah kamu menampakkan dirimu lagi di depanku. Aku sudah muak denganmu."

Tess...

Air mataku menetes di pipiku. Kata-kata Giza membuat udara di paru-paruku berkurang. Hatiku sesak. Sakit luar biasa saat aku mendengar Giza mengucapkan hal itu.

"Aku akan pergi Giz, tapi kamu harus ingat aku pergi bukan karena Tia tapi karena kamu, sahabat yang aku sayangi. Semoga kamu bahagia," ucapku sambil menghapus air mataku dengan kasar.

Dari ujung mataku aku bisa melihat senyum lebar dari Tia. Entah apa yang ia lakukan pada Giza hingga dia menuruti kemauannya.

Aku berjalan keluar restoran dengan menangis. Tak kupedulikan tatapan heran dari orang-orang yang melihatku.

Aku terus melangkahkan kakiku menuju taman dekat restoran. Aku duduk di sebuah bangku yang dikelilingi oleh bunga-bunga. Aku menumpahkan air mataku di sana.

"Kenapa kamu tega sama aku Giz?" gumamku.

Setelah tenang aku memutuskan untuk tak kembali ke kantor. Aku menelepon pak Diman untuk menyuruhnya kembali ke kantor. Aku menatap bunga-bunga yang tumbuh di sekitar bangku yang kududuki.

Hal ini sedikit mengurangi rasa sesak di hatiku. Perkataan Giza bergaung di memoriku. Kenangan manis bersama Giza berputar dalam benakku seperti kaset.

Lagi-lagi hanya rasa sakit yang timbul saat aku mengingatnya. Aku melihat foto-fotoku bersama Giza di ponselku. Aku tersenyum getir.

"Haruskah persahabatan kita berakhir seperti ini Giz?" ucapku sambil menatap foto sahabatku.

Lagi-lagi air mata menetes membasahi pipi. Aku menarik napas dalam berusaha meredam rasa sedihku.

Aku harus kuat, aku tidak boleh seperti ini. Aku yakin semua akan baik-baik saja.

Aku menguatkan hatiku agar tidak rapuh walau sejujurnya ini begitu sulit.

"Sedang apa kamu di sini Re?" tanya seseorang padaku.

Aku tak tahu jika ada orang yang mendekat ke arahku karena dari tadi aku melamun. Kudongakkan kepalaku untuk melihat orang yang bertanya padaku.

Aku sedikit terkejut saat tahu orang itu adalah Fian. Aku tak menyangka ia mau menyapaku lagi setelah kejadian di rumah sakit.

"Sedang cari angin Fi, kamu sendiri sedang apa di taman ini?" tanyaku dengan senyum yang kupaksakan.

"Bukannya kamu janjian makan siang sama Giza ya?  Kok kamu malah di sini, terus Giza ke mana?" tanya Fian yang nampak kebingungan.

"Kamu tahu aku janjian sama Giza?" tanyaku menyelidik.

"Ya tahulah, dia minta ijin sama aku tadi, dan sekarang dia meneleponku untuk menjemputnya, tapi saat akan memasuki restoran aku melihatmu jadi kupikir Giza juga bersamamu," terang Fian padaku.

"Giza ada di dalam restoran. Oh ya Fi, aku minta maaf dengan sikapku selama ini ke kamu maupun kepada Giza. Dan aku mohon jaga Giza baik-baik, jangan pernah menyakitinya. Aku duluan ya Fi, soalnya aku ada urusan," kataku pada Fian.

Aku tahu Fian terkejut dengan ucapanku yang begitu aneh dan tiba-tiba. Aku terus melangkah meninggalkan Fian yang memanggilku. Aku tahu ia ingin minta penjelasan dariku.

Tanpa sengaja aku berpapasan dengan Giza dan Tia saat aku hendak mencari taxi. Giza memalingkan mukanya seolah ia benar-benar muak terhadapku.

"Cepat pergi jauh-jauh Re, kehadiranmu membuat kehidupan kami tak nyaman," celetuk Tia.

Biasanya saat ada yang menghinaku, Giza adalah orang pertama yang akan membelaku. Tapi itu dulu, sekarang sudah tak sama lagi.

Aku melambaikan tangan pada taxi yang berjalan menuju ke arahku. Aku segera masuk saat taxi sudah berhenti di depanku. Aku kembali menangis. Saat aku menengok ke belakang lewat kaca mobil aku melihat Giza meluruh di jalan.

Dia seolah menangisi kepergianku. Aku tak tahu sandiwara apa yang sedang ia mainkan. Dalam hati kecilku berharap kalau dia akan mencegahku pergi dan memelukku untuk mengurangi rasa sesak di hatiku. Tapi itu hanya harapan semu.

Semoga kepergianku membuat bahagia orang-orang yang aku sayangi.

Tbc...

Ada yang benar nggak nih tebakannya?
Part depan POV Giza ya...
Biar pada tahu isi hati Giza hehe

BIARKAN AKU BAHAGIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang