Kepingan Peristiwa

3.8K 281 21
                                    

Aku melihat Amara meronta-ronta minta dilepaskan oleh polisi. Ia pikir Devan memanggil polisi untuk membantunya menangkap orang yang telah menyekapnya. Ternyata ia salah.

Aku sendiri masih kebingungan kenapa polisi menangkap Amara.

"Terima kasih Pak Devan atas kerjasamanya, kami undur diri dan selamat siang," ucap salah satu polisi.

Setelah kepergian mereka aku menatap Devan dengan tatapan bertanya. Kenapa justru polisi itu berterima kasih pada Devan yang telah menyekap Amara?

"Sepertinya rencanamu cukup berhasil Dev," ucap Alex sambil duduk di sofa.

"Rencana?" ucapku spontan.

"Iya Re, ternyata ini semua ulah mereka. Kita dibikin emosi dengan sikap Devan, tidak tahunya itu adalah salah satu rencana mereka.

Aku pikir Devan benar-benar telah menyakiti kamu, apa lagi sampai mau balik sama Amara yang jelas-jelas sudah mengkhianatinya," jawab Stella.

"Jujur aku masih tak mengerti dengan ini semua. Terus kenapa Amara bisa ditangkap polisi?  Dan kenapa pula Devan mesti menyekap Amara?" tanyaku pada mereka yang ada di ruangan ini.

"Ya ampun sayang, kamu sudah seperti wartawan saja," canda Devan padaku.

Semua yang ada di ruangan tertawa dengan candaan Devan, sementara aku memberengut kesal. Aku menatap Giza yang hanya tersenyum kecil.

"Maaf semua, aku harus pamit duluan karena Fian sudah menjemputku. Nanti aku kabari langkah selanjutnya," ucap Giza sambil melihat ponselnya.

Giza beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan kami. Aku semakin buta dengan situasi ini. Apa yang dimaksud Giza dengan langkah selanjutnya?  Apa yang sebenarnya tengah mereka rencanakan?

"Aku ingin penjelasan darimu Dev!" kataku sambil menatap Devan.

Stella dan Alex hanya diam menunggu Devan buka suara. Devan menghela napas dalam. Ia menggenggam tanganku erat seolah mencari kekuatan di sana.

"Awalnya aku tak ingin lagi membalaskan dendamku pada Amara. Aku tak ingin hanya karena keegoisanku kamu menjauh dariku.

Tapi nyatanya, dengan terpaksa aku harus membalaskan dendam yang sudah lama terkubur. Kamu masih ingat saat Stella memintamu datang ke kantorku?  Di sana kamu melihatku menghancurkan semua barang yang ada di ruanganku.

Kamu tahu apa sebabnya? Aku begitu marah pada Amara yang telah menghancurkan bisnisku. Dia menjerat semua rekan bisnisku dengan cara kotor. Dia menyodorkan tubuhnya untuk melancarkan aksinya. Benar-benar menjijikkan," ucap Devan menerangkan.

"Apa tujuan Amara melakukan itu?" tanyaku lagi untuk memperjelas.

"Tentu saja dia disuruh Roby, pacarnya. Devan dan Roby selalu bersaing dalam segala hal, bedanya Roby selalu menggunakan cara licik untuk memuluskan rencana bisnisnya," ucap Alex.

"Apakah Roby ini laki-laki yang kamu pergoki saat meniduri Amara?" tanyaku pada Devan.

Kulihat raut wajah Devan yang berubah. Aku tahu pertanyaanku membuatnya mengulik luka lama. Tapi rasa penasaranku lebih mendominasi.

"Ya, dia laki-laki bajingan itu. Tapi aku senang sekarang mereka meringkuk di dalam penjara," jawab Devan sambil tersenyum kecut.

"Kenapa mereka bisa ditahan?" tanyaku makin penasaran.

"Roby dan Amara terlibat kasus suap perizinan hotel yang akan mereka bangun. Selain itu mereka juga terkena kasus gratifikasi sex," ucap Devan datar.

"Tapi kenapa kamu harus menyekap Amara? Kenapa kamu tidak menyerahkan kasus ini pada polisi," tanyaku bingung.

"Aku hanya ingin membuatnya menyesal itu saja. Aku ingin menunjukkan bukti-bukti kebusukannya sebelum aku menyerahkannya pada polisi.

Tapi sebelum rencana itu terlaksana ia sudah kabur. Untung saja aku memiliki rencana lain, sebelum aku menyekapnya, telah kupastikan bahwa dia telah mempercayaiku sepenuhnya.

Jadi ia tak kan ragu untuk meminta bantuan padaku. Karena aku tahu, ia akan berpikir kalau aku laki-laki yang mudah diperdayanya.

Seperti kejadian barusan, ia sudah pasti akan datang menemuiku, karena tidak ada lagi orang yang bisa ia mintai tolong selain diriku.

Ia pikir ia bisa lolos dari jerat hukum setelah menghilangkan barang bukti. Padahal barang bukti yang sebenarnya sudah aku serahkan pada Alex untuk diserahkan pada polisi," terang Devan.

"Apa lagi Re yang ingin kamu tahu? Mumpung si curut sudah mau terbuka," tanya Stella padaku sekaligus menyindir Devan yang menyembunyikan soal ini darinya.

"Stell, kenapa foto Amara masih kamu simpan?" tanyaku pada Stella yang tiba-tiba teringat foto Amara yang masih dipajang Stella.

Stella menghembuskan napas kasar. Aku menunggu jawabannya dengan jantung berdetak tak karuan.

"Lebih baik kita sudahi pembicaraan ini, aku dan Stella harus segera pulang karena ada beberapa urusan yang harus kami selesaikan," ucap Alex yang seketika membuat Stella tidak jadi menjawab pertanyaanku.

Rasanya aku ingin sekali menahan mereka untuk menjawab pertanyaanku. Tapi aku tak bisa melakukan itu, mereka juga punya hak untuk tak menjawab pertanyaanku.

Tapi kenapa mereka seolah menghindari pertanyaanku soal foto Amara, apalagi yang coba disembunyikan dariku.

Setelah kepergian mereka. Aku menatap Devan dengan tatapan bertanya. Devan seolah menghindari tatapanku. Hal ini membuatku kesal.

Aku melihat Devan menuju balkon. Akupun mengikutinya. Ia memelukku dari belakang. Menaruh kepalanya di pundakku. Rasanya sudah lama aku tak merasakan kenyamanan ini.

"Apakah kamu akan meninggalkanku setelah tahu semuanya?" tanya Devan pelan.

"Aku belum tahu semuanya Dev, masih ada yang belum kamu ceritakan," ucapku sambil menangkup tangan Devan yang memeluk perutku.

"Apalagi yang ingin kamu ketahui sayang," ucap Devan pelan.

"Soal rencanamu dengan Giza. Dan juga soal foto Amara. Kenapa kalian seolah menutupi ini semua dariku," tanyaku lelah.

Belum sempat Devan menjawab, ponselnya berdering. Devan mengangkat ponselnya dengan satu tangannya, sedang tangan yang satunya masih memeluk perutku.

Aku mendengar percakapan Devan dengan orang yang ada di seberang telepon. Mereka membahas keadaan Arka yang sudah berada di ruang perawatan.

Mengingat hal ini aku jadi takut jika Arka akan melaporkan Devan akan kasus penganiayaan.

"Kamu mau menjenguk Arka?" tanya Devan padaku yang membuatku tak percaya.

"Memangnya boleh?" tanyaku balik.

"Tentu, tapi harus denganku," ucap Devan sambil menuntunku untuk bersiap-siap.

Setelah selesai bersiap, Devan menggandengku menuju parkiran. Banyak pertanyaan berkecamuk dalam otakku. Kenapa Devan mau menemaniku menemui Arka? Dan apa ia tak takut dilaporkan oleh Arka?

"Jangan terlalu banyak berpikir, nanti kamu sakit," ucap Devan yang seketika membuyarkan semua pemikiranku tentangnya.

"Bagaimana kalau Arka melaporkanmu pada polisi?" tanyaku spontan.

Devan hanya tersenyum simpul. Ia tak menjawab pertanyaanku.

"Masuklah!" perintah Devan padaku sambil membuka pintu mobil ketika sudah sampai di parkiran.

Kali ini Devan mengemudikan mobilnya sendiri. Aku masih menunggu Devan menjawab pertanyaanku.

"Dia tak akan berani melaporkanku. Kecuali kalau ia ingin usahanya hancur," jawab Devan enteng.

Lagi... Aku dibuat tak mengerti oleh Devan. Sepertinya aku harus bersabar dan terbiasa dengan tingkah Devan yang suka berteka-teki.

Saat perjalanan aku melihat David dengan seorang wanita. Rasanya aku mengenalnya, tapi aku tak yakin dengan dugaanku.

"Sejak kapan mereka dekat?" gumamku.

Tbc...

Cerita mendekati end. Jangan berharap lebih dari cerita ini. Karena saya hanya seorang penulis amatiran.

BIARKAN AKU BAHAGIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang