Ada apa dengan Devan?

3.6K 266 21
                                    

Aku sedang duduk di restoran dekat kantorku. Saat ini aku sedang menunggu David. Dia ingin berbicara mengenai Devan padaku. Dalam penantian, hatiku resah menerka-nerka apa yang akan disampaikannya.

Saat inipun Devan juga tak menghubungiku. Bahkan panggilan teleponku juga tak diterima olehnya.

Saat sedang larut dalam lamunan, aku dikejutkan dengan kehadiran Stella. Ia menghampiriku yang sedang memainkan ponsel.

"Akhirnya ketemu juga denganmu Re, aku sudah panik bukan main jika tak bisa menemukanmu," ucap Stella dengan tersengal.

Darimana Stella tahu aku berada di sini? Akh... Aku lupa, tentu saja dari Joe. Tapi untuk apa dia mencariku?

"Ada apa Stell, kok panik banget?" tanyaku penasaran.

"Lebih baik kamu cepat temui Devan sebelum ia bertindak gila, ayo Re," ucap Stella sambil menarikku untuk ikut serta dengannya.

Meski masih bingung aku tetap mengikuti Stella. Iapun enggan menjelaskan padaku tentang apa yang terjadi hingga membuatku khawatir.

Dering ponselku berbunyi menambah kegusaranku. Aku takut jika yang menghubungiku adalah seseorang yang akan memberiku kabar buruk.

Kulihat layar ponselku dan ternyata adalah David yang menghubungiku. Mungkin ia mencariku karena tak menemukanku di restoran tempat kita janjian.

Aku minta maaf padanya karena tak bisa menepati janjiku. Syukurlah dia mau memahaminya.

Akhirnya kamipun sampai. Aku pikir Stella akan membawaku ke apartemen, tapi ternyata dia membawaku ke hotel.

Stella membawaku ke ruangan Devan yang berada di lantai 5. Hatiku makin tak karuan saat sudah mendekati ruang Devan.

Aku terperangah, tak percaya dengan apa yang kulihat. Ruangan Devan berantakan seperti habis diterjang badai. Buku, kertas, dan beberapa barang kecil yang biasanya bertengger manis di atas meja kini berhamburan ke lantai.

Mungkin Devan tak tahu kedatanganku, karena posisinya yang berdiri membelakangi pintu sambil menatap keluar hotel yang berdinding kaca.

Aku menghampirinya. Memeluknya dari belakang. Entah melihat situasi ini hatiku merasa sedih, meski aku belum tahu apa yang sedang terjadi padanya. Devanpun juga hanya bergeming.

Cukup lama kami dengan posisi seperti ini, seolah tak peduli jika di ruangan ini masih ada Stella dan Alex.

Ya, Alex memang sudah berada di sini menemani Devan saat aku datang tadi. Ia juga terlihat khawatir melihat sahabatnya itu.

"Dev, jangan seperti ini. Aku tak tahu apa yang terjadi, kumohon bicaralah," ucapku terisak.

Mungkin mendengar isakanku Devan mulai luluh. Akhirnya ia membalikan badan dan merengkuhku dalam pelukannya.

"Ssssst... Jangan menangis sayang, aku tidak apa-apa," ucap Devan sambil mengelus kepalaku yang masih dalam dekapannya.

Devan menuntunku untuk duduk di sofa. Ia mendudukanku dalam pangkuannya. Tanpa komando Stella dan Alex pergi dari ruangan itu, seperti ingin memberi ruang pada kami berdua.

"Kenapa menangis sayang?" tanya Devan padaku sambil menghapus air mataku.

Namun aku hanya diam, tak tahu harus menjawab apa. Melihat wajah Devan yang nampak kacau membuatku lupa jika aku sedang marah dengannya.

"Apa yang terjadi?" tanyaku setelah tangis mereda.

"Tidak ada apa-apa hanya masalah pekerjaan saja, mereka saja yang membesar-besarkan, kamu tak perlu khawatir," jawabnya menenangkanku.

Aku tahu ia berbohong padaku. Mungkin ia sedang tak ingin menceritakan masalahnya padaku. Karena kalau hanya soal pekerjaan, tak mungkin Stella dan Alex sampai datang menemuinya.

Aku akan memberinya waktu sampai ia siap menceritakan padaku.

"Sudah tidak marah lagi?" goda Devan padaku yang dari tadi menatapnya.

Aku memukul dadanya pelan. Sebal sekali rasanya disaat aku sedang khawatir memikirkannya ia malah menggodaku.

"Kan kamu yang marah bukan aku," elakku.

"Maaf," ucap Devan singkat.

Aku hanya terdiam tak menanggapi. Aku menyenderkan kepalaku di pundaknya. Hanya keheningan yang menemani. Kami larut dalam pikiran masing-masing.

"Kamu sudah bertemu dengan Giza?" tanya Devan memecah keheningan.

Aku kembali menatapnya saat ia bertanya seperti itu. Aku merasa heran kenapa tiba-tiba ia bertanya tentang Giza.

"Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Devan bingung.

"Kenapa tiba-tiba kamu bertanya soal Giza?" tanyaku sambil mengerutkan kening.

"Lebih baik kamu selesaikan masalahmu dengan Giza. Meski kamu diam saja, aku tahu kamu selalu memikirkannya," ucap Devan sambil menyelipkan rambutku ke belakang telinga.

"Sebenarnya ada apa? Kenapa kamu tak mau menjelaskannya padaku?" tanyaku padanya.

"Lebih baik kamu menemuinya biar kamu tak penasaran. Kalau mau, malam ini aku akan mengantarmu," saran Devan padaku.

Sebenarnya ada apa dengan Devan? Ia benar-benar membuatku penasaran. Mulai dari kekacauan yang ia buat di ruang kerjanya hingga permintaannya untuk menemui Giza.

****

Aku masih berpikir, akankah aku menuruti kemauan Devan untuk menemui Giza sementara aku masih terluka dengan sikapnya padaku.

Tapi kekerasan hati Devan yang memaksaku menemui Giza membuatku yakin kalau ada sesuatu yang tak beres.

Bahkan tadi siang David juga menyuruhku untuk menemui Giza jika ingin tahu kabarnya. Ada apa sebenarnya?  Atau ada hal  buruk yang tengah menimpanya? 

Pertanyaan demi pertanyaan tentang Giza menari-nari di otakku. Setelah dari hotel memang aku meminta pulang ke apartemen, aku masih belum sanggup bertemu dengan Giza.

Jika ia merasa bersalah harusnya dia yang datang menemuiku bukan malah sebaliknya. Akhirnya aku mengeraskan hati untuk tak peduli dan memilih mengabaikan permintaan Devan.

Aku melihat Devan tengah sibuk di depan laptonya. Entah melihatnya seperti itu membuatku semakin tertarik. Ada rasa bangga memiliki kekasih yang pekerja keras, selain itu juga penuh perhatian.

"Mengagumiku sayang?" tanya Devan padaku.

Aku tersenyum simpul. Aku pikir dia tidak tahu jika aku tengah memperhatikannya. Aku menghampirinya dan melihat apa yang tengah ia kerjakan.

"Mau kopi?" tawarku.

"Boleh sayang," jawab Devan tanpa melihatku.

Akupun beranjak dari tempatku menuju dapur untuk membuat kopi. Devan lebih menyukai kopi hitam, katanya lebih nikmat. Sementara aku lebih menyukai kopi susu. Meski berbeda tapi kami menikmati perbedaan ini.

Saat sedang asyik membuat kopi, kudengar bel apartemen berbunyi. Sepertinya akan ada tamu. Tapi setelah itu aku mendengar Devan berteriak memanggilku. Tapi suaranya terdengar panik. Akhirnya aku buru-buru menghampirinya.

Saat sudah berada di dekatnya, aku terpaku dengan apa yang kulihat. Di sana banyak tetesan darah. Aku tak percaya dengan penglihatanku. Kenapa ia bisa senekad ini?

Kulihat pergelangan tangannya begitu banyak darah, apa ia mencoba untuk bunuh diri?  Tapi untuk apa?  Apa semua karena keegoisanku?

Tuhan jangan lagi... Kumohon, meski ia pernah menyakitiku tapi aku tetap menyayanginya.

Tbc...

Semoga yang baca tidak bingung seperti saya hehehe


BIARKAN AKU BAHAGIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang