Bicara

3.6K 271 69
                                    

Aku terus berjalan menembus hujan yang mulai membasahiku. Tak kupedulikan Tia yang berteriak memanggil namaku. Aku tak ingin jika aku meladeninya akan terjadi perdebatan panas.

Aku tahu, ia memanggilku hanya untuk mengajak ribut. Ia pasti marah karena sampai saat ini aku masih berada di kota ini.

Sebenarnya jauh-jauh hari aku ingin memutuskan pergi dari kota ini sejak Giza mengkhianatiku. Tapi aku memiliki alasan lain untuk tetap bertahan di sini.

Ya, kehadiran Devan di hidupku setidaknya mampu sedikit mengobati sedihku. Tapi kali ini tidak ada alasan bagiku untuk tetap bertahan.

Air mataku luntur bersama hujan yang menghujamku. Tak kurasakan hawa dingin yang menembus kulitku.

Tiba-tiba ada tangan  yang mencekal lenganku. Aku menolehkan wajah untuk melihatnya. Aku pikir dia akan pergi saat aku tak menghiraukannya, ternyata sedari tadi dia mengikutiku.

"Mau lari dariku Re? Selama kamu masih di kota ini aku akan membuat harimu seperti di neraka," ucap Tia.

Aku masih bingung dengannya. Kenapa ia mau repot-repot menembus hujan hanya untuk mengancamku. Dia pikir aku takut padanya.

Aku menghempaskan lenganku kasar untuk melepaskan tangan Tia yang mencekal lenganku. Terlihat jelas sorot kemarahan di matanya.

"Berani sekali kamu melawanku Re, akan kutunjukkan siapa diriku. Selama ini aku selalu sabar saat kamu dengan genit mencoba mengganggu suamiku, dasar perempuan murahan," ejek Tia padaku.

"Siapa yang genit dengan suamimu?  Kamu yang perempuan murahan, kalau kamu perempuan baik-baik kamu tak akan merebut kekasih orang, hingga mau dihamili. Sebelum mengatai orang, bercerminlah pada dirimu sendiri," ucapku sambil lalu.

Aku tak mau terus diperlakukan seenaknya. Apalagi aku sedang kesal, jadi jangan salahkan aku jika aku berkata dengan kasar.

"Awas kamu, Re , akan kubalas kamuuuu!" teriak Tia.

Aku memberhentikan taxi dan mulai meningggalkan Tia yang berteriak seperti orang gila.

Tak kupedulikan tatapan heran dari sopir taxi yang kutumpangi. Mungkin dia heran denganku yang memilih basah kuyub daripada berteduh.

Setelah sampai, aku langsung bergegas masuk ke rumah. Aku terlonjak kaget saat aku membuka pintu kudapati Devan tengah duduk di kursi ruang tamuku.

Devan memang memiliki kunci duplikat rumahku. Ia terlihat marah saat melihatku dalam kondisi basah kuyub tapi aku tak mempedulikannya.

Aku terus berjalan menuju kamarku tanpa mempedulikan Devan. Aku sedang tak ingin berbicara apapun dengannya. Aku lelah.

Sepertinya ia juga tak ingin menambah kekesalanku. Ia hanya diam saja saat aku masuk ke kamarku. Aku mulai membersihkan diri.

Setelah selesai aku tak berniat untuk menemui Devan. Aku sedang malas bertatap muka dengannya. Ia benar-benar tak tahu malu. Harusnya ia tak usah menemuiku.

Tapi aku juga penasaran untuk apa ia datang kemari. Meski hatiku masih sakit dengan perlakuannya, tapi aku juga ingin tahu kenapa ia bisa setega itu padaku.

Aku keluar dari kamarku untuk menemui Devan. Aku harus menyelesaikan masalahku dengannya. Jika memang kami harus berpisah, setidaknya harus ada kejelasan dengan hubungan kami.

Aku melihat Devan bersandar di kursi sambil memejamkan mata. Tangannya memijit keningnya. Aku menghampirinya dan duduk di depannya.

"Untuk apa kamu ke sini?" tanyaku.

Devanpun membuka matanya. Ia mulai menegakkan badannya yang tadi bersandar di kursi.

"Aku ingin menjemputmu," jawab Devan pelan.

Saat melihat matanya, aku melihat ada sorot kesedihan di sana. Tapi aku tak tahu apa itu. Bukankah harusnya aku yang bersedih, tapi entahlah karena aku tak bisa membaca pikiran Devan.

"Untuk apa kamu menjemputku, di sini adalah rumahku," jawabku sinis.

"Aku tahu, tapi aku tidak tenang membiarkanmu seorang diri di sini. Kumohon ikutlah ke apartemenku," ucap Devan.

"Kenapa?  Bukankah kamu sudah bosan denganku? Toh kamu juga sudah punya wanita lain yang bisa menemani tidurmu," kataku sambil melipat tanganku di dada.

"Cukup Re, aku tak ingin berdebat denganmu. Kamu tak tahu apa-apa, jadi kumohon percayalah bahwa aku sangat mencintaimu," kata Devan sambil memegang tanganku.

Aku menepisnya kasar. Bagaimana ia bisa beranggapan bahwa ia mencintaiku, sementara ia telah bermain-main dengan wanita lain.

"Kamu berselingkuh, itu kamu bilang mencintaiku? Apa itu caramu mencintaiku?" ucapku emosi.

Tes...

Air mata menetes membasahi pipiku. Aku tak kuasa lagi membendung air mataku. Cinta macam apa yang coba ia berikan padaku?

Devan mulai mendekat padaku. Ia memelukku dengan paksa. Sekuat tenaga aku berontak, tapi apa daya, tenaga Devan lebih besar dariku.

Akhirnya aku menyerah. Devan memelukku dengan erat. Bahu Devan bergetar. Aku seperti merasa kalau Devan juga menangis.

Tapi untuk apa? Mungkin hanya perasaanku saja. Begitu lama Devan memelukku. Ia seperti enggan melepas pelukan ini.

"Dev lepas!" pintaku.

"Percayalah padaku, semua hanya untukmu. Aku tak ingin terjadi apa-apa padamu. Saat ini aku belum bisa menjelaskan apapun padamu. Tapi kumohon percayalah," ucap Devan tanpa melepas pelukannya.

Haruskah aku mempercayainya? Bagian mana yang bisa membuatku mempercayainya?

Hatiku gamang. Ia berselingkuh agar tak terjadi apa-apa padaku. Alasan yang sungguh tak masuk akal.

Akhirnya aku bisa melepaskan pelukan yang menyesakkan dadaku. Kulihat mata Devan yang memerah seperti habis menangis. Melihatnya seperti ini membuat hatiku teriris.

Anggap saja aku wanita bodoh, yang masih punya rasa iba sama Devan yang telah melukai hatiku.

Aku menangkup wajahnya dengan kedua tanganku. Aku menatapnya dalam. Lagi... Kulihat sorot kesedihan di manik hitamnya.

"Apa sebenarnya tujuanmu melakukan ini padaku?" tanyaku lirih.

"Aku hanya ingin melindungimu, kumohon jangan pergi dariku," ucap Devan seperti bisikan.

Ada apa dengan Devan? Ia seolah menyembunyikan sesuatu dariku. Tapi jika memang iya, kenapa ia melakukannya?

Berbagai pertanyaan menyeruak dalam kalbuku. Ingin rasanya aku menanyakan ini semua pada Devan. Tapi aku tahu ia hanya akan bungkam.

"Please, jangan sakiti aku lagi!" pintaku.

"Sssstttt...," desis Devan sambil menempelkan telunjuknya di bibirku.

Devan mencium keningku lama. Setetes air mata membasahi punggung tanganku yang berada di pangkuanku.

Tapi itu bukan air mataku. Ya Tuhan, apa benar Devan menangis? Aku tak tahu harus melakukan apa, yang aku tahu aku hanya ingin memeluk laki-laki di hadapanku.

Biarkanlah malam ini aku mengkhianati hatiku. Meski Devan telah menyakitiku, tapi aku jauh lebih sakit melihat Devan seperti ini.

Meski tak banyak kata. Tapi hati kecilku berkata jika Devan tengah memendam luka. Mungkin ada sesuatu yang membuatnya tega menyakitiku.

Aku akan mencari tahu jawabannya sendiri. Aku tak ingin memutuskan sesuatu yang salah. Aku rela melepasnya jika ia tak bahagia bersamaku. Tapi aku ingin mendengar dari mulutnya sendiri.

Tunjukkanlah jalan bagiku Tuhan,karena aku sangat mencintainya...

Tbc...

BIARKAN AKU BAHAGIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang