Bagian 7 - Try to Forget

14 0 0
                                    

6 bulan sudah valentine berlalu. Dengan segala kemampuanku, aku berusaha untuk melupakan  semua rasa dan mengabaikannya dengan kekasihnya. Bagaimana mereka berjalan bersama dan bagaimana mereka ibadah bersama, bagaimana mereka belajar bersama. 

Aku berusaha keras untuk mengabaikannya. Berusaha keras untuk menjauh darinya. Tidak lagi belajar di perpustakaan dan tidak berada di kelas karena memang jadwal kelas sudah tidak ada dan digantikan dengan penelitian tugas akhir dengan teman satu kelompokku di ruangan observasi. Aku benar-benar menyibukkan diriku sendiri untuk belajar dan penelitian. 

Setiap harinya aku usahakan untuk tidak bertemu dengannya. Sekalipun bertemu, aku seolah tidak menyadari kehadirannya. Tak jarang juga aku menemukannya di ruang observasi. Aku kembali meluruskan kembali pemikiranku bahwa dia hanya mau tugas akhirnya juga.

Dengan segala usaha dan kerja keras, kelompokku berhasil melewati tugas akhir. Tahapan terakhir adalah kerja praktek. Aku memilih untuk kerja praktek ke Kalimantan tanpa satu orang pun yang tahu. Dan disinilah kami di dalam bus meuju bandara. Ia. Kami. Satu angkatan.

Sebuah tradisi di kampus ini, mahasiswa yang akan berangkat kerja praktek akan diberangkatkan ke bandara  secara bersama kecuali yang kerja praktek di Jakarta. Ternyata, dia kerja praktek ke Jogjakarta. Salah satu kota yang paling aku cinta di Indonesia. Lupakan. Selain berangkat bersama, seluruh mahasiswa di kampus juga akan memberangkatkan mahasiswa yang akan berangkat. Jadilah suasananya menjadi haru. Karena ada banyak adegan tangis menangis dan adegan pelukan seolah tidak akan bertemu lagi. Padahal hanya kerja praktek doang dan hanya 2 bulan. 

Aku memang cukup populer di kampus. Mengingat banyaknya kegiatan kampus yang aku ikutin. Banyak orang di sekelilingku yang minta foto, salam, peluk, cium dan tak ketinggalan adegan nangis-nangisan. Untung saja, dosen pembimbing kerja praktek langsung mengumumkan keberangkatan. Kalau tidak, aku pasti akan semakin kecil kalau berlama-lama seperti itu. Namun, satu hal yang aku sadari dan syukuri saat ini. Kerja kerasku untuk menemukan teman dan keluarga di tempat ini tidak sia-sia. Masih segar diingatanku bagaimana rasanya dimaki dan direndahkan. Dan sekarang, ada mereka yang menyayangiku sedang menangis di sini.

Aku tersenyum kepada mereka dan memasuki bus yang telah ditunjuk. Kami dibebaskan untuk memilih tempat duduk. Aku memilih di bagian tengah agar tidak terganggu dengan cahaya mobil dari luar maupun goyangan kalau aku duduk di bagian belakang. Tapi ada satu yang menggangguku. Dia memilih duduk tepat didepanku. Sial. Tapi tak apalah untuk yang terakhir kalinya.

Sepanjang jalan aku mencoba untuk tidur namun sangat sulit. Sekuat tenaga aku menghiraukan dia yang sedang duduk di depanku dengan santainya. Menyerah dengan hatiku, akhirnya aku membiarkan mataku memandangnya sampai kami tiba di bandara.

Setibanya dibandara, dengan buru-buru aku mengambil barangku dan pergi check in. Dia tetap berjalan dengan santainya di belakangku. Sakit sekali rasanya ketika tahu dia bersikap biasa saja. Tak kuhiraukan rasa sedih ini dan mempercepat langkahku check in dan boarding. Ketika sudah saatnya untuk memasuki pesawat, aku menuruti hatiku untuk melihat ke belakang. Dia masih di ruang tunggu. Satu hal. Dia juga sedang melihatku dengan wajahnya yang kelewat datar. Kupalingkan wajahku dan memantapkan langkahku. Setitik air mataku hampir saja akan jatuh mengingat dia tak sedih sama sekali. 

"Berhentilah, Vye. Aku mohon." Kataku pada diriku sendiri.

2 bulan berlalu dengan baik. Aku kembali ke Jakarta untuk mempersiapkan dokumen dan wisudaku. Dan disinilah aku dengan kebaya biru dan rok yang senada diselimuti baju hitam, sleber dan samir biru, liontin berlogo kampusku dan  bermahkotakan topi wisuda. Tak ketinggalan stiletto ber-heels 12 cm.

Ya.. ini adalah hari wisudaku dan wisudanya juga. Jam sudah menunjukkan jam 4 sore. Kakiku rasanya mau patah memakai sepatu ini selama 8 jam sepanjang rangkaian acara wisuda. Menjadi wanita sungguh sangat menyakitkan. 

Tanpa sadar, Dia, Ardo, satu-satunya pria yang aku sayang sampai aku berumur 21 saat ini, berjalan di sampingku. Entah kerasukan setan apa, aku akhirnya berakhir dengan berjalan sambil menggandeng lengan kanannya dan mencoba untuk tetap berjalan dengan baik. 
Anehnya pun dia tidak menolak atau menepis tanganku. Satu-satunya hal yang aku pikirkan saat itu adalah berjalan dengan cepat menuju pintu aula dan pulang bersama keluargaku. Tak ada yang bersuara diantara kami berdua sepanjang perjalanan. Aku hanya melihat wajahnya sekilas yang tidak melihat ke arahku dan sesampainya di pintu, aku melepas tangannya, meninggalkannya dan berjalan menuju mama dan adik-adikku. 

Tanpa aku dan dia sadari, ada tim dokumentasi kampus yang mengabadikan momen itu. Dan memberikan foto itu kepadaku 2 minggu setelah acara wisuda itu. Aku kaget luar biasa.. Aku sungguh tidak menyangka ini bisa terjadi. Aku tidak merencanakannya sama sekali. Tapi, sangat membahagiakan. Aku bisa berjalan di sampingnya terlebih memegang lengannya. Pertama dan terakhir kalinya bersamanya.

Dan inilah memori terakhirku bersamanya. Kumasukkan foto itu kedalam sebuah kotak rahasia dikamarku yang biasanya tidak pernah aku buka-buka lagi. Yah.. itulah kenanganku dengan cinta pertamaku.

Satu lagi babak cerita kehidupanku telah berakhir.

Satu lagi babak cerita kehidupanku telah berakhir

Deze afbeelding leeft onze inhoudsrichtlijnen niet na. Verwijder de afbeelding of upload een andere om verder te gaan met publiceren.
Is This Endless WaitingWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu