Part 24 - Knowing You (Ardo POV)

5 0 0
                                    

Tahun 2010

"Jadi, kamu mau ambil kuliah jurusan apa Ardo?" Papa lagi lagi bertanya tentang jurusan kuliah gue.

Masalah kuliah selalu jadi pembahasan panas di keluarga gue akhir akhir ini. Gue sudah selesai UN minggu lalu, tapi gue emang gak pernah berniat untuk kuliah. Karena sekarang gue udah gabung dengan XDA developer sejak 2 tahun lalu. 

XDA developer adalah komunitas mobile developer yang mendunia yang diprakarsai oleh developer mobile windows. Awalnya iseng iseng belajar untuk membuat aplikasi mobile, lalu ketemu komunitas ini ketika ada workshop di salah satu kampus di indonesia 2 tahun lalu. Sejak saat itu, gue mulai melakukan freelancing sebagai developer mobile.

Gue gak ngerasa perlu untuk kuliah karena gue menikmati proses pembelajaran yang ada di komunitas ini. Ketemu orang-orang pinter, berdiskusi, dapet ilmu, dapet duit juga. Tanpa harus mikirin ujian, dengerin dosen, ke kampus dan juga nilai.

Berbeda dengan nyokap, bokap gue, mereka justru berpikir pendidikan itu perlu lisensi. Makanya, mereka maksa gue untuk kuliah. Walaupun mereka sudah melihat pencapaian gue melalui hobi gue ini.

"Ardo belum nemu, Pa." gue melihat mama yang menyentuh lengan papa karena papa pasti akan ngamuk.

"Masalah kamu apa sih, nak?" Kali ini nyokap gue menambahi. "Mama tahu kamu pinter, sayang. Mama tahu kamu sudah punya penghasilan dan mama tahu kamu seneng dengan kegiatan kamu itu. Papa dan Mama juga bangga. Tapi kamu juga harus paham, jenjang pendidikan itu juga perlu."

Gue gak berani jawab nyokap gue. 

"Kamu gak pernah jelasin ke papa mama kenapa kamu gak mau kuliah. Apa kamu akan tetap selalu bermain dengan laptop kamu di kamar? Selamanya? Sekalinya keluar workshop atau ke sekolah. Mama bahkan gak kenal temen kamu."

"Mah, mama tahu aku gak main, kan?"

Mama tersenyum. "Ia. Benar. Kamu belajar. Tapi, kalau kamu gak kuliah, sayang, kamu akan gak akan ada kehidupan yang lain."

"Tshk... Pa, Ma, aku ga suka ketemu dengan orang banyak setiap hari. Bahkan ada yang teriak-teriak setiap kali Ardo lewat. Kan nyebelin, Ma. Udah itu, gurunya juga selalu ngasih tahu yang Ardo udah tahu. Gak ada yang menarik. Ardo ga suka."

"Hmm... Papa paham. Begini saja. Gimana kalau kamu masuk sekolah tinggi informatika indonesia? Kamu suka coding kan? Yang pasti akan banyak projek dan ilmu yang sesuai dengan minat kamu di situ. Ditambah lagi kampusnya berasrama semi militer, kamu akan teratur untuk hidup. Kamu akan menemukan tantangan yang menarik di sana. Kalau kamu bisa lulus dari kampus ini dengan predikat cumlaude tanpa komplain, Papa akan memenuhi 1 permintaan kamu. Bagaimana?"

Aku menimbang perkataan Papa. Sejak dulu aku selalu menginginkan untuk tinggal di apartemen. Aku rasa ini kesempatan yang bagus.

"Kalau gitu permintaan Ardo adalah tinggal di apartemen."

"Tapi kamu kan ada rumah Ardo."

"Deal. Tapi setelah kamu lulus dengan predikat cumlaude."

"Tapi, Papa." Papa merangkul mama.

***

Hhh.. Ini salah satu yang membuat kesel. Segala tetek bengek ujian dan administrasi selalu membuat sakit kepala. Entah kenapa orang Indonesia selalu ribet urusan pendaftaran. Ada banyak dokumen yang harus di urus. Aku berjalan malas ke arah pagar kampus ini dengan headset di telingaku.

Tiba tiba di seberang sama tepat di depan gerbang, seorang wanita berseragam sekolah berlari kencang ke arah jalan raya yang ramai dan mengangkat seorang balita yang hampir saja tertabrak mobil. 

"Awaaaasss Dek."

BRAaaakkkkk

Tidak ada orang di sekeliling. Mungkin karena ini jam 10 pagi, masih jam kerja. Wanita itu terjatuh terpental ke trotoar dengan anak itu di pelukannya. Balita itu menangis dengan sangat keras. 

"Adek, gak papa kok. Ada kakak ya. Ini kakak ada permen buat kamu ya."

Lalu, ibunya datang, "Kamu apakan anak saya? Mau menculik anak saya kamu ya?" kata ibu-ibu itu dengan sangat kasar dan membuang permen yang ada ditangan anaknya.

"Ini tadi adiknya hampir.."

"Kamu alasan saja. Lihat tangan anak saya sampe tergores begini kena kuku kamu, kan? Untung saja saya datang cepat. Pergi kamu. Pakai baju sekolah tapi kelakuan bego." 

Ibu itu masih ngomel dan gue melihat wanita itu masuk ke dalam gerbang itu dengan sangat sedih. Sepertinya dia juga calon mahasiswi baru juga.

Akhirnya lampu penyebrangan pun berubah menjadi hijau dan gue dengan cepat menghapiri ibu-ibu itu, lalu menjelaskan bahwa wanita itu menolong anaknya. Menyebalkan banget orang-orang emang, yah. Gue pun masuk ke dalam kampus dengan sangat dongkol.

Setelah memberikan berkas, gue masih saja harus mengisi form registrasi di komputer mereka. Fiks. Ini bener bener defenisi gak penting. Gue melihat wanita tadi juga sedang berkutat di depan komputer. Lalu, gue duduk di sebelahnya. Gue bisa liat dengan jelas sikutnya dan lututnya berdarah. Tapi, wanita itu biasa aja.

"Aduh... Kalau rusak gimana nih?" 

Gue melihat port mouse dan keyboarnyanya hampir ketarik keluar dari CPU yang ada di belakang monitor. Dengan inisiatif, gue ngebenerin portnya dan dia lanjutin ngerjain form.

"RAM ini apa? Processor? Hardisknya berapa? Ya satulah. Masa laptop hardisknya dua. Pertanyaan aneh banget sih. " tanyaku bingung. Tepatnya pada diri sendiri.

Sepertinya emang dia buta tentang komputer. Aneh banget emang orang kalau mau kuliah beneran buta jurusannya sendiri, gak ada persiapan apa gimana? Ckckck..

"Ckck.."

"Loe decakin gue?"

"Loe mau masuk kamu IT tapi gak ngerti RAM, processor, hardisk?"

Pembicaraan pun berlanjut hingga gue bantu dia terkait laptop type dan suggest dia untuk beli dari kampus aja. Gue juga denger dia bicara dengan nyokapnya.

Dia nelpon nyokapnya. "Halo Ma. Aku mau nanya sesuatu sama Mama. Aku beli laptop, boleh gak ya, Ma? Harga aslinya sebenarya 8 juta, Ma. Tapi, bisa cicil sampai 3 tahun kok, Ma. Mungkin perbulannya sekitar 230 ribu, Ma." Dia terdiam lagi. " Maaf jadi nambah pengeluaran Mama lagi. Kata temen aku justru lebih aman kalau ambil dari kampus Ma. Pasti udah disesuaikan dengan kebutuhan perkuliahan. Oke, Ma. Makasih ya, Mama. Sera sayang, Mama."

"OO.. Namanya Sera." Kata gue dalam hati.

Asli gue baru pertama kali ketemu wanita yang gak teriak ketemu ama gue. Ini juga gue ketemu orang yang minta sesuatu ke nyokapnya minta maaf dan terima kasih. Gue aja gak pernah bilang makasih ke nyokap bokap gue. Ditambah lagi ni orang rela jatoh jatohan sampe lecet begitu demi orang lain. Udah dijahatin juga diam aja. 

"Gue jadi beli." dia menjelaskan ke gue padahal jelas jelas gue denger dia telponan.

"Hmmm.. " jawab gue asal.

Karena udah selesai, gue pun mau pulang." Ehh.. Loe mau kemana?"

"Pulang." jawab gue singkat.

"Udah selesai?" Gue mengangguk dan berjalan menjauhinya. "Oh ia.. Hmm.. Heii.. Thanks banget yaa..."

Gue balas dengan lambaian di udara. Dia baik tapi agak kurang pinter. Tapi, kenapa gue mikirin dia terus? Mungkin gue kasian ama dia. Ah bodo... Gue pake headset gue dan pergi pulang naik angkot.

***

Is This Endless WaitingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang