Salah satunya, pengakuan tiba-tiba ayahnya pada malam itu.

Anak lelaki tersebut berada bersebelahan dengan ibunya saat itu, sementara sang ayah duduk di hadapan keduanya dan bercerita.

“Tujuh belas tahun lalu, aku pergi ke Amerika selama satu bulan untuk melakukan bisnis, tapi di sana aku berkenalan dengan seorang wanita. Kami menghabiskan waktu bersama—dan ... aku melakukan sesuatu yang seharusnya tidak kulakukan.”

Saat itu Namjoon tidak banyak bereaksi. Ayahnya berkata-kata dengan suara paling rendah yang pernah dia dengar, dan wajahnya amat keruh. Sementara di samping, ibunya juga tampak tak jauh berbeda dengannya, tercengang dan bertanya-tanya.

Laki-laki paruh baya itu kembali berkata memecah keheningan, “Kami memiliki seorang anak laki-laki ... umurnya tak beda denganmu, Namjoon. Dia sekarang ada di Korea. Aku membawanya bersama ibunya dari Amerika tiga belas tahun lalu ... dan ... maaf, selama ini aku diam-diam menemui mereka tanpa sepengetahuan kalian.”

Jeda singkat, Jaejoong mempersiapkan hatinya matang-matang, demi melontarkan suaranya yang sarat akan kesedihan.

“Lima tahun lalu, wanita itu meninggal.”

Namjoon masih bungkam. Dia melihat wajah sendu ayahnya perlahan terangkat, menatap dalam-dalam dirinya dan sang ibu.

“Anak itu sebatang kara tanpa aku,” lanjut Jaejoong. “Aku tahu aku sudah melakukan kesalahan besar ... dan, aku tahu aku tidak berhak meminta maaf kepada kalian ... tapi—aku benar-benar memohon pada kalian—tolong jangan benci anak itu.”

Jeda lagi, hening sesaat.

Lalu, dengan meneguhkan diri, Jaejoong akhirnya berkata, “Aku ingin mengajak anak itu ke rumah ini.”

Ibu Namjoon terkesiap mendengarnya. Beberapa detik lalu wajahnya tampak terguncang, lalu perlahan kemudian seperti terluka, dan kini malah campur aduk dengan kekecewaan serta kemarahan. Semua menyatu di sana.

Pada akhirnya wanita paruh baya itu memutuskan untuk berdiri dan angkat kaki dari ruang tengah, sebelum air mata yang tergenang tumpah ruah. Dia meninggalkan Jaejoong yang lantas memejamkan mata putus asa.

Di saat yang sama Namjoon masih diam mematung. Untuk beberapa saat dia masih terjebak di antara kebohongan dan kenyataan. Karena, sulit baginya untuk menerima.

Kesal? Sudah pasti. Namjoon tak percaya ayahnya menyembunyikan kenyataan semacam itu selama ini. Dia kecewa, marah sekaligus mempertanyakan, bagaimana bisa ayahnya melakukan hal ini kepada ibunya—kepada keluarga ini.

Dan lagi, ayahnya juga mengatakan ingin membawa anak itu tinggal bersama mereka. Yang benar saja, pikir Namjoon. Dari mana ayahnya mendapatkan keberanian mengungkapkan niatan tersebut?

Lancang sekali.

Entah apa yang membuat laki-laki itu yakin kalau putra dan istrinya ini akan mau menerima anak hasil hubungan gelapnya dengan wanita lain. Barangkali, dia sudah kehilangan kewarasannya.

Menatap wajah ayahnya terasa tak tertahankan bagi Namjoon. Karenanya, dia kemudian juga ikut-ikutan beranjak tanpa sepatah kata pun, bersama dengan segudang kekecewaan serta emosi yang berusaha dia tahan mati-matian.

Malam itu Namjoon mendengar ibunya menangis dari dalam kamar, dan tak terkira betapa itu amatlah menyakitkan baginya. Demi Tuhan, dia tak paham kenapa ibunya tidak melampiaskan saja semuanya kepada ayahnya. Marah, kecewa, benci, dan segala sakit hati yang dipendam, Namjoon berharap ibunya akan meluapkan semuanya dan tidak memendamnya seorang diri.

Sebab, itu semua yang Namjoon rasakan—dan dia yakin yang dirasakan ibunya tentu jauh lebih besar lagi.

Namjoon ingin menggantikan ibunya memaki ayahnya, tapi tidak benar-benar dia lakukan sekalipun ingin. Jika boleh memilih, dia lebih bersedia mendengar kedua orang tuanya bertengkar saja ketimbang tidak berbicara sama sekali seperti ini.

Already | BTS JinV - NamV - MinV [COMPLETE]Where stories live. Discover now