[08] Bolehkah Berpaling?

216K 17.3K 668
                                    

Kalo komentarnya rada rame, entar malem update satu part lagi ya 😚

Kalo komentarnya rada rame, entar malem update satu part lagi ya 😚

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[08] Bolehkah Berpaling?

🔐🔐🔐

Si berandalan dan si taat aturan. Satu sekolah pun tahu betapa tidak bersahabatnya dua manusia itu. Panji menganggap Agam sebagai aib sekolah, sedang Agam menganggap Panji sebagai ... ah bahkan kalau bisa, Agam tidak mau menganggap keberadaan Panji itu nyata.

Lihat saja penampilan si ketos ini sekarang, berbanding terbalik dengan Agam. Seragamnya masih amat rapi. Dasi, tali pinggang, kancing baju .... Semuanya masih pada tempatnya dengan sempurna. Baju keluar-keluar pun tidak ada sedikit pun. Beda dengan Agam yang penampilannya sudah acak-acakan sekarang.

Lalu sikap ketos ini. Seolah Panji menutup mata atas semua prestasi Agam. Agam yang selalu membawa piala olimpiade matematika tingkat nasional, si kunci juara umum cabang judo, si penggambar fantastis yang karyanya selalu dipamerkan saat acara pensi sekolah, dan juga ... si penangkal dari serangan sekolah luar. Cukup mendengar nama Agam Aderald, maka para berandalan dari sekolah lain berpikir berkali-kali sebelum menyerang Atlanta.

Namun tetap tidak bisa dipungkiri kalau si pentolan sekolah inilah yang paling banyak membuat keributan. Kalau bukan dirinya yang turun tangan langsung, maka para 'anak buahnya' yang berlindung di 'ketek' si Agamlah yang berulah.

"Eh, Agam, baru keluar kelas ya?" tanya Lamia yang memutus adegan tatap menatap si Agam dan Panji.

Agam menoleh. "Iya."

Lamia manggut-manggut mengerti. "Ini tahun kemarin kan Panji yang diutus sekolah buat ikut debat bahasa Inggris, makanya gue mau banyak nanya-nanya ke dia," jelas Lamia, sebagai jawaban atas pertanyaan Agam ke Panji tadi. Tahun ini, sekolah mengutus Lamia sebagai perwakilan, makanya dia mulai banyak mengumpulkan bahan.

Agam kembali menatap Panji. "Oh, gitu ...." Tatapan meremehkan pun tak urung ia lontarkan.

Panji sudah akan menyahut--tentu dengan ucapan pedas sarat sindiran--tapi tidak jadi ketika Agam langsung melengos dan berkata, "Gue tunggu di parkiran, La."

Membiarkan Lamia dan Panji mengobrol, Agam berjalan ke parkiran sendirian. Koridor sudah tidak begitu ramai karena bel pulang sudah berbunyi sejak tadi. Area parkiran pun sudah tidak sesumpek biasanya.

Agam menghampiri motor ninja hitamnya, lalu duduk dengan sebelah kaki terangkat. Kalau dua tahun lalu, sebatang rokok pasti sudah bertengger di bibirnya saat ini. Tapi sekarang tidak lagi.

Selain dirinya, hanya terlihat beberapa murid saja yang berlalu-lalang mengambil motor. Mereka jelas tidak berani mengusik Agam. Sisip dikit bisa kena sambet.

Tak lama kemudian, ponselnya berbunyi. Agam mengecek chat yang masuk, diperhatikannya dengan saksama. Tak lama kemudian, sebuah panggilan masuk.

"Iya, udah gue liat barang sama alamatnya. Hem, serahin aja ke gue. Gak masalah kalo agak bahaya. Siapin aja duitnya setelah tugas gue beres."

Agam berbicara dengan seseorang di telepon. Setelah mendengar sahutan dari si lawan bicara, telepon pun dimatikan.

Agam baru saja memasukkan ponselnya ke saku ketika Lamia datang menepuk bahunya.

"Udah?" tanya Agam spontan.

Seperti biasa, Lamia menyambutnya dengan senyum cerah. "Iya, cuma bentar aja kok tadi."

Agam lalu turun dari motor.

"Besok-besok kalo gue mau ngobrol lagi sama Panji, boleh kan?"

"Hm," sahut Agam singkat.

Setelah Agam berdiri menjulang di depannya, barulah noda di seragam cowok itu terlihat lagi olehnya. Sebenarnya Lamia sudah melihat noda itu ketika jam istirahat habis tadi, ketika Agam menyerahkan bungkusan batagor. Tapi belum sempat Lamia bertanya lebih lanjut, kedatangan guru sudah memaksa mereka untuk masuk kelas masing-masing.

"Ini kenapa, Gam?" tanya Lamia sambil menyentuh seragam Agam yang terdapat bercak cokelat.

Kalau orang lain yang melakukan, Agam akan langsung menepis ketika badannya dipegang-pegang. Tapi ini jelas berbeda kasus. Lamia yang ada di depannya. Jelas saja Agam tidak keberatan.

"Tadi kena tumpahan minum orang." Agam tidak mau repot-repot menjelaskan kalau si orang itu adalah cewek.

"Jadi kotor begini," keluh Lamia sambil berusaha menepuk-nepuk noda itu.

Agam meraih tangan Lamia yang berusaha membersihkan noda itu. Percuma bagi Agam. Tu noda udah terlanjur nempel.

"Udah, La, gak apa." Ditariknya pelan tangan Lamia.

Lamia mendongak, menatap Agam. "Beneran? Lo gak kedinginan?"

Agam tersenyum geli. "Enggaklah, cuma tumpahan air dikit kok. Sekarang kita pulang?"

Lamia pun mengangguk. Agam lalu mengambil salah satu helm, diserahkannya ke Lamia. Setelahnya, ia berbalik badan, hendak memasuki kunci motor. Tapi tidak jadi ketika mendengar ucapan Lamia.

"Agam ..., ini gimana?" Cewek itu terlihat kesulitan membuka kaitan helm.

Agam kembali menghadap Lamia. Diambilnya helm itu. Hanya hitungan detik, kaitan itu terlepas dengan mudah di tangannya. Tidak lagi membiarkan Lamia memakai sendiri, Agam langsung memasangkan helm itu di kepala Lamia.

Dengan posisi yang seperti itu, jarak mereka jadi sangat dekat. Lamia bahkan bisa mengamati wajah Agam secara jelas. Alis, hidung, bibir ..... Semuanya tanpa terkecuali.

"Agam ....?"

"Hm?" sahut Agam yang sedang mengaitkan helm di bawah dagu Lamia.

"Kalo gue naksir sama orang lain, boleh gak?"

Mata tajam Agam langsung menghujam Lamia. Untuk satu detik. Ya, hanya selama waktu singkat itu. Setelahnya, ia melepaskan tangan dari kaitan yang sudah terpasang. Kembali terbentang jarak di keduanya.

"Boleh," jawab Agam singkat, tanpa ekspresi.

Lamia menatap Agam yang sedang membuka tas, lalu mengeluarkan jakit hitamnya. Cowok itu berjalan ke belakangnya. Menyampirkan jaket ke pinggang Lamia, lalu mengikatnya dari belakang.

Motor cowok ini tinggi, sedang rok Lamia tidak begitu panjang. Agam jelas tidak rela kalau paha Lamia menjadi terekspos ketika duduk di boncengannya.

"Kalo orang itu lebih segala-galanya dari gue," sambung Agam, masih dengan posisi mengikat jaket di pinggang Lamia. "Lebih sayang sama lo, lebih rela jatuh bangun demi lo, dan yang pasti ... orang itu harus berasal dari keluarga baik-baik, gak kayak gue."

Senyum Lamia langsung mengembang.

Agam telah selesai mengikat jaket di pinggang Lamia. Tidak menatap wajah Lamia lagi, cowok itu langsung menaiki motor, memakai helm, dan menghidupkan mesin.

Setelahnya, ia menoleh ke Lamia yang masih diam di tempat.

"Ayo naik." Seolah sudah terbiasa, cowok itu mengulurkan sebelah tangan ke Lamia untuk berpegang.

Masih dengan senyumnya, cewek itu menaiki motor dengan bantuan Agam.

Senyumnya makin menjadi. Kalau Agam sebaik ini ..., mungkinkah ia bisa berpaling?

***

Makasih sudah baca, vote, dan ninggalin komen 😚

Bad Boy on My BedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang