[6] Lie to you (Juwita)

Mulai dari awal
                                    

"Sudahlah," ucapku sebelum segera berangkat menuju Cafe Oliver.

"Apakah kau menunggu lama?" tanyaku pada seorang pengguna hoodie biru yang sedang menunduk di sudut cafe.

"Untuk apa kau memintaku membawa insulin?" tanyanya tanpa basa-basi. Gadis itu mendongak menatapku. Seperti cermin yang berhadap-hadapan.

"Aku akan membunuh Agni," ucapku.

"Sudah kubilang padamu, mengotori tangan dengan darah sudah menjadi bagianku. Kau cukup menonton dari luar." Joana menatapku tidak suka.

"Hah! Seperti kau telah berhasil saja. Lihat Jo, manusia itu masih hidup. Gara-gara ia telah membunuh papa sehingga ketenangan kita terancam!"

"Karena itulah aku memintamu untuk bersembunya di balik keluarga mereka sampai aku bisa melenyapkan tua bangka sialan itu!" Joana menatapku lekat, "Kau tahu, kemampuanku saja tidak sebanding dengan Abisena. Terlebih keluarga mereka memiliki kekuasaan yang cukup luas dinegara ini. Kau pasti aman jika berada di dalam perlindungan salah satu keluarga Pratama."

"Berhentilah pura-pura peduli padaku, Jo! Lebih baik kau pikirkan dirimu sendiri yang kini sudah masuk kedalam Daftar Pencarian Orang!" Aku berusaha marah dengan volume suara super kecil.

"Susah sekali memberitahumu!" Joana berdecak, "terserahlah aku tidak peduli. Yang pasti, jika kau tidak bisa membunuhnya. Anggap saja itu karena aku tidak mengizinkanmu." ucapnya meremehkan.

"Aku memang tidak sepertimu yang telah membunuh ratusan orang. Satupun aku belum pernah! Tapi, Jo. Darah itu lebih kental dari air, jika kau saja bisa membunuh dengan mudah. Akupun pasti bisa. Dan Agni, akan menjadi korban pertamaku!" ucapku sebelum meraih insulin yang ia bawakan untukku.

Aku berbalik setelah beberapa langkah, menatap wajah gadis itu penuh kerinduan. Aku tidak tahu sejak kapan kami begitu berubah, menjadi dingin satu sama lain, padahal dulu kami tidak terpisahkan.

Yang harus kulakukan saat ini adalah berpura-pura benci padanya. Menjauh darinya, mengabaikan keinginanku untuk memeluknya. Menangisi kehidupan yang tidak adil ini. Berpura-pura tidak tahu bahwa ia telah mengorbankan hidupnya... hatinya... hanya demi keselamatanku. Mengotori tubuhnya dengan darah orang-orang tak bersalah, agar darahku tetap mengalir dalam tubuh hina ini.

Jika dengan membunuh Agni, ia bisa bebas. Maka aku yang akan melakukannya. Kali ini saja. Biarkan aku membalas budinya.

-----

Aku membersihkan diri, kemudian mempersiapkan insulin long acting. Jika kalian berfikir insulin merupakan obat untuk menurunkan gula darah pasien diabetes kalian tidak salah. Namun apa jadinya jika insulin disuntikan pada orang normal dalam jumlah dosis yang cukup tinggi?

Insulin akan bereaksi dengan tubuh dan menyebabkan suatu keadaan yang disebut dengan hipoglikemia. Dimana kadar gula dalam darah menjadi rendah dan memicu terjadinya koma hipoglikemi. Jika aku menyuntikannya saat ia tertidur, bisa dipastikan besok pagi tidak akan ada lagi nama Agni Abimanyu Baskhara. Aku tidak peduli bila aku harus mendekam di penjara setelah itu.

Aku mendengar langkah kaki menuju lantai tiga, 10.30 malam. Laki-laki itu pulang dengan wajah di tekuk, "Dari mana saja?" Aku tidak tahu setan mana yang merasukiku sehingga aku merasa kasihan melihat wajah ditekuknya itu.

"Bukan urusanmu!" balasnya tak acuh. Namun laki-laki itu tidak mampu mengalihkan matanya dari wajahku...hemm... tepatnya payudaraku.

Sedetik setelahnya ia berlalu dengan membanting pintu kamarnya keras. Dasar perjaka! ah... laki-laki itu sudah bukan perjaka lagi.

Aku tersenyum geli. Mengingat kejadian semalam. Suatu kehormatan untukku menjadi wanita pertamanya. Walau ia bukan laki-laki pertamaku.

Aku membaringkan diriku diatas kasur... menunggu detik demi detik untuk melaksanakan rencanaku. Namun ia masih belum tidur, aku tidak tahu apa yang ia ributkan disebelah. Sampai terdengar suara shower. Aku menguap berkali-kali. Tiba-tiba saja kantuk menyerangku. Tanpa terasa aku memejamkan mataku lelah.

"Ya tuhan!" pekikku saat tiba-tiba pintu kamarku terbuka bahkan sebelum satu menit aku memejamkan mataku. Agni masuk dengan langkah lebar, rahang mengetat tanda marah entah karena apa lagi.

"Tidak bisakah kau mengetuk pintu terlebih dahulu?" Aku membentaknya, mencoba menelisik penyebab laki-laki itu kesal padaku. Memangnya apa lagi salahku?

"Apa yang kau inginkan?" tanyaku ragu saat Agni berjalan mendekat tanpa sepatah katapun. Jujur saja, ada perasaan takut saat aku melihat rahang Agni yang mengetat.

"Apa yang kuinginkan?" tanyaku lagi saat laki-laki itu menyeringai kejam. Agni berjalan mendekat kemudian naik keatas kasur yang kutiduri. Merangkah diatasku.

"Kau! Aku menginginkanmu!" ucap Agni sebelum melumat bibirku. Aku kaget, sumpah. Tidak menyangka laki-laki yang baru kemarin melepaskan keperjakaannya bisa melumat seorang wanita sebegini hebatnya. Aku mendesah saat ia menggigit bibir bawahku memintaku membuka mulut. Kuberikan apa yang ia minta, perlahan kubuka bibirku. Membiarkannya menjelajah didalam sana. Menari-nari bersama lidahku. Tangannya tidak timggal diam. Ia meremas payudara kiriku dan bokongku di saat bersamaan. Dengan tidak sabar ia kembali merobek gaun tidurku.

Untung saja ia yang membelikannya. Jadi aku tidak rugi apa-apa. Tangankupun tidak tinggal diam. Aku membantunya melepas pakaiannya. Membalas ciumannya. Membelai lembut leher itu dengan kecupan-kecupan singkat yang berubah menjadi hisapan dalam.

Ia mengerang penuh hasrat. Mendorongku agar aku kembali tidur terlentang dibawahnya. "Katakan kau milikku Juwita," pinta Agni.

"Aku milikmu," jawabku saat ia mengecup pusarku. Aku bisa melihat seringai puasnya sebelum aku tidak bisa berfikir lagi. Membiarkannya menenggelamkanku kedalam belaian kabut hasrat tanpa batas. Kurasa dari semua laki-laki yang pernah kucicipi, dialah yang paling nikmat.

Mungkin...insulin sialan itu masih bisa menunggu sampai besok malam. Hari ini aku akan memuaskan diri dalam belaiannya.

TBC

Belum 100 vote tapi udh update?
Gapapa semasih ada waktu buat nulis... 😉

Stuck In Lust [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang