Extra Part : Hamil?

50.1K 4.7K 238
                                    

Dimas pernah bercerita pada Gilang di awal-awal pernikahannya dengan Aryani. Kata Dimas, menikah itu enak. Ada yang mengurusi, ada yang menyambut ketika pulang ke rumah, ada yang bisa dipeluk setiap malam. Gilang sempat merasa iri pada Dimas, bahkan dirinya sempat mengungkapkan niat untuk mengajukan tanggal pernikahannya dengan Andin. Sayang, niatnya ditolak ayah Andin mentah-mentah. Yang ada Gilang malah dikira hendak cepat-cepat mengambil alih Andin dari orang tuanya.

Dasar, mertua Gilang yang satu itu. Dengan Dimas saja sayang minta ampun, Gilang justru selalu dinistakan. Untung Gilang sabar.

Kembali pada bahasan kalau menikah itu enak. Ternyata yang Dimas ceritakan tidak benar adanya. Menikah itu bukan hanya enak, tapi enak banget. Tahu begitu, Gilang nekat. Tidak mau menunggu sampai satu tahun setelah lamaran diajukan. Kalau perlu hari itu juga disahkan.

Gilang tidak berbohong soal menikah itu enak banget, sesuai gambaran Dimas. Apalagi Andin jadi jinak setelah menikah. Perempuan itu tidak lagi bersikap ketus padanya, meski sesekali menjitak kepala Gilang jika lelaki itu bertingkah konyol. Namun, Gilang tidak keberatan dijitak Andin. Bukan karena sayang, melainkan karena selepas menjitak kepala Gilang, Andin pasti segera menyesal, meminta maaf, kemudian mengusap lembut kepala suaminya. Terkadang perempuan itu mengecup kepala Gilang yang dijitaknya agar lelaki itu tidak merajuk lagi.

Duh, Gilang memang suka dengan Andin yang suka marah-marah. Namun, Andin yang sudah menyandang status sebagai istrinya lebih menggemaskan lagi. Gilang makin sayang.

"Mas ...." Gilang yang baru saja keluar dari kamar mandi mendekati sang istri yang duduk di sofa ruang tengah kediaman mereka. "Kenapa istriku sayang?" tanya Gilang dengan handuk masih melingkar di lehernya.

"Pusing ... mual gitu," keluh Andin memijat pelipisnya yang sejak pagi memang terasa pening. Andin kira pening itu akan lenyap ketika dirinya beraktivitas, ternyata tidak. Bahkan sampai menjelang sore pusing di kepala dan rasa mualnya semakin menjadi.

"Masuk angin kali," kata Gilang. Dengan telaten Gilang memijat tengkuk Andin, berharap sang istri bisa merasa lebih baik. "Nggak jadi aja yah nontonnya," usul Gilang kemudian.

"Yah," Andin merengut. Membuat Gilang tidak tahan untuk mencubit hidung Andin. "Nggak jadi kencan dong?"

Gilang tertawa sembari mengusap puncak kepala istrinya. "Kencan bisa lain kali. Kita masih punya banyak waktu, sepanjang hayat."

Andin mengangguk, menyetujui perkataan Gilang. Perempuan itu menyandarkan kepala di dada suaminya, mencari kenyamanan dengan memeluk tubuh tegap Gilang. "Nanti kalau aku udah ngerasa enakan, kita pergi kencan."

"Iya," Gilang menyetujui. "Sekarang kamu istirahat aja. Biar aku yang masak makan malam, setuju?"

Andin mengangguk senang. Betapa beruntungnya Andin mendapatkan suami sepengertian Gilang. Andin selalu mensyukurinya.

O0O

Ternyata kesehatan Andin belum membaik sampai hari Senin tiba. Perempuan itu masih mengeluh pusing, bahkan beberapa kali kedapatan muntah ketika mencoba makan.

"Parah banget, Yang," kata Gilang mengusap punggung istrinya dengan minyak kayu putih. "Periksa ke dokter, ya?" tawar lelaki itu.

"Nggak ah, Mas. Aku kecapekan doang. Kan seminggu kemarin beberapa kali lembur," Andin menolak.

Gilang hanya menghela napas pasrah. Sebenarnya, Gilang agak kurang nyaman dengan kesibukan Andin di kantor. Apalagi belakangan ini istrinya itu bekerja sampai lembur. Gilang ingin sekali menegur, tetapi takut menyinggung Andin. "Oke. Nanti aku minta Ibu atau Bunda ke sini buat nemenin kamu. Kalau masih kayak gini, aku bakal seret kamu ke dokter sepulang kantor nanti."

PretendWhere stories live. Discover now