1 - Bulan Januari

217 17 16
                                    

''Aku ingin menunjukkan pada semesta bahwa aku tidak lemah. Tapi belum bisa. Atau bahkan tidak bisa?"

* * *

Jogja, 3 januari 2013.

-

Januari yang baru. Bulan pertama di tahun yang baru. Tak ada yang baru dari langkahku, tidak ada langkah yang berbeda. Aku tetap menjalani hidupku sebagaimana takdir yang telah ada. Aku menjalani semuanya sebagaimana alur yang telah ditetapkan.

Sebenarnya, sekarang hujan sedang mengguyur bumi dengan derasnya. Tadinya aku menunggu hujan reda di halte dekat sekolah karena aku tak bawa payung. Tapi, rasanya akan lama sekali, sedangkan aku benci menunggu. Meskipun nekat dan banyak resiko, kuputuskan untuk pulang dan hujan-hujanan saja.

"Elisa! Elis! Hey!" teriak seseorang dari kejauhan yang masih bisa kudengar. Aku mencoba menoleh ke asal suara. Suara itu dari seseorang yang berdiri di halte. Aku tak bisa melihatnya dengan jelas, rintik hujan menghalangi pandanganku saat ini.

Samar-samar, ia melambaikan tangannya kearahku. Tanpa berpikir panjang aku bergegas lari menghampirinya. Semakin dekat ke halte, hingga aku keluar dari area jatuhnya air hujan ke bumi. Aku menatap orang di hadapanku ini.

Seorang gadis yang mengenakan seragam putih biru sepertiku. Rambutnya diikat acak-acakan, beberapa helainya terbiarkan tak diikat. Ia seolah tak mempedulikan penampilannya. Dia Marva, teman sekelasku-yang lebih tepatnya sahabatku. Marva itu memang tomboy, tidak pernah rapi, tidak pernah anggun. Tapi, dia baik. Aku mengenalnya sejak kelas 7.

"Lo ngapain sih hujan-hujanan? Tungguin reda kek, kalo sakit gimana?" terlihat setitik raut kekhawatiran diwajahnya meski gaya bicaranya dengan nada tinggi. Sudah kubilang kan? Marva itu baik. Ya, meski kadang ia bersikap 'bodoamat'.

"Aku nggak bisa nunggu, kamu nggak tau ya kalo aku benci nunggu?"

"Anjir, segitunya ya?"

Aku mengangguk.

"Yaudah, gue udah minta temen gue jemput. Lo bareng gue aja."

Dan ternyata benar, tak lama setelah itu datang sebuah mobil berwarna hitam. Marva menyuruhku untuk mengikutinya. Ternyata yang menjemput Marva adalah seorang laki-laki yang mengenakan seragam putih abu-abu. Marva anak tunggal, itu bukan kakaknya. Dan itu pasti temannya, Pergaulan Marva luas. Ia bahkan kenal dekat dengan anak-anak dari sekolah lain. Entah itu SMP atau bahkan SMA sekalipun.

Setelah beberapa saat, mobil yang kutumpangi akhirnya masuk ke sebuah kompleks perumahan. Aku meminta kepada Marva untuk berhenti disini saja.

"Tapi rumah lo kan masih disana El."

"Nggak papa Marva. Aku turun dulu ya, makasih udah dianterin." Ucapku lalu bergegas turun dan berlari menembus derasnya hujan. Sebenarnya, tak ada alasan apa-apa kenapa aku meminta tidak diantar sampai rumah. Aku tidak suka saja, jika nanti orang itu bertanya-tanya kepadaku. Bukan karena apa-apa, aku malas untuk sekedar menatap apalagi berbicara padanya.

Aku membuka sebuah gerbang ber-cat putih itu. Lalu bergegas memasuki rumah. Rumahku bukan rumah mewah, rumahku sekarang hanya rumah sederhana, tidak seperti rumahku yang dulu. Kulihat, orang itu sedang duduk disebuah sofa yang terletak di ruang keluarga. Ia menonton TV.

Cih, aku mengumpat dalam hati. Enak sekali orang itu menonton TV dan menikmati secangkir kopi sedangkan ibuku harus mati-matian bekerja? Aku melewatinya begitu saja, lebih baik aku langsung menaiki tangga saja untuk sampai ke kamarku daripada berlama-lama melihat dia.

Cklek.

Pintu kamarku terbuka. Aku terbaring di lantai begitu saja. Menatap langit-langit kamar berwarna biru tua. Seragamku yang basah kuyup ini membuat angin yang menyentuh kulitku semakin terasa dingin. Aku malas sekali jika harus mandi dan ganti baju. Tapi mau tidak mau harus kulakukan.

Setelah itu, kudengar suara mobil datang. Kubuka jendela kamarku dan mengintip lewat sana. Mobil itu terlihat memasuki garasi rumah. Itu adalah kakakku. Dia Hara, kakak kandungku yang sekarang duduk di kelas 11. Aku tidak tahu kenapa hari ini ia tidak membawa motor sport kesayangannya itu, dan malah membawa mobil. Mungkin ia sudah menebak kalau hari ini akan hujan.

PRANGG!!

Kudengar suara keributan dari lantai bawah. Aku bergegas turun dan menghampiri asal suara itu. Tak berubah, selalu saja ada hal yang membuat Bang Hara bertengkar dengan orang itu setiap hari. Kali ini, sebuah gelas berisi ampas kopi itu pecah berserakan di lantai.

"Lo pikir gua pembantu lo?! Udah numpang, nggak tau diri lagi!" ucap Bang Hara dengan ketus.

Sedangkan orang itu berdiri, dan menghampiri Bang Hara dengan tangan kiri yang diperban karena patah tulang dan berjalan sedikit pincang.

"Jaga ucapanmu Hara! Dimana sopan santunmu? Hah? Buat apa kamu disekolahkan kalau sopan santunmu tak ada?!"

Bang Hara terkekeh, "Buat apa? Ya buat pinter lah! Biar bisa kerja! Nggak minta duit mulu sama istri!"

BUG.

Orang itu memukul Bamg Hara dengan tangan kanannya. Sudut bibir Bang Hara berdarah. Aku meringis melihatnya, aku tak bisa melakukan apa-apa. Aku benci ini, lidahku seolah kelu untuk sekedar mengatakan 'hentikan semuanya'. Semesta! Bantu aku! Perlahan airmataku menetes, aku tak bisa melihat Bang Hara meringis kesakitan.

"Brengs*k!" teriak Bang Hara. "Gua nggak pernah mukul lo karena gua masih menghormati lo sebagai suami nyokap gua! Tapi lo malah mukul gua, setan!"

"CUKUP!" kuteriakkan satu kata. Meski tak seberapa, namun berhasil membuat suasana hening. Kini yang terdengar hanya isakan kecilku yang disertai derai airmata. Kenapa aku jadi seperti hujan yang sedang menangis detik ini? Aku ingin sekali saja tak menangis untuk menunjukkan pada semesta bahwa aku tidak lemah. Tapi tidak bisa.

Bang Hara mendekatiku. Meraihku ke dalam dekapannya. Aku semakin menangis, aku tidak tahu kenapa aku sangat menyukai pelukannya. Ia seperti papa yang mungkin kini sudah di surga. Jujur, aku sangat merindukannya.

Tak lama kemudian, ia melepas pelukannya. Mengajakku untuk pergi ke kamar bersamanya. Ia masih mengenakan seragam sekolahnya, sudut bibirnya masih sedikit mengeluarkan darah. Aku dan dia duduk diatas kasur yang ada di kamarku.

Kupandangi wajahnya yang menatapku dengan tatapan tajam. Ia memang seperti itu.

"Sakit ya Bang?"

"Nggak."

"Yaudah kalo Bang Hara milih bohong. Yang pasti, Lisa tau kalau itu sakit." Ia hanya tersenyun kecil mendengar ucapanku. Suasana hening untuk beberapa saat.

"Ck, kok jadi serius gini sih." Ucanya tiba-tiba.

Aku mendengus pelan, "Ya kan emang lagi serius. Kenapa sih Bang nggak bisa diajak serius dikit?"

"Jangan serius-serius Lisa. Lo adek gue, nggak mungkin gue seriusin lo. Mana lagi di kamar lagi."

BUG.

Aku melemparinya dengan bantal. Kalian percaya tidak kalau itu Bang Hara? Iya, Bang Hara yang tadi bertengkar, yang tadi marah. Dan sebenarnya, Bang Hara itu tak lebih dari lelaki receh yang kadang ambigu.

* * *

Senja TerakhirWhere stories live. Discover now