"Tapi dia tidak sakit," kata Blu ngotot.

Green mengangguk. Pria ini menggeleng.

"Dia kebal. Kami kebal. We are fine, Sir," jelas Blu.

"Siapa namamu, Nak?"

"Blu. Dia adikku, Green."

"Oke, Blu. Green memang tidak sakit. Tapi lukanya tetap perlu diobati. Kebal hanya tidak bisa merasakan sakit, bukan tidak bisa sakit. Kau paham maksudku, Blu? Kau anak pintar pasti tahu kenapa kita harus memakai respirator ini sepanjang hari." Pria itu menunjuk wajahnya sendiri.

"Ya. Udara," jawab Blu.

"Ya. Itu bisa memperparah luka kakinya."

Setelah ambulans datang dan membawa pergi Green, pria itu mengajak Blu bersamanya.

"Rumah sakit itu tidak jauh dari sini. Aku akan mengantarmu. Sejak tadi aku tidak melihat orangtuamu. Kalian pasti datang sendiri. Kau bisa menghubungi Papa atau Mamamu. Atau biar aku saja?"

"Aku bisa," ucap Blu. "Thanks, Sir."

***

Setelah kejadian itu kamu marah padaku. Bukan karena aku cengeng dan merepotkanmu. Tapi karena menurutmu Mama lebih sayang padaku. Aku memang tidak menyaksikan saat Mama memarahimu. Kamu yang cerita padaku. Dari seluruh cerita itu, yang aku tangkap dengan jelas hanya kata-kata Mama yang kautirukan dengan sedikit berlebihan, "Green itu berbeda! Dia tidak seperti kamu!" Lalu kau sering mengancamku setiap kali kita keluar rumah berdua.

"Jangan terluka, oke?" katamu.

Aku harus berjanji sebab jika tidak kau akan memakan semua jatah cokelatku.

"Dan jangan menangis." Kau menambahkan.

Saat usiamu antara 15 dan 17, saat kau menempuh pendidikan robotik di universitas, saat itulah puncak kenakalanmu. Kau sering menghampiri teman-temanku dan menghajar mereka. Aku memang belum dewasa, tapi aku merasa sudah mampu menerima kenakalan mereka. Buatku itu hal yang biasa. Namun, kamu yang berlebihan. Katamu anak-anak yang mem-bully-ku harus dihajar bahkan jika itu guruku sendiri. Ya, aku memang cengeng, Blu. Tapi mestinya kau tidak bertindak sejauh itu.

Suatu hari aku sadar bahwa kau ternyata melakukan itu tidak murni untuk membelaku. Kau melakukan itu hanya karena ingin melakukannya sekaligus penasaran pada seberapa jauh tubuhmu mampu menoleransi rasa sakit. Kau menikmatinya. Aku tahu itu. Kau menikmati saat mereka balas memukulimu, tapi kau tidak bisa menerima saat seseorang mengatakan sesuatu yang buruk tentang aku, kamu, atau keluarga kita.

Sekarang kau memang tidak senakal dulu. Kau sudah memperoleh pekerjaan sesuai keinginanmu. Aku yakin kesibukan itu yang mengalihkan sebagian perhatianmu dari hidupku. Aku tidak butuh kakak yang pura-pura membelaku karena sekarang aku sudah bisa melakukannya sendiri. Aku punya beberapa teman yang mampu bersikap lebih baik darimu dalam kasus yang sama. Lagipula aku jarang berurusan lagi dengan orang-orang yang kamu sebut 'bajingan' sebagaimana yang sering kutemui di pendidikan dasar dan pre-college*).

*) Dunia pendidikan di Indonesia dirombak besar-besaran pada tahun 2040. Pendidikan dimulai sejak anak berusia 4 tahun di playgroup. Menginjak usia 6 tahun, mereka bisa didaftarkan pada pendidikan dasar.  Pendidikan dasar memiliki 3 jenjang, masing-masing berjalan 2 tahun dan tiap selesai di jenjang tersebut, siswa bisa berpindah ke lembaga pendidikan dasar yang lain. Setelah selesai di pendidikan dasar dan memasuki usia 12, mereka boleh mendaftar di pre-college. Di sekolah ini mereka disiapkan secara khusus untuk memasuki universitas. Jadi mata pelajaran yang diajarkan sudah disesuaikan dengan bakat dan minat. Tiga tahun berada di pre-college mestinya mereka sudah siap masuk universitas, tepat saat berusia 15. 

Aku ingat saat kita sama-sama merasa sudah mampu berpikir logis, Blu. Aku sering bertanya padamu kenapa tubuhmu tidak bisa merasakan sakit sementara aku bisa. Kamu menolak pertanyaan itu dan bilang bahwa aku hanya tidak mampu membuat definisi sakit yang benar atau dengan kata lain kamu juga menganggapku kebal. Kita berdua percaya pada catatan yang menyatakan bahwa Ayah kebal dan itu menurun padamu (padaku juga, katamu waktu itu). Lalu kita melibatkan Mama untuk menengahi perdebatan itu.

"Kebal atau tidak sama saja. Tidak ada yang membuat salah satunya lebih istimewa," kata Mama. "Green mungkin memang tidak kebal karena membawa gen Mama. Sedangkan Blu kebal. Itu hanya seperti rambutmu lurus atau keriting," tambahnya.

Mama sendiri memang tidak kebal sehingga ia mengatakan seperti itu, ujarmu suatu hari. Aku juga tidak kebal, kataku ngotot.

Kau sangat yakin dengan bacaanmu bahwa gen kebal sangat dominan pada laki-laki sehingga mestinya kita berdua kebal.

"Mungkin ada yang salah denganmu," katamu.

"Ya." Lalu dengan agak takut aku berkata, "Mungkin aku bukan anak Ayah."

"Bodoh! Apa katamu?!" Kau mencengkeram leherku. Kau membantahnya. Tapi aku yakin ada persetujuan di sana, tentang aku yang bukan anak Ayah. Lalu semenjak itu kamu selalu marah padaku setiap kali mendengar aku berkata bahwa aku bukan anak Ayah. Aku tidak mengatakannya dengan gembira asal kautahu. Aku mengatakannya hanya ketika merasa gagal menyelesaikan sesuatu atau merasa lebih bodoh darimu. Beruntung Mama tak pernah tahu soal ini. Beruntung karena aku tahu diri untuk tidak mengatakannya di hadapan Mama. Aku yakin dia akan sangat sedih.

Tahun depan aku berusia 18 dan sudah boleh bekerja. Aku berhak mengajukan tes DNA untuk mengetahui kebenaran itu. Namun sebelum berjalan lebih jauh ke tahap yang kurasa berpotensi merusak 'keharmonisan' keluarga kita (kau akan bilang menghancurkan alih-alih merusak), aku akan mencoba pilihan lain dengan mendekati Dokter Kepala, satu-satunya orang yang memiliki wewenang atas catatan medis Ayah. Mungkin aku bisa mendapatkan jawaban darinya. Peluangnya memang sangat kecil tapi patut untuk dicoba daripada langsung berpegang pada opsi pertama.

Karena untuk bertemu dengan Dokter Kepala itu sangat susah, aku terpaksa membuat sedikit masalah agar ia memberi perhatian padaku.

Maaf, Blu. Pisau ini satu-satunya pilihan. Aku akan berusaha agar tidak terlalu membayakanmu.

***

THE RESISTANCE: SATU (WATTYS 2017 WINNER)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang