Here For You

1.6K 338 281
                                    

mulmed audrey :-(

Calum's

××

Pagi berganti siang, siang berganti malam. Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu. Tepat 2 minggu Audrey masih dalam keadaan koma. Setiap hari gue gak henti-hentinya memanjatkan do'a supaya diberikan keajaiban untuk gadis yang gue sayang.

3 hari setelah dirawat di Rumah Sakit Medika, Audrey dipindah ke Rumah Sakit Medical Care di kota tempat tinggal kami. Setiap hari gue gak pernah absen buat nemenin Audrey. Rumah sakit seakan sudah menjadi rumah kedua buat gue.

Seperti hari-hari sebelumnya, sepulang kuliah gue datang ke rumah sakit. Ternyata saat ini yang menemani Audrey adalah Mbak Nining, asisten rumah tangga Tante Shava.

"Eh, Den Calum. Monggo Den, lenggah rumiyin. Badhe nyuwun ngunjuk nopo?" tanya Mbak Nining dengan bahasa Jawanya.

"Es teh mawon, Mbak. Niki ngagem arto kulo." Gue yang sudah terbiasa mendengar Mbak Nining berbicara bahasa Jawa pun menjawabnya. Gue kasih uang lima puluh ribu kepadanya. "Sama makanan ringan ya, Mbak?"

"Siap, Den." Mbak Nining pun keluar untuk membeli minum dan makanan ringan.

Gue menaruh tas di sofa kemudian duduk di kursi di sebelah ranjang rumah sakit Audrey. Gue mengelus tangannya pelan dan tersenyum.

"Hai, Drey." Inilah yang dilakukan gue setiap hari. Menyapa Audrey meski gue tahu dia gak akan meresponnya.

"Hari ini makul banyak banget, gue sampe capek. Tapi kalo buat nemenin lo, semangat gue jadi naik berkali-kali lipat hehe," curhat gue, memandangi wajah cantiknya.

"Jessie nitip pesan buat lo. Tiap hari dia selalu nanyain keadaan lo. Oh iya! Michael juga." Sejenak gue merasa kesel waktu nyebut nama dia.

"Bego ya dia. Ngakunya sayang sama lo tapi gak pernah sekalipun jenguk. Takut ada gue kali ya?" tangan gue terangkat untuk mengelus rambutnya.

"Drey, it's been 2 weeks. Lo gak bosen tidur mulu?"

"Gue sendirian, Drey, gue pingin main sama lo."

"Kapan kita berulah lagi di kampus?"

"Kapan kita nongkrong lagi di warung Pak Jaka?"

"Kapan gue bisa melihat tawa lo lagi, Audrey?" Mata gue memanas.

"Lo tau, gue kangen sama lo. Semua tentang lo. Disaat anak-anak pada nanyain kabar lo, gue sedih ngasih jawabnya karena keadaan lo masih gini-gini aja, gak ada perkembangan." Gue meraih tangannya dan menempelkannya di pipi gue.

"Audrey, gue sayang sama lo. Gue pingin lo bangun," lirih gue, menenggelamkan wajah di sela-sela jemarinya. Gue menciumi tangan Audrey dengan penuh rasa sayang.

"I love you, Drey, please wake up. I'm right here for you." Satu tetes air mata berhasil lolos. Gue gak bisa lagi menghitung berapa kali gue menangisi Audrey.

Dada gue terasa sakit karena kondisi Audrey yang masih tetap seperti ini. Seakan udah gak ada harapan lagi buat dia.

Dada gue terasa sakit karena gue sangat merindukan Audrey.

Saat air mata gue berderai, tiba-tiba gue merasakan ada pergerakan pada jari Audrey. Gue terkejut. Sontak gue berdiri dan memerhatikan Audrey.

"Drey?"

Lagi. Jari telunjuk Audrey bergerak.

Dan pada detik berikutnya, gue melihat kedua mata Audrey mulai terbuka.

Gue gak tau harus berekpresi seperti apa.

"Drey...,"

Kedua bola matanya melirik kesana-kemari, seperti sedang mencari-cari sesuatu. Gue mendekatkan diri dan mengelus puncak kepala Audrey dan matanya kini fokus ke gue.

"Audrey, lo udah sadar," kata gue tersenyum senang. YA ALLAH GUE GAK TAU HARUS BAGAIMANA.

Gue segera menekan tombol emergency dan tak butuh waktu lama, suster datang.

"Suster, dia sadar. Tolong panggilin dokter!" titah gue yang langsung dilaksanakan sama suster tadi.

"Audrey, akhirnya...," air mata gue menetes lagi. Bedanya, kali ini yang keluar adalah air mata bahagia.

"Dia sadar?"

Gue menoleh. "I-iya, Dok."

"Tolong tunggu diluar dulu ya, Mas, saya mau periksa keadaan Audrey."

Gue pun mengangguk dan keluar dari ruangan. Gue segera mengambil handphone dan menelfon Tante Shava.

"Halo? Tante? Audrey sadar!"

-

"Gimana, Dok?" Tante Shava langsung bertanya saat dokter keluar dari ruangan. Gue pun menunggu penjelasan dari dokter dengan cemas.

"Ini keajaiban. Audrey tidak mengalami lumpuh, seluruh fungsi saraf tubuhnya dalam keadaan baik."

Gue dan Tante Shava menghela napas lega.

"Tapi...," kata si Dokter, menggantungkan kalimatnya.

"Tapi apa, Dok?"

"Audrey mengalami kehilangan ingatan. Tidak terlalu parah, dia masih bisa mengingat beberapa hal. Hanya saja suatu waktu dia bisa merasakan sakit kepala hebat akibat memorinya yang hilang kembali lagi."

Ya Allah, gue harus tetap sabar. Gue gak boleh nangis lagi.

"Bantu Audrey pelan-pelan. Jangan memaksa dia buat mengingat hal-hal yang dia lupa karena itu bisa mengganggu sistem kerja otaknya. Bisa dibilang, saat ini otaknya dalam keadaan yang tidak stabil. Audrey akan mengalami kesulitan bicara dan lamban merespon dalam beberapa hari ke depan."

Tante Shava menghela napas. "Ya udah, Dok. Makasih atas penjelasannya. Saya boleh masuk ke dalam?"

"Tentu saja boleh. Saya permisi." Dokter pun berlalu pergi.

Gue dan Tante Shava masuk ke dalam. Tante Shava mencium kening Audrey dengan rasa sayang dan penuh syukur sementara gue masih berdiri di depan ranjang. Senyum bahagia pun tak pernah lepas.

"Sayang, kamu inget Mama? Ini Mama, Drey."

Audrey mengangguk pelan. Kemudian kedua matanya beralih menatap gue. Baru saja gue ingin mendekat dan berbicara kepadanya, Audrey bersuara.

"Di...a, sia...pa, Ma...,"

××

mampus lum mampus

coba lu ngomong "kelapa diparut kepala digaruk" tp yg cepet bgt. gabole ada jeda.

yg lancar sampe 69x gue kasih tiket.

tiket menuju hati calum HEHE

vomments ya beb <3

7 days driver • cth ✓Where stories live. Discover now