31. Empat Pasang Mata

Mulai dari awal
                                    

"Gue cuma mau nebus dosa, Ra. Salah?"

"Dia sudah berhasil menganggap kamu nggak ada. Menerima dengan ikhlas, nasib buruk yang dipilihkan Tuhan. Dia baru bangkit, Pram. Kalo kamu muncul lagi, kamu makin menyakiti."

Muka Pram seketika kusut, sekusut kemeja abu-abu yang melekat di badan sejak kemarin siang. Pikirannya semrawut, sesemrawut tatanan rambut ikal yang tak kenal sisir dan gel sehari semalam. Seasam bau ketiak yang lama tak tersentuh deodoran. Hatinya bagai kertas yang diremas sampai tak berbentuk, terbuang dan terinjak-injak. Dia lemas, membungkuk, memegang lutut yang mulai gemetar. Tanpa sadar, setetes air jatuh ke paving block. Dari kedua matanya.

Lanang terkejut. Dia tak pernah melihat Pram sehancur ini. Walau belum tahu persis apa yang telah terjadi--sebagai sahabat, Lanang mendekat. Menawarkan pelukan agar Pram bisa menyembunyikan isak dibalik pundaknya.

Gayung bersambut, Pram mencengkeram punggung Lanang dengan kuat dan menggigit pundak agar tangisnya tak terdengar oleh siapapun.

Lanang memberi kode Nara untuk pergi, dengan senyuman tipis dan anggukan. Nara paham, dia menyusul Tiwuk ke arah gerbang. Sedangkan Pram, dengan cepat bisa mengendalikan diri. Dia melepas tubuh Lanang.

"Sorry, sob." Pram mengusap pundak Lanang. Dia tahu, Lanang menahan sakit karena gigitannya.

"Its ok."

Dua lelaki itu berdiri di tepi jalan. Bersikap seolah tak terjadi apa-apa, menanti kendaraan sepi untuk menyeberang. Namun saat jalanan lengang, mereka tetap kaku di tempat.

"Aku mau jujur." Lanang menyelipkan kedua tangan dalam saku celana. "Hapeku tidak rusak."

"Maksud, lo?"

"Aku sengaja mematikan. Berpura-pura jatuhin hape depan Tarjo, agar dia menyampaikan pada Cungkring. Dan berita itu akhirnya sampe padamu."

"Gue nggak paham." Pram menoleh pada Lanang. Dia betul-betul tidak mengerti kemana arah pembicaraan Lanang.

"Penghalang terbesarku mendekati Nara adalah Tiwuk. Aku takut kamu akan datang, mengganggu usahaku memenangkan hati Nara. Karena aku tahu, Tiwuk pasti makin marah jika melihatmu. Makin menjauhkanku dengan Nara."

Pram memicingkan mata. "Lo? Ck..." Pram berdecak kesal. "Gue nggak nyangka ternyata lo seegois itu. Gue pikir, lo sahabat terbaik, yang selalu ada buat gue. Ternyata apa?" Suara Pram mengandung riak kekecewaan.

"Aku belum selesai bicara."

"Friendship, brotherhood, taik anjing! Cuih!" Pram meludah ke aspal jalan. "Makasih udah nambah daftar ketidakfaedahan hidup gue. Gagal jadi bapak, nyakitin Tiwuk sedemikian rupa, sekarang, jadi orang yang cuma bisa ganggu hidup sahabatnya. Jadi penghalang rujuk sama mantan. Lengkap sudah. Makasih loh, Nang."

"Dengar dulu. Aku belum selesai. Pram! Pram! Tunggu." Lanang berusaha secepat mungkin mengejar Pram yang sudah melambaikan tangan di seberang. Berjalan mendekati sedan sport, yang terparkir tak jauh dari bengkel.

"Delok-delok mas, kalo nyebrang!" Seorang bapak-bapak marah, karena dia hampir jatuh, menghindari Lanang yang berlari terlalu cepat di tengah jalan.

Lanang menagkup kedua telapak tangan sebagai permohonan maaf. Dia tahu, kesalahannya fatal. Sedikit saja meleset, kecelakaan akan menimpa Bapak dan anak berseragam SD di boncengan. Lanang ingin mendekat dan minta maaf, tapi tak punya waktu banyak. Pram sudah hampir mencapai mobilnya. Jika benar-benar Pram merasa hidupnya tak berguna, lalu nekat bunuh diri. Lanang takkan bisa memaafkan diri sendiri sampai mati.

"Mas, darimana?" Rupanya Tarjo luput dari perhatian. Lelaki kerempeng itu sudah berdiri depan bengkel. Entah kapan ia datang. Motor butut sudah terparkir rapi. Tangan kanan membawa gulungan koran--pesanan Lanang seperti biasa. Sejak memutuskan meninggalkan smartphone, Lanang tak mau ketinggalan info dunia. Dia meminta Tarjo membelikan koran tiap pagi, sebelum masuk kerja.

"Loh mas. Mau kemana?" Tarjo heran, kenapa Lanang berlari dari seberang untuk mendekatinya, mengambil koran, lalu berlari lagi meninggalkan.

Plak...

Suara pukulan itu cukup keras. Gulungan koran tak lagi tegak. Lanang menyesal sesaat. Hatinya bertanya-tanya. Apakah Pram baik-baik saja? Apakah dia terlalu keras memukul punggung Pram? Kenapa Pram hanya diam? Bukankah seharusnya dia marah?

"Udah? Segitu aja? Ambil pisau sana." Pram membalikkan badan dengan raut wajah datar.

"Aku minta maaf. Ya. Ku akui, aku sempat egois. Tapi itu sebelum lihat bagaimana kamu seserius tadi sama Tiwuk."

"Gue maafin." Pram membuka pintu mobil.

"Kamu mau kemana?"

"Pergi. Ke tempat dimana gue nggak akan ganggu hidup siapapun."

"Pram. Ya ampun. Aku minta maaf soal itu." Pram sudah duduk di kursi kemudi. Lanang memegang pintu mobil kuat-kuat agar Pram tak bisa menutupnya.

"Udah gue maafin. Kelar perkara. Sekarang singkirin tangan lo dari pintu."

"Kamu mau lari gitu aja? Nggak mau selesaikan masalah sama Tiwuk? Nggak mau nebus dosa?"

"Lo nggak denger kata Nara? Semakin gue nekat dekati, semakin gue nyakiti."

"Kadang dokter harus membuat luka baru dengan injeksi atau sayatan operasi, demi melihat pasiennya sembuh." Pram terdiam. Dia mencerna kalimat Lanang. Dia nampak bimbang dengan keputusan yang akan diambil. "Ku dukung apapun keputusanmu. Pergi atau berjuang."

Pram keluar mobil. Menyambut tubuh Lanang dalam pelukan. Namun Lanang segera mengelak.

"Stop peluk-peluk. Sudah siang. Banyak yang lihat. Aku nggak mau, mereka pikir kita maho. Aw." Pram menendang kaki Lanang, lalu tersenyum. Secercah harapan telah terbit di saat yang tepat, ketika semangat hidup nyaris karam ke dasar laut.

Tbc.

Biduk TerbelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang