31. Empat Pasang Mata

11.5K 595 101
                                    

Fajar masih terlalu merah ketika Lanang mendorong pintu rolling door bengkel ke samping kanan kiri. Tak ada gemerlap cahaya yang menyergap. Tak ada hingar bingar orang lalu lalang. Hari masih terlalu dini untuk manusia beraktifitas. Namun senyum Lanang mengembang penuh semangat. Rongga paru-parunya sesak oleh rasa bahagia.

Lanang hendak duduk di tempat favorit tiap pagi. Sebuah amben depan bengkel, tepat dibawah juntaian daun-daun kersen, untuk menanti bidadari nan cantik jelita datang. Sekedar melihat atau nekat menyeberang jalan untuk membawakan barang-barang menuju kantin, walau selalu berujung pengusiran. Apalagi akhir-akhir ini sang bidadari dikawal ketat oleh malaikat pencabut nyawa. Namun Lanang, pantang menyerah.

"Pram?" Lanang terkejut melihat amben tidak kosong seperti biasa. Ada lelaki tidur meringkuk disana. Berselimut jaket, berbantal tangan. Mendekap lutut sendiri. "Pram. Pram. Bangun." Lanang mengguncang tubuh itu berkali-kali. Namun Pram hanya menggeliat. "Pram!" Lanang menabok paha Pram dengan keras.

"Anjing!" Sontak Pram terbangun dengan wajah terkejut. Setelah sadar siapa lelaki di depannya, Pram melempar jaket ke muka Lanang. "Gue masih ngantuk, setan."

"Ngapain kamu pagi-pagi kesini? Kenapa nggak gedor pintu?"

"Gue mau gedor pintu, takut salah tempat. Cungkring ngasih ancer-ancer nggak jelas. Sedangkan lo maen ngilang, nomer nggak ada yang aktif."

"Hapeku rusak."

"Kenapa nggak beli baru? Semiskin itu ya, lo sekarang?" Pram mengedarkan pandangan. Mengamati bangunan di belakangnya. Sebuah ruko sederhana berlantai dua. Cat dinging hijau daun yang telah banyak ternoda. Ada cipratan oli dimana-mana. Kemudian dia mencermati penampilan Lanang, yang entah mengikuti style artis Korea atau ala Mozambik. Kaos oblong dan celana denim selutut yang bolong-bolong. Penampilan paling mengenaskan sepanjang sejarah mereka berteman. Pram mendesis prihatin.

"Kamu belum jawab pertanyaanku. Ngapain kamu pagi buta kesini? Sekangen itu, sama aku?"

"Cuih. Najis!"

"Terus kenapa?" Lanang mendesak. Dia tahu, ada yang tak beres dengan sahabatnya. Selengket-lengketnya mereka bersahabat, Pram takkan mati-matian nyetir mobil tengah malam Semarang-Jogja hanya untuk menemuinya, bermodal alamat tidak jelas. Pram membenci dua hal; menunggu dan mencari.

Pram tak lantas menjawab. Dia kembali merebahkan badan berbantal siku tangan. Tatapnya jauh menembus ke langit yang mulai terang.

"Sekarang gue ngerti kenapa lo sempet mau bunuh diri," Pram memejam mata perlahan, melepas nafas berat. "Kehilangan satu hal, tapi membuat kehilangan segalanya."

"Apa yang terjadi?" Lanang cemas, Pram tak pernah bicara sedalam ini, seolah ada luka besar pada kalimatnya.

"Many things happends to me, Nang." Dada Pram panas dan sesak karena mati-matian menahan air mata agar tak tumpah depan Lanang. Mereka boleh bersahabat, berbagi makanan dan ranjang, tapi haram untuk tangisan. Itu aib terbesar yang harus ia jaga sampai titik darah penghabisan. Harga diri, martabat, kejantanan, semua berada pada sebulir air bening dibalik matanya. Sekali runtuh, runtuh pula segala kehormatan sebagai lelaki.

"Kamu tahu, kamu nggak pernah sendiri." Apapun yang tengah menimpa Pram, Lanang paham, Pram belum siap berbagi. Ia tak mau memaksa atau menerka-nerka. Biar mengalir senatural kali Bedog. Akan ada saatnya bermuara di Ngancar, sekaligus tempuran dengan kali Progo. Alami dan berakhir mempesona.

"Untuk itu, gue disini. Cuma lo yang gue cari." Lanang tersenyum, menepuk pundak Pram dua kali sebagai pengganti kata-kata dukungan. 

"Kamu tahu, aku selalu ada, kapanpun kamu butuh. Tinggallah disini, sampai kamu tenang."

Biduk TerbelahWhere stories live. Discover now